Welcome to my world

Segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China tertuang di sini.

Jumat, 16 April 2010

Di Men De Gu Se


Beberapa bulan beralu. Chen Deseng tak jua kembali ke Dimen. Apapun alasannya, Deseng telah ingkar janji.

Lianlian tak dapat menutupi perutnya yang membesar dari hari kehari. Jadi yang dilakukannya adalah bersembunyi. Dia tak pernah lagi muncul di kedai, atau pergi ke rumah Pemintal Bai. Ketiga Bersaudari Bai kadang-kadang datang menjenguknya. Mereka tak pernah berbincang soal ayah si janin, hanya menanyakan kesehatan Lianlian.

Meski berusaha dihindari, berita hamilnya Lianlian tetap menyebar ke seluruh Dimen. Ini mempengaruhi urusan pernikahan Jinlan juga. Jika sebelumnya pria tidak tertarik karena parasnya tidak secantik Lianlian, kini mereka mencap Jinlan murahan seperti sepupunya. Yang tertarik dengan Jinlan kini hanya seorang lelaki hidung belang. Dulu dia mengejar Lianlian tapi ditolak mentah-mentah. Kini, setelah mendengar Lianlian hamil, dia berpaling kepada Jinlan.

Lelaki itu telah mencegat Jinlan dua kali. Kali pertama, Jinlan berhasil meloloskan diri. Kali kedua, lelaki itu mencoleknya dan hampir berlaku tidak sopan jika Pemintal Bai tidak kebetulan lewat.

“Nona Jinlan, kau jangan jual mahal... Jika sepupumu bersedia dengan pemuda asing yang baru dikenalnya, mengapa kau tak mau denganku?”

Perkataan ini menjijikkan menurut Jinlan. Begitu piciknya pandangan orang-orang terhadap dirinya dan Lianlian. Jinlah ingin marah kepada orang-orang itu. “Pikirkanlah masalahmu dan jangan mengurus permasalahan orang lain!” Apakah hanya karena seorang wanita mengandung tanpa menikah, dia lantas dicap sebagai sampah dan wanita di sekelilingnya ikut tercemar?

“Sebaiknya kau jangan keluar sendirian. Lelaki seperti tadi bisa menghadangmu di jalan sepi,” ujar Bai Long yang berjalan di sisi Jinlan. “Adik-adikku takkan keberatan jika kau meminta mereka menemanimu.”

Jinlan hanya mengangguk pelan. “Terima kasih.”

Ketika telah sampai di depan rumahnya, Bai Long diminta Jinlan untuk berhenti mengantarnya. “Aku akan berjalan sampai ke rumahku sendirian saja. Terima kasih karena telah menolongku tadi, Pemintal Bai.”

Bai Long tidak segera masuk ke dalam rumahnya. Terlebih dahulu, dia melihat punggung Jinlan yang terus menghilang ke balik gerbang kedai. Bai Long mendesah. Apakah sekarang merupakan saat yang tepat untuk memberitahu Jinlan perasaannya yang sebenarnya? Bai Long tak pandai bicara. Jangan-jangan, Jinlan nanti justru merasa terhina oleh perkataanya.

Si Pemintal hanyut oleh pikirannya sehingga berdiri cukup lama di depan pagar. Dia tak tahu, dari dalam rumahnya, adik perempuannya - Dahong menyaksikan semuanya.

***
Tanpa terasa, bulan kedelapan datang. Para petani Dimen menuai panen sebelum datangnya musim dingin. Mereka memangkas lahan, mengemas hasil panen dan memasukkannya di bilik-bilik penyimpanan mereka.

Bulan kedelapan juga identik dengan festival pertengahan musim gugur. Di Dimen, orang-orang merayakannya dengan memberi persembahan kepada dewata. Mereka juga berpesta, menari, bernyanyi dan minum arak sebagai rasa syukur atas hasil panen yang baik.

Selain itu, festival pertengahan musim gugur juga ditunggu-tunggu oleh para muda-mudi. Di ajang ini seorang pemuda bisa mengutarakan perasaannya kepada gadis yang mereka sukai dengan memberinya selendang merah. Jika si gadis setuju, orang tua maupun keluarga si gadis tidak boleh menolak si pemuda. Mereka lalu dinikahkan secepatnya, sebelum bulan kedelapan itu berakhir.

Jinlan tak berkeinginan ikut perayaan. Tapi ketiga bersaudari Bai mendesaknya untuk pergi.

“Tahun ini aku tak punya baju baru untuk festival,” kata Jinlan. “Belakangan aku terlalu sibuk sehingga terlampau lelah menjahit baju baru.”

