Welcome to my world

Segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China tertuang di sini.

Sabtu, 11 September 2010

Wanita Berbaju Hitam






Pada suatu hari yang dingin di bulan Januari 1902, seminggu sebelum tahun baru Imlek.

Di jalan sempit menuju Linqing, propinsi Shandong, China, sebuah kereta ditarik dua ekor kuda melintas. Kusirnya seorang pria bertubuh agak gemuk berusia tiga puluhan, menghela kedua kuda dengan kecepatan sedang. Pembantunya duduk di samping, pemuda berumur tujuh belas berperawakan ramping. Keduanya melilitkan kain di kepala agar rambut mereka tidak basah terkena salju. Masing-masing mengenakan jaket tebal dan sepatu bot hitam.

Di dalam kereta, udara lebih hangat daripada di luar. Sebuah tungku pemanas kecil ditaruh di bawah kursi penumpang. Seorang pembesar duduk di sana. Tubuhnya bergoyang-goyang mengikuti laju kereta. Dia bernama Zhu Yuanchang, petugas pajak berpangkat Jaksa dari propinsi Jiangsu.

Saat ini Yuanchang tengah dalam perjalanan menuju ibukota Beijing. Dia membawa uang dalam jumlah yang sangat besar menuju istana. Pemberontakan dalam negeri serta perang melawan invasi asing telah menelan biaya tidak sedikit. Kas kerajaan kehabisan dana. Bahkan pada pertempuran terakhir: Pemberontakan Boxer, pasukan kerajaan kalah telak dari gabungan beberapa kekuatan asing. Kaisar dan Ibusuri harus mengungsi keluar istana. Dan sebagai akibat dari kekalahan itu, sebuah pulau kecil yang menghadap Laut China Selatan disepakati untuk disewa Inggris selama seratus tahun. Pulau itu bernama Hongkong.

Kerajaan memiliki cara paling praktis untuk mengisi ulang kas mereka. Cara apalagi selain mengutip pajak dari rakyat masing-masing propinsi. Itulah yang dibawa Yuanchang sekarang. Sebuah peti kayu jati berukuran empat puluh kali dua puluh sentimeter. Tingginya sekitar limabelas sentimeter. Terbungkus kain beludru hitam. Sejak berangkat dari Jiangsu, Yuanchang tak hentinya menggenggam benda itu. Dia tak pernah berpisah dari benda itu barang sedetik pun. Isinya uang perak serta surat-surat berharga dengan total nilai sepuluh ribu tael perak.

Yuanchang tipikal pejabat jujur dan bersih. Dia baru melewati usianya yang ketiga puluh tujuh musim gugur tahun kemarin. Penampilannya sederhana. Jika tak memakai jubah pejabat beserta segala atributnya, orang hanya mengiranya seperti pria cendekia kebanyakan. Seperti pada perjalanannya yang sekarang. Meski membawa uang dalam jumlah besar, Yuanchang sengaja tidak memakai banyak pengawal agar tidak mencolok. Jarak antara Jiangsu dan Beijing cukup jauh. Dan tidak menutup kemungkinan jika melihat rombongan yang megah, para penjahat akan mengatur siasat untuk mencegat di tengah jalan.

Cara bepergian seperti ini sepertinya berhasil. Sudah lewat tiga hari sejak dia mulai berangkat dari rumah dinasnya di Jiangsu. Semuanya tampak lancar-lancar saja. Yuanchang memakai baju biasa dengan satu jubah panjang berwarna hujau di bagian luar. Jubah pejabatnya tersimpan di bagasi dan baru akan dikenakannya jika memasuki istana. Topi bepergiannya dihiasi sebutir giok hijau tepat di tengah-tengah.

Makin ke utara, udara semakin dingin. Yuanchang pun memakai mantel bulu hitam - hadiah dari salah seorang Pangeran Manchuria, kerabat Kaisar. Yuanchang menyembunyikan lencana pejabatnya yang terbuat dari lempengan emas di balik jubah luarnya. Tapi sebuah jam berantai perak tetap dipakainya untuk melihat waktu. Dengan penampilan seperti ini, orang-orang akan mengira Yuanchang hanya seorang sarjana yang sedang berpergian. Dan kotak berbungkus beludru yang dibawanya itu cuma berisi buku serta alat tulis-menulis.