“Kau mencari-cari alasan,” sanggah Erhong. “Memangnya setiap kali ada festival kau harus memakai baju baru? Kenakan saja baju lamamu dan ikutlah berpesta!”

“Kau mungkin tak mau pergi karena bertenggang rasa dengan Lianlian. Tapi, kau juga harus memikirkan dirimu sendiri. Semenjak Lianlian hamil, kau cukup sibuk. Banyak pekerjaan yang dulu dilakukan Lianlian kini dialihkan padamu. Tak ada salahnya kau bersantai sejenak,” lanjut Dahong.

“Benar yang dikatakan kedua kakakku. Nah, begini saja, pada hari festival, kami akan kemari menjemputmu. Jika kau tak mau ikut….,” Xiaohong pura-pura mengancam. “Kami akan menyeretmu keluar!”

Pada hari festival, Jinlan berdandan dengan baju lamanya. Lianlian mengamatinya. Tahun-tahun sebelumnya, mereka berdua selalu menghadiri festival musim gugur. Seperti biasa, Lianlan paling populer. Dia selalu mendapat selendang merah. Tapi para pemuda pemberi selendang itu selalu dianggap kurang menarik oleh Lianlian. Lianlian menolak mereka satu-persatu dengan pongah. Tak peduli sikapnya melukai pria-pria tersebut.

Kini, Jinlan akan pergi bersama ketiga bersaudari Bai. Lianlian tak mungkin menghadiri perayaan dengan perut membusung seperti sekarang.

“Aku sebenarnya enggan pergi karena kau tak ikut,” Jinlan mendesah.

Lianlian menghiburnya. “Kau harus pergi. Seseorang harus bercerita padaku siapa-siapa yang mendapat selendang merah tahun ini.”

Ketiga saudari Bai datang menjemput Jinlan. Dari atas jendela kamarnya, Lianlian menatap kepergian mereka dan merasa sedih.

***
Pemintal Bai juga ikut larut dalam kegembiraan perayaan. Dia bergabung dengan kawan-kawan sebayanya. Minum arak perayaan sebagai ramah-tamah, ikut bernyanyi dan menari.

Jika ada kesempatan, Bai Long akan melihat Jinlan-yang tengah bersama dengan ketiga adik perempuannya. Entah karena suasana perayaan yang meriah atau arak yang diminumnya, kedua pipi Jinlan memerah. Dia terlihat segar, lebih baik dari terakhir kali Bai Long menolongnya dari si lelaki hidung belang.

Jinlan tertawa-tawa. Sepertinya, Ketiga adik Bai Long sedang menceritakan lelucon. Bai Long kembali ke teman-temannya. Berbincang-bincang dan bercanda. Lalu tiba-tiba bahunya ditepuk.

Dahong membungkuk di sampingnya sambil mengangsurkan sebuah selendang merah. Bai Long memandang adiknya dengan heran.

“Kakak, ambillah ini,” bisik Dahong. “Selama ini kau telah bertindak berani demi kami, adik-adikmu. Kini, lakukanlah satu tindakan berani bagi dirimu sendiri.”

Dahong mengedipkan sebelah matanya dan kembali ke Jinlan. Bai Long menatap selendang merah di tangannya dan memutuskan sudah saatnya bertindak.

***
Jinlan sempat terpingkal-pingkal dengan lelucon yang diceritakan Xiaohong. Dia tak menyadari kalau Dahong beranjak dari kelompok mereka.

Baru beberapa saat kemudian, Jinlan melihat Pemintal Bai bersama teman-temannya. Lalu Dahong muncul dan membungkuk di samping kakaknya seraya mengangsurkan selendang merah. Dahong membisiki Pemintal Bai sesuatu. Pemintal Bai menerima selendang merah tersebut dan mimik wajahnya berubah. Setelah itu Dahong kembali ke arah Jinlan dan adik-adiknya.

Jinlan kembali melihat ke arah Pemintal Bai. Pemuda itu kini bangkit berdiri. Selendang merah tergenggam di tangannya. Aha, jadi hari ini Jinlan akan menceritakan kepada Lianlian kalau salah satu pemuda pemberi selendang merah adalah Pemintal Bai!

Kawan-kawan si Pemintal bersorak dan bertepuk tangan. Orang-orang menunggu. Kira-kira gadis mana yang akan dipilih oleh Pemintal pemalu ini?

Jinlan juga penasaran. Dia terus mengawasi si Pemintal. Bai Long kini berjalan ke arahnya. Apa tidak salah? Jinlan merasa tak ada gadis lain yang sedang berdiri dekat sini selain dirinya dan ketiga saudari Bai.