Seandainya pun terjadi hal yang tidak diinginkan, A Fu, pemuda tujuh belas tahun yang menyamar jadi pembantu sais itu pasti bisa mengantisipasinya. A Fu adalah perwira kepercayaan Yuanchang yang berilmu silat tinggi. Selain A Fu, Yuanchang dan si kusir bertubuh gemuk, Wang Chao, juga menguasai beberapa teknik bela diri.

“Bruuuukkk!!!!” terdengar tubrukan keras. Kereta terperosok. Yuanchang jatuh dari kursinya dengan lutut menumpu dasar kereta.

“Tuan! Anda tak apa-apa?” seru A Fu. Yuanchang mendongakkan kepala dan merasa udara dingin berdesir. Rupanya A Fu membuka pintu kereta dan berdiri di hadapannya.

Bergegas Yuanchang meraba peti yang paling dilindunginya. Syukurlah kain beludru masih tersimpul rapi membungkus peti itu. “Apakah anda pusing?” tanya A Fu lagi. Perlahan-lahan Yuanchang bangkit. “Tidak,” jawabnya kemudian. “Aku tidak apa-apa.”

Dibantu A Fu, Yuanchang turun dari kereta. Rupanya kereta terperosok miring ke sebuah lubang yang tertutup salju. Mereka menghampiri Wang Chao yang tengah memeriksa roda.

"Tuan, roda ini tak bisa dipakai lagi. As-nya patah. Kita mesti menggantinya dengan roda cadangan,” kata Wang Chao.

“Baik. Gantilah kalau begitu.”

“Tapi…, jika aku mengganti roda ini, kita tak bisa melewati daerah Linqing malam ini.”

A Fu menimpali, “Tuan, daerah Linqing di itu sangat berbahaya. Sebaiknya kita jangan melintas di sana malam hari.”

Yuanchang merogoh jam perak dari balik jubahnya. Pukul lima sore. “Sepertinya tak ada pilihan lain. Roda itu mesti diganti dan malam ini kita bermalam di Linqing.”

Wang Chao menyanggupi dan dia mulai mengambil roda cadangan yang ditaruh di bawah kereta. A Fu memeriksa sekeliling. Setelah merasa tak ada orang lain di sekitar situ selain mereka bertiga, dia membantu Wang Chao mengganti roda.

Sambil menunggu pekerjaan Wang Chao selesai, Yuanchang mengamati daerah sekitarnya. Hutan pinus gundul tertutup hamparan salju di sisi kiri-kanan. Di depan, tak jauh dari lubang keretanya terperosok, sebuah jurang menganga lebar. Dan di seberang jurang, jauh di depan sana, ada dataran tandus tertutup salju. Berwarna putih diselingi bercak-bercak coklat. Itulah Linqing, yang terkenal sebagai markas para penyamun Shandong.

Roda baru dipasang memerlukan waktu sekurang-kurangnya setengah jam. Dan pada saat segalanya telah selesai, langit sudah mulai hitam.

“Tuan, apa anda sungguh yakin akan menginap di Linqing malam ini?” tanya Wang Chao. “Anda bepergian tidak mencolok seperti ini justru dengan harapan bisa melewati daerah Linqing dengan aman. Tapi rupanya saya telah berbuat kesalahan.”

“Jangan menyalahkan dirimu. Tak seorangpun yang bersalah di sini,” ujar Yuanchang.

“Desa sebelumnya berjarak setengah hari perjalanan dari sini. Terlalu jauh jika kita kembali ke sana. Sepertinya takdir kita harus menginap di Linqing malam ini. Kecelakaan tadi merupakan pertanda kalau Linqing sedang menunggu kita. Karenanya, mari kita ke sana!”