Tiba-tiba Jinlan menyadari sesuatu. Dia tersentak. Pemintal Bai semakin dekat. Selendang merahnya melambai-lambai. “Tidak mungkin!” pekiknya. Jinlan melompat berdiri. Cawan araknya terjatuh.

Salah satu dari ketiga saudari Bai memegang tangannya. “Kau mau kemana?”

“Aku mau pulang!” Jinlan memberontak membebaskan tangannya. Setelah itu dia langsung lari.

Sorak-sorai dan tepuk tangan terdengar semakin keras. Jinlan mendengar orang-orang berteriak, “Kejar dia! Kejar dia!”

***
Jinlan berlari terus dan terus. Dia sampai di rumah, masuk gerbang dan mencoba menutup pintunya seperti orang kesetanan.

Tapi Pemintal Bai lebih cepat. Dia mendorong pintu yang sudah akan ditutup. Jinlan memekik. Akhirnya, Bai Long berhasil melangkah masuk.

Baik Jinlan maupun Bai Long, napas keduanya terengah-engah karena habis berlari. Di dalam rumah, Lianlian yang sedang sendirian di kamarnya mendengar kegaduhan di halaman segera turun untuk melihat. Tapi dia segera menghentikan langkahnya di depan pintu ketika dilihatnya Pemintal Bai dengan selendang merah di tangan, berdua saja dengan sepupunya.

Setelah agak tenang, Bai Long berkata pada Jinlan, “Aku bukan orang yang pandai bicara. Tapi aku ingin kau tahu perasaanku. Sejak dulu aku telah menyukaimu. Jika orang lain melihat Lianlian, aku sebaliknya hanya memandangmu.”

“Sekarang, tanpa bermaksud menghinamu seperti pria tempo hari… Maukah kau menerima selendangku ini, Nona Wu? Menemaniku hingga rambut kita masing-masing memutih?”

Bai Long mengangsurkan selendang merah kepada Jinlan penuh harap. Jinlan memandangnya lalu mulai menangis. Bai Long mungkin bukan pria yang bicaranya berbunga-bunga. Tapi ketulusan terpancar di matanya. Jinlan menutup wajah dengan kedua tangannya dan terus menangis hingga bahunya berguncang. Sesungguhnya, dia pun tak dapat berkata apa-apa dengan kebahagiaan ini.

Bai Long memegang bahu Jinlan. Gadis itu masih menangis tapi tak menghindarinya. Ini pertanda baik. Si Pemintal menarik Jinlan ke pelukannya dan membiarkan gadis itu menangis di bahunya. Setelah Jinlan tenang, Bai Long melingkarkan selendang merah ke leher gadis itu. Dan Jinlan mendongak tersenyum.

Lianlian bersandar di kusen pintu. Terharu dengan pemandangan di depannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa iri dengan Jinlan.

***
“Bagaimana, apa dandananku sudah baik?” tanya Jinlan cemas.

Lianlian yang duduk di samping ranjang menatapnya kagum. “Sempurna, sepupu. Kau pengantin tercantik yang pernah kulihat.”

Jinlan sedikit gugup di hari pernikahannya, tujuh hari usai menerima selendang merah si Pemintal. Dia menatap cermin. Memperbaiki topi pengantin yang dulunya merupakan milik Li Niang. Lianlian berdiri di sampingnya. Kedua gadis itu sama-sama menatap cermin. Melihat Jinlan menjadi pengantin, Lianlian dilanda kerinduan. Jika bukan karena wanita hamil dilarang menyentuh pengantin karena pamali, Lianlian pasti sudah memeluk Jinlan sekarang.

Lianlian mengingat Chen Deseng. Dan air matanya mulai jatuh. Dia buru-buru berpaling dari cermin. Jinlan melihatnya. Dia langsung memeluk Lianlian.

“Aku tak peduli dengan tahayul apapun soal pengantin dan wanita hamil yang tak bisa bersentuhan. Aku hanya ingin kau tahu, sepupuku sayang, aku selalu berdoa, agar kau juga bisa mengalami kebahagiaan yang kurasakan hari ini!”

Tangis kedua gadis itu pecah. Inilah mereka, dua sepupu yang sejak kecil selalu bersama – namun di tikungan hidup satu ini, jalan yang akan mereka lalui terpisah.

Lianlian melepaskan pelukan Jinlan dan buru-buru menghapus air mata di wajah sepupunya. “Jangan menangis, sepupu. Nanti bedakmu luntur…”

Jinlan mencoba tersenyum sementara Lianlian menghapus air mata dan meratakan bedaknya. Wu Xun memasuki kamar kedua gadis untuk menyampaikan kalau mempelai pria telah datang. Jinlan dan Lianlian berpegangan tangan erat. Sampai akhirnya dirasa cukup bagi Jinlan dan dia pun turun menyambut kehidupan barunya.

***
Sebulan setelah pernikahan Jinlan dan Pemintal Bai, Lianlian melahirkan. Bayinya laki-laki, diadopsi Wu Xun dan Li Niang, diberi nama Wu Shou.

***
Tiga bulan setelah melahirkan, Lianlian sudah mulai keluar rumah.

Namun, Lianlian belum siap menghadapi cibiran masyarakat mengenai dirinya. Di pasar, anak-anak bernyanyi jika melihatnya,

“Di Dimen ada sebuah keanehan. Seorang gadis yang tidak menikah mendadak punya anak. Setelah lahir, anaknya berubah jadi keponakannya.”

Para wanita usil dan pria-pria sok tahu juga menggosipkannya. Lianlian merasa tertusuk setiap kali ditanyai, “Lianlian, bagaimana kabar keponakan kecilmu?”

Kabar dari Chen Deseng tak pernah datang. Wu Xun mencoba menghubunginya lewat pemasok barang-barang keluarga Chen, tapi si pemasok telah pindah ke Yunnan.

Sementara di Guangzhou, pernikahan Chen Deseng dan Zhang Lijun yang sudah hampir setahun berjalan baik-baik saja. Mereka belum punya anak. Khawatir hal ini membebani pikiran Lijun, Deseng memintanya bersabar saja.

Setelah menikah Deseng baru menyadari, meski wajah Lijun dan Lianlian mirip, sifat keduanya sesungguhnya bertolak belakang. Mungkin karena Lijun dilahirkan dari keluarga berada – sejak kecil dididik dan terawat dengan baik. Sehingga sikapnya lembut dan cenderung berhati-hati. Deseng tidak pernah mengeluh soal istrinya. Zhang Lijun wanita baik dan merupakan teman yang paling cocok dalam pernikahannya.

Tapi bagaimanapun, Deseng masih memikirkan Wu Lianlian. Dia merindukan keriangan, spontanitas serta kepolosan ‘kekasih Dimen’-nya itu. Kenangan bersama Lianlian di Dimen senantiasa terlintas. Namun Deseng belum menemukan alasan tepat bagi keluarganya untuk pergi ke Dimen lagi.

***
Tahun baru datang lagi. Capgomeh tahun itu, Wu Lianlian tak lagi menjadi peri musim semi. Seorang gadis cantik - bunga desa baru, menjadi sang peri.

Harapan Lianlian untuk disunting Chen Deseng juga semakin tipis. Lianlian hanya bisa tersenyum kecut setiap kali mendengar satu-persatu teman sebayanya menikah. Setelah sepupunya, Jinlan, salah satu kawan mereka yang menikah tahun itu adalah Dahong, adik si Pemintal Bai.

Cibiran demi cibiran dari masyarakat tak kunjung juga berhenti. Kemanapun Lianlian pergi, bisik-bisik selalu menyertainya. Belakangan, Lianlian mendengar kalau orang-orang mencapnya sebagai aib di Dimen. Ini membuatnya tertekan. Akibatnya, ketika jatuh sakit, penyakitnya sulit sembuh.

Awalnya, Lianlian dikira batuk-pilek biasa. Tapi batuknya itu berlanjut hingga satu bulan kemudian. Dia kehilangan selera makan dan tubuhnya lemah. Belakangan, Lianlian lebih sering berbaring di ranjangnya. Li Niang pun akhirnya mengambil alih mengurus Wu Shou.

Suatu malam, pintu rumah pemintal Bai diketuk ketika semua orang sudah akan berangkat tidur. Ketika Bai Hu membuka pintu, tampak Wu Jie memegang lentera. Wajahnya cemas.

“Apakah Kakak Lian kemari?”

“Tidak,” jawab Bai Hu. “Kakak Lian tidak pernah kemari.”

Jinlan dan Bai Long menemui Wu Jie. “Mengapa malam-malam begini mencari Lianlian kemari?” tanya Jinlan.

“Kakak Lian, dia pergi dari rumah,” kata Wu Jie pada akhirnya. Jinlan, Bai Long dan Bai Hu terkejut. “Tak tahu kapan persisnya dia pergi. Kami baru tahu dia tak ada ketika Li Niang masuk kamarnya untuk menenangkan Wu Shou yang menangis terus.”

“Bagaimana bisa Lianlian keluar malam-malam begini? Bukankah dia sedang sakit? Kita harus mencarinya!” Jinlan berujar.