Wang Chao pun menghela keretanya menuju Linqing.

***

“Tuan, kandangnya sebelah sini!”

Yuanchang mendengar seorang pemuda berseru ketika mereka memasuki halaman sebuah penginapan di Linqing. Dan Wang Chao melambatkan laju kudanya mengikuti pemuda itu.

Begitu kereta memasuki kandang, barulah Yuanchang turun. Pemuda tadi bergegas mendekatinya. Melihat bungkusan beludru yang dibawa Yuanchang, pemuda itu mengulurkan tangan, “Tuan, mari aku yang bawakan barangmu.”

A Fu segera maju menghadang. Gagang pedangnya nyaris mengenai hidung pemuda itu. “Tidak perlu! Biar Tuanku sendiri yang membawanya!”

Pemuda itu terkejut dan mundur beberapa langkah. Yuanchang menilai pemuda itu berusia empat belas atau lima belas tahun. Bertubuh kurus dan bernyali kecil. Dia kemungkinan pesuruh di penginapan.

Pemuda itu pergi. Yuanchang berbisik pada A Fu, “Kau agak keras padanya. Dia jadi ketakutan.”

A Fu balas berbisik, “Kita tidak tahu apakah dia penjahat yang berlagak bodoh atau bukan, Tuan.”

Penginapan itu penginapan tua. Tembok luarnya sebagian tertutup salju. Pintu serta kusen-kusen jendela yang terbuat dari kayu mengelupas sana-sini. Pada bagian depan pintu utama terpampang nama penginapan itu. Tertulis pada sebuah papan usang dengan tulisan yang catnya mengabur: ‘Gerbang naga’.

Yuanchang, Wang Chao dan A Fu memasuki penginapan itu. Di dalam tercium bau lembab dari dinding-dinding tua. Di meja kasir, mereka disambut seorang wanita paruh baya. Dandanan wanita itu menor sekali. Bibir, pipi, pakaian serta saputangannya berwarna merah menyala. Sekuntum bunga merah besar terselip di sanggulnya. Penampilan wanita itu begitu mencolok. Beda jauh dengan bangunan penginapan yang yang ditungguinya.

“Selamat malam Tuan-Tuan,” wanita itu tersenyum genit sambil melambai-lambaikan saputangannya. “Ada yang bisa kubantu?”

“Kami butuh satu kamar untuk ditempati bertiga,” Yuanchang menjawab.

“Satu kamar saja?” wanita itu seolah tak percaya. “Tuan, kau tampak seperti seorang sarjana. Tak pantas berbagi kamar dengan pembantu-pembantumu.” Wanita itu melirik bungkusan Yuanchang. “Kau tentu ingin beristirahat dengan tenang di kamarmu sendiri. Kau semestinya menyewa dua kamar. Kami punya dua kamar yang bersebelahan jika kau mau.”

Jika Yuanchang bersikeras dia harus sekamar dengan Wang Chao dan A Fu, wanita itu pasti curiga dengan barang bawaannya. Maka, Yuanchang mengiyakan menyewa dua kamar yang saling bersebelahan.

Setelah urusan membayar selesai, wanita itu mengantar ketiga tamu menuju kamar mereka. Sambil menaiki tangga, dia berceloteh. Tentang sejarah penginapan yang panjang, tentang musim dingin yang membuat usahanya sepi karena musafir kurang melintas.

Sewaktu menaiki tangga mengikuti wanita itu, Yuanchang sekilas melihat ke arah belakang penginapan yang rupanya adalah dapur. Pemuda yang dibentak A Fu tadi ada di sana. Dia tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita berbaju hitam. Wanita itu masih muda. Dia memberi si pemuda mantau. Pemuda itu memakannya lahap dengan tersenyum lebar. Wanita itu ikut tersenyum. Menepuk-nepuk kepala pemuda itu dengan rasa sayang.