Bai Long mengerti kecemasan Jinlan. Maka dia menyarankan agar mereka ikut mencari Lianlian. Bai Long lalu menyiapkan sebatang obor dan lentera. Obor dipegangnya dan lentera diberikan pada Jinlan. Ketika hendak keluar, Bai Long berkata pada Wu Jie,

“Sebaiknya kita berpencar.”

“Setuju. Kakak Xun tadi telah mencari ke arah sana.”

“Kalau begitu, aku dan Jinlan akan menyisir daerah sini dan kau ke situ.”

Bai Long dan Jinlan mencari Lianlian hingga dekat perbatasan desa. Mereka memanggil-manggil nama Lianlian, berharap Lianlian mendengar dan menyahuti mereka.

Setengah jam lewat mencari, Lianlian masih juga tak kelihatan. Bai Long melihat Jinlan kelelahan. Bintik-bintik peluh muncul di keningnya. Belakangan Jinlan memang gampang lelah dan berkeringat. Khawatir istrinya mungkin sedang hamil, Bai Long menyuruh Jinlan beristirahat.

“Duduklah di sini dan tunggu aku. Aku akan mencari ke sebelah sana.”

Bai Long meninggalkan lentera sementara Jinlan duduk di sebuah batu. Ketika duduk dan menghapus peluhnya, sayup-sayup Jinlan mendengar seseorang bernyanyi. Awalnya, Jinlan mengira itu hanya perasaannya saja. Tapi nyanyian itu terus terdengar hingga mengusik Jinlan.

Dengan lentera yang ditinggalkan Bai Long, Jinlan mencari asal nyanyian itu. Nyanyian itu menuntunnya melewati gerbang perbatasan desa, menuju ke sebuah tanah lapang tempat dulu dimana dia, Lianlian dan Wu Jie bermain bersama para saudara Bai.

Dan pemandangan di tanah lapang itu, sungguh tak terduga oleh Jinlan. Sepupunya, Lianlian, tengah bernyanyi dan menari di tanah lapang itu – seperti setahun lalu ketika mereka bermain sandiwara ‘Kaisar Tang di Istana Bulan’ di sana. Lianlian bernyanyi seolah-olah Chen Deseng ada di sampingnya. Dia hanya mengenakan pakaian tidurnya dan rambutnya tergerai tak disisir.

Jinlan diam terpaku dan mulai terisak. Agak lama bagi Lianlian baru menyadari kehadiran sepupunya di tempat itu. Ketika melihat Jinlan, Lianlian berhenti sebentar. Lalu dia berkata, “Jinlan, kau datang tepat waktu. Lihatlah, bukankah Chen Deseng ini pantas memerankan Kaisar?”

Tangis Jinlan pecah. Lututnya lemas hingga dia jatuh berlutut. Lianlian buru-buru menghampirinya dengan panik. “Kau kenapa, sepupu?”

Jinlan memegang tangan Lianlian dan mendongakkan kepala melihatnya. Sinar bulan yang purnamanya tak sempurna memucatkan wajah Lianlian. Ini bukan lagi Wu Lianlian – si kembang desa Dimen yang dikenal Jinlan. Wu Lianlian ini lebih menyerupai hantu. Hantu wanita yang malam-malam menanti kekasihnya di tempat pertama kali mereka bertemu.

“Aku benci! Aku benci dengan lelaki yang menyebabkanmu menjadi begini, sepupu,” Jinlan berkata terisak-isak. “Aku benci Chen Deseng!”

Lianlian terdiam sesaat lalu bergumam, “Kau tak boleh membencinya. Dia sudah berjanji akan datang menjemputku. Apalagi aku telah memberinya Wu Shou kecil.” Kemudian Lianlian juga terisak. “Tapi aku sangat merindukannya. Begitu rindu sehingga aku datang kemari. Jinlan, mengapa Deseng belum datang menengokku? Padahal dia telah berjanji…”

Lianlian juga jatuh berlutut di hadapan Jinlan. Ketika Bai Long sampai di tempat itu, kedua wanita itu saling berpelukan dan menangis bersama.

***
Kondisi Lianlian terus menurun. Dia sering demam dan pada malam hari tidurnya tidak nyenyak serta selalu bermimpi. Tabib yang memeriksanya berkata pada Wu Xun, “Jika mau penyakitnya sembuh, sebaiknya pertemukan dia dengan orang yang dicarinya. Aku khawatir jika lewat sebulan ini, dia tak sanggup lagi bertahan.”

Wu Jie mendengar perkataan tabib. Setelah mempertimbangkan masak-masak, dia pun mengambil tindakan diam-diam pergi ke Guangzhou. Khawatir kakak-kakaknya tidak mengijinkan, Wu Jie pergi diam-diam. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat berisi tulisan cakar ayamnya:

“Ke Guangzhou. Mencari Chen Deseng.
Wu Jie"

Wu Jie belum pernah ke Guangzhou. Dia hanya tahu kalau Guangzhou terletak di propinsi Guangdong di timur. Maka, Wu Jie berjalan ke arah timur. Sepanjang jalan dia bertanya kepada orang-orang, apakah Guangzhou sudah dekat? Beberapa menjawab masih jauh. Lainnya menjawab sama tapi juga menunjukkan jalan mana yang harus dilaluinya.

Wu Jie sampai di perbatasan Guangdong pada hari kelima perjalanannya. Tapi bekalnya mulai habis. Wu Jie terpaksa mengharapkan belas kasihan orang lain dengan cara meminta-minta. Suatu hari, dia lewat di sebuah desa. Salah seorang penduduk memberinya makan. Ketika melihat pakaian dan penutup kepala Wu Jie, orang itu bertanya.

“Kau berasal dari Dimen?”

“Ya,” jawab Wu Jie.

“Kudengar orang-orang di sana pandai bernyanyi dan menari. Apakah kau termasuk?”

“Ya…, aku bisa menyanyi dan menari sedikit,” Wu Jie merendah.

Orang itu tertawa. “Kalau begitu, sebagai ganti dari makanan yang kuberikan, maukah kau bernyanyi?”

Wu Jie berpikir sejenak. Orang ini sudah berbaik hati memberinya makan. Mengapa mengeluarkan sedikit suaranya saja dia tak sudi?

“Baiklah, aku akan bernyanyi untukmu. Sebenarnya lagu-lagu kami hanya berisi kisah-kisah pengalaman hidup sehari-hari. Seperti cerita. Apakah kau masih mau mendengarnya?”

Orang itu tak keberatan. Maka, Wu Jie mengeluarkan gendang kecil yang dibawanya dari Dimen. Dia memukul gendang itu sambil coba bernyanyi. Tapi tak ada cerita yang bisa dilagukannya. Tiba-tiba dia teringat kisah kakaknya, Lianlian.

Dung! Dung! Dung! Dung! Dung! Dung!

“Di Guangxi ada sebuah desa di ujung waktu – namanya Dimen, hei! Namanya Dimen.
Ada seorang gadis cantik rupawan tinggal di sana. Namanya Lianlian. Dia gadis paling cantik. Paling, paling cantik!”

Dung! Dung! Dung! Dung! Dung! Dung!

Wu Jie terus bernyanyi hingga kisahnya usai. Orang itu mendengarnya dengan seksama. Dia menyukainya. Belakangan, Wu Jie tahu kalau dia bisa bertahan hidup selama perjalanan dengan mengamen seperti itu. Jadi, jika bekalnya telah habis, dia akan bernyanyi di kumpulan orang dan orang-orang yang tertarik biasanya memberinya uang receh.

"Suatu hari Lianlian bertemu dengan pria dari Guangzhou. Namanya Chen Deseng. Dia putra pedagang. Katanya sangat kaya. Sangat, sangat kaya.
Keduanya jatuh cinta dan Chen Deseng merayunya. Dia berjanji akan menikahi Lianlian. Berjanji dan berjanji."

Wu Jie tiba di Guangzhou pada hari kesepuluh perjalanannya. Kota Guangzhou sangat ramai dan besar. Dan pastinya banyak orang bermarga Chen di sana. Mencari seorang bernama Chen Deseng pasti sulit di kota sebesar itu.

Tapi Wu Jie tak hilang akal. Dia terus mengamen. Di luar dugaan, orang-orang di Guangzhou menyukai nyayian dan kisahnya. Bagi mereka penampilan Wu Jie sungguh unik dengan pakaian khasnya.

Keuntungan lain dari mengamennya Wu Jie adalah kisah ini jadi cepat tersebar di seantero Guangzhou. Wu Jie yang sebelumnya mengamen di jalanan mulai dipanggil bernyanyi di kedai-kedai minum yang biasa didatangi orang-orang kaya. Dan tiap kali Wu Jie menuturkan kisahnya, para pendengarnya berbisik-bisik,

“Apakah Chen Deseng dalam kisah ini adalah putra Tuan Chen yang itu? Kudengar mereka pernah coba mengembangkan usaha ke Guangxi.”

“Kalau memang betul, sungguh tak terduga, anaknya bisa melakukan hal seburuk itu. Merayu seorang gadis desa sampai hamil lalu mencampakkannya. Bukankah sekarang dia telah menikah dengan putri pemilik kapal dari Macao?”