Mereka seperti kakak-adik, pikir Yuanchang. Wanita berbaju hitam itu keluar dari dapur menuju ruang depan. Tatapan matanya bertemu dengan wanita berpenampilan menor. Gerak-gerik mereka tak luput dari pengamatan Yuanchang. Keduanya seperti tengah mengirim isyarat.

“Ah, budak perempuan itu kusuruh menyiapkan makanan,” jelas wanita berpenampilan menor. Yuanchang tersenyum. Dia tahu, isyarat tadi bukan sekedar soal menyiapkan makanan.

***

Yuanchang, Wang Chao dan A Fu memasuki kamar mereka masing-masing. Tak lama, ketiganya kembali berkumpul untuk makan malam di kamar Yuanchang.

Yuanchang telah melepas mantel bulunya. Dia duduk diapit Wang Chao dan A Fu di depan sebuah meja bundar. Di hadapan mereka tersaji tiga macam masakan yang terdiri dari tumis sayuran dan ayam. Ada pula tiga mangkuk nasi, beberapa botol arak serta cawan untuk minum.

Wanita berpenampilan menor itu berkata keras-keras, “Maaf Tuan-Tuan, karena sekarang sedang musim dingin, tak banyak pilihan makanan yang bisa kami tawarkan. Tapi, kami punya hiburan lain yang bisa membuat anda bertiga senang.”

Wanita itu bertepuk tangan. Lima orang gadis muda berpenampilan menarik memasuki kamar. Mereka berpakaian warna-warni, berdandan tebal dan memakai parfum. Dua diantaranya membawa alat musik pipa-sejenis mandolin.

“Kalian temani tuan-tuan ini makan,” begitu instruksi dari si wanita menor. Rupanya dia juga seorang mucikari. “Bernyanyilah dengan suara paling merdu. Dan kalian,” katanya pada gadis-gadis yang tidak membawa alat musik. “Tuangkan arak bagi Tuan-Tuan ini.”

Gadis-gadis itu segera melakukan tugasnya. Dua orang duduk di depan meja makan dan mulai memainkan alat musik sambil menyanyi. Suara mereka lumayan merdu. Sementara tiga lainnya masing-masing mendampingi Yuanchang, Wang Chao dan A Fu. Tapi ketiga pria itu belum mau menyentuh makanan apapun.

Yuanchang melihat wanita berbaju hitam itu melintasi selasar. Wanita berpenampilan menor mengangguk ke arahnya. Dua lagu telah selesai, tapi ketiga pria itu belum juga menyantap makanan mereka. Wanita berpenampilan menor itu pun bertanya,

“Tuan-tuan, kenapa makanannya belum dimakan? Nanti keburu dingin.”

Yuanchang menjawab, “Setiap kali aku berpergian dan menginap di sebuah tempat, aku selalu makan dengan Tuan Rumah. Aku harap, di sini pun aku bisa makan bersamanya.”

Wanita berpenampilan menor itu terpengarah. “Oh, begitukah, Tuan? Baiklah, dimana-mana pelanggan adalah Raja. Permintaanmu akan kupenuhi. Akan kutemani kalian makan bersama.”

“Tapi bukan kau yang kuinginkan.”

“Tapi akulah majikan tempat ini.”

Dengan tenang Yuanchang berkata, “Penampilanmu tak menegaskan posisimu padaku, Nyonya. Kau orang suruhan – sama seperti gadis-gadis ini.”

Wanita itu tertawa mengejek, “Baiklah, kalau aku bujan majikan tempat ini, lantas siapa? Apa kau tahu, Tuan?”

“Wanita berbaju hitam itu. Yang kulihat sewaktu menaiki tangga. Aku ingin dia yang menemaniku.”

“Apa?”

Wanita berpenampilan menor itu kembali terpengarah. Bahkan kelima gadis saling pandang dengan gelisah.

“Dia cuma budak perempuan yang bekerja di dapur kami…,” kata wanita itu terbata-bata. “Akulah majikannya dan kelima gadis di sini jauh lebih baik daripada dia!”