Bisik-bisik ini akhirnya suatu hari sampai ke Tuan Besar Chen. Seorang koleganya memberitahunya kalau di sebuah kedai minum elit, setiap sore ada pertunjukan nyayian Dimen. Penyanyinya seorang anak lelaki enam belas tahun. Nyanyiannya mengisahkan seorang gadis Dimen yang dicampakkan pria asal Guangzhou.

“Nama pria dalam nyanyian itu sama dengan putramu Tuan: Chen Deseng!”

Maka, untuk mengecek kebenarannya, Tuan Besar Chen mengunjungi kedai minum itu bersama keponakannya, Dehui. Pada sore hari seperti yang dibilang koleganya, si anak lelaki Dimen itu bernyanyi di tengah-tengah panggung sambil memukul genderangnya. Dehui ingat anak lelaki itu. Ketika anak itu mulai bernyanyi, Tuan Besar Chen menyimak. Sialnya, kata-kata koleganya tak salah. Syair lagu itu memang membeberkan aib percintaan putranya dengan ‘kekasih Dimen’-nya.

Usai bernyanyi, Tuan Besar Chen meminta si penyanyi menemuinya di ruang khusus. Wu Jie datang. Sewaktu melihat Dehui, Wu Jie mengenalinya. Dia langsung menghambur ke arah Dehui, bersujud-sujud memohon.

“Pertemukan aku dengan Chen Deseng, Tuan. Katakan aku mencarinya. Dia harus pergi ke Dimen menemui kakakku. Kakakku sakit keras karena memikirkannya setiap hari!”

Tuan Besar Chen tahu masalah ini sangat pelik. Apalagi, Wu Lianlian telah melahirkan anak lelaki keturunan Chen. Ini harus segera diselesaikan.

Pertama-tama, Tuan Besar Chen mempertemukan Wu Jie dengan Deseng dan Lijun. Lijun, yang tidak tahu-menahu masalah Lianlian sejak awal pernikahannya sampai sekarang menjadi sangat terpukul. Dia bahkan tak mau bicara dengan Deseng.

Tuan Besar Chen berunding dengan istrinya. “Karena Wu Lianlian telah melahirkan anak lelaki, maka kita tak boleh mengabaikan keberadaannya. Statusnya mesti diakui. Dia akan menjadi istri muda Deseng dan putra mereka akan menjadi cucu dalam pertama kita.”

Sementara Lijun, setelah seharian mendiamkan suaminya, akhirnya berkata,

“Terus terang aku kecewa. Ketika menikah denganmu, aku murni dan suci. Tapi kau tak pernah berterus terang padaku soal masa lalumu. Sebagai wanita aku merasa dibohongi dan cemburu. Apalagi, dia bahkan telah memberimu seorang putra.”

Lijun berusaha tegar. “Tapi nasi telah menjadi bubur. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya memperbaiki keadaan agar tidak menjadi lebih buruk. Kudengar kemarin adiknya berkata kalau Lianlian sedang sakit. Jemputlah dia kemari. Sembuhkan sakitnya dan kita bersama-sama membina keluarga mulai lagi dari awal.”

“Kau akan menerima Lianlian?” tanya Deseng ragu-ragu.

Lijun mengangguk. “Dan aku berjanji padamu. Aku akan memperlakukan dia dan putranya dengan baik. Kau bisa memegang kata-kataku.”

Deseng menghela napas. Dia amat berterima kasih pada kebaikan Lijun. Istrinya merupakan sahabat wanita yang paling pengertian. Deseng berikrar pada dirinya: rasa sayangnya pada Lijun tak akan berkurang meski Lianlian telah berada di sini nanti.

***
Keputusan tentang Wu Lianlian telah diambil. Dehui diutus menjemput calon istri sepupunya di Dimen sambil membawa seserahan dan beberapa pelayan wanita.

Rombongan itu tiba di Dimen dan sungguh mencolok. Orang-orang mengikuti mereka sampai ke kedai Wu Xun.

Ketika mendengar kalau dia telah diterima menjadi calon menantu keluarga Chen, Lianlian sontak bangkit dari ranjangnya. Wajahnya langsung berseri. Dia memegang tangan Jinlan yang kebetulan berada di kamarnya, dan mereka berputar.

“Sudah kubilang Deseng pasti datang bukan? Dia menjemputku. Dia akan membawaku ke Guangzhou.”

Dengan terhuyung-huyung, Lianlian berdandan. Dia memoles bedak dan pemerah bibir di wajahnya. Para pelayan yang dibawa Dehui dari Guangzhou membantunya memakai cheongsam. Rambutnya ditata sedemikian rupa hingga serasi dengan cheongsamnya. Lianlian adalah wanita Dimen pertama yang memakai cheongsam.

Wu Xun berunding dengan Dehui. Karena Wu Shou kecil baru saja sakit, dia masih rentan dengan perjalanan jauh. Jadi sebaiknya, Wu Shou tetap tinggal di Dimen dulu.

Lianlian begitu bahagia. Akhirnya… dia bisa menegakkan kepalanya lagi bertemu orang-orang. Orang-orang yang dulu mencibirnya, menggosipkannya, kini berbaur dengan orang-orang lain mengelukan Lianlian.

Sewaktu perpisahan dengan seluruh keluarganya, Lianlian berurai air mata. Lianlian memeluk Jinlan terakhir kalinya. Dia berkata pada sepupunya itu, “Aku akhirnya mengambil jalanku sendiri. Meski demikian, ingatlah aku sepupu. Tulislah surat untukku dan jenguklah aku ke Guangzhou sesekali.”

***

Orang-orang mengantar Lianlian sampai ke gerbang desa. Lianlian bahagia sekali. Sepanjang perjalanan wajahnya berseri. Lianlian diberitahu Dehui, mereka mungkin akan tiba di Guangzhou dalam waktu lima hari.

Tapi lusanya Lianlian mulai merasa tak enak badan lagi. Dia gelisah terus di dalam tandu. Tidurnya juga tak lelap di malam hari. Dia kembali demam dan batuk. Pada hari keempat, rombongan terhadang badai – padahal jika tidak, mereka sudah akan tiba di Guangzhou besok pagi.

Dehui memutuskan agar perjalanan tidak dilanjutkan. Apalagi dia melihat wajah Lianlian begitu pucat. Karena tak menemukan penginapan, mereka lalu bermalam di sebuah kuil Dewi Guanyin.

Malamnya setelah badai berhenti, Lianlian pergi ke aula karena tak bisa tidur. Dia membakar dupa, berdoa kepada arca Guanyin yang dipoles warna keemasan.

“Dewi Welas Asih, kumohon tolonglah aku. Hatiku sedang gelisah. Aku dalam perjalanan menemui calon suamiku sementara putraku masih tertinggal di Dimen. Mungkin ajalku akan segera tiba. Karma baikku pun tak sanggup memperpanjang usiaku. Tapi kumohon, berilah aku satu kesempatan lagi untuk bertemu Chen Deseng.”

Air mata Lianlian menitik. Dia bersujud di hadapan arca Guanyin – sementara asap di pedupaan mengirim doanya.

***
Keesokan paginya Chen Deseng menanti dengan gelisah saat-saat kedatangan Dehui dan Lianlian. Dia dan Lijun telah bersiap menyambut Lianlian. Namun, tanda-tanda kedatangan rombongan tak juga terlihat hingga tengah hari.

Rombongan baru tiba menjelang sore hari. Dehui masuk lebih dulu. Deseng segera menghampiri sepupunya dan menanyai.

“Kami tertahan badai kemarin. Selain itu, Lianlian sepertinya tak terlalu sehat. Jadi kuputuskan tak melanjutkan perjalanan.”

Mendengar calon istrinya sakit, Deseng segera keluar menemui Lianlian. Di lluar gerbang rumahnya, Deseng melihat Lianlian turun dari tandu dibantu seorang pelayan. Deseng terlalu terkesima melihat Lianlian – yang memakai cheongsam putih.

Lianlian berpaling ke arah Deseng dan tersenyum padanya. Ah, meskipun Lianlian tak memakai baju dan topi Dimen-nya, senyumannya tetap seindah dulu.

Lianlian merasa dunia seperti terhenti saat ini. Sewaktu Deseng mengulurkan tangan hendak merangkulnya, semua yang dilihat Lianlian terasa berputar dan dia pun jatuh tersungkur.

“Lianlian!” Deseng berseru. “Lianlian! Bangunlah!”

Tapi Wu Lianlian tak pernah bangun lagi.

Yang dijenguk Jinlan bertahun-tahun kemudian di Guangzhou hanya pusara sepupunya.



Selesai.

2 komentar:

  1. Ini sejarah cina asli ya?
    Kalo cina mang khasnya lukisan2 gtu.. keren!

    BalasHapus
  2. Ini fiksi yang kubuat usai bertahun-tahun membaca dan melihat banyak karya klasik China. Kalau Korea bisa membuat Dae Jang Geum, Jumong dan Queen Seon Deok begitu sukses dari perpaduan fiksi serta sejarah mereka, kurasa, akupun bisa :)

    BalasHapus