Yuanchang tetap diam. Tanda dia tetap pada keputusannya. Wanita berpenampilan menor tidak punya pilihan lagi. Dia terpaksa bangkit dan keluar kamar. Berteriak di depan langkan,

“Da Niu! Panggil Jiejiemu – kakak perempuan, kemari!”

***

Wanita itu datang. Dia masih memakai qipao dan celana panjang hitamnya.

Ada perasaan senang dalam diri Yuanchang. Dia dapat melihat wajah wanita berbaju hitam itu dari dekat. Wajahnya memanjang berbentuk oval. Berdasarkan Shiang mien-ilmu meramal wajah, wajah seperti ini mencerminkan karakter orang yang berani berkorban demi hal-hal yang diyakininya. Sejak jaman negara-negara berperang di China, para jendral akan menaruh prajurit-prajuritnyanya dengan wajah oval seperti ini di garis depan untuk menjadi martir.

Alis wanita itu rapi dan tegas. Sepasang matanya berkilauan, menyiratkan kecerdasan tersembunyi. Untuk orang yang jeli seperti Yuanchang, wanita ini mustahil hanya seorang koki. Bibir wanita itu penuh. Hidungnya lurus dan tidak pesek. Rambutnya sehitam pakaian yang dikenakannya, tersisir rapi dan dikepang ke belakang.

Dia tidak mengenakan riasan apapun seperti kelima gadis. Yuanchang menebak usianya maksimal dua puluh tahun. Cara berjalannya tegak dan anggun. Tidak meliuk-liuk dan genit. Yuanchang yakin, dia bergaul akrab dengan kelima gadis penghibur. Tapi tingkah lakunya sama sekali tak terpengaruh oleh mereka.

“Apa Tuan memanggilku?” tanya wanita berbaju hitam itu.

"Ya. Aku ingin kau menemaniku makan,” jawab Yuanchang.

Wanita itu tersenyum. “Tapi kulihat kau sudah ditemani oleh banyak gadis. Mengapa masih memintaku menemanimu?”

Yuanchang tidak menjawab. Dia hanya menatap lurus wanita itu. Wanita berbaju hitam itu menghampiri sebuah kursi di depan Yuanchang. Lalu dia duduk.

“Masakan di sini mungkin tak seenak di tempat lain. Karena kami di gunung, kami kesulitan memperoleh garam apalagi di cuaca seperti ini.”

Yuanchang tetap diam.

“Atau Tuan khawatir makanannya beracun? Aku menaruh sesuatu pada masakan - kemudian anda memakannya dan terbius. Lalu aku akan memanggil orang untuk merampok anda?”

Yuanchang tersenyum dan memundurkan badan ke belakang kursi. Wanita berbaju hitam itu sepertinya terprovokasi. Dia mengambil sumpit cadangan lalu mulai mengambil masing-masing secuil dari tiga macam makanan yang terhidang di meja.

Yuanchang senang melihat cara wanita itu makan. Dia mengunyah makanannya dengan perlahan. Mulutnya masih tertutup rapat. Hanya kedua rahangnya yang bergerak-gerak.

Setelah wanita berbaju hitam itu menelan makanannya, semua orang menunggu. Beberapa saat berlalu. Tak terjadi apa-apa. Wanita berbaju hitam itu menantang Yuanchang, “Tuan, sekarang kau boleh makan. Masakannya tak beracun.”

Yuanchang kembali tersenyum. “Aku tak bilang makanannya beracun. Aku hanya ingin kau menamani kami makan. Itu saja.”

Wanita berbaju hitam itu terkecoh. Mungkin dia terlalu berlebihan tadi. Yuanchang, Wang Chao dan A Fu kini menyantap makanan itu dengan lahap. Wanita berbaju hitam itu hanya bisa mengisyaratkan para gadis untuk melanjutkan tugas mereka menghibur para tamu. Sementara dia tetap duduk di sana seperti permintaan Yuanchang.

***

Ketika santap malam selesai, wanita berpenampilan menor berkata pada Yuanchang.

“Apakah Tuan ingin salah satu dari gadis-gadisku menemani anda malam ini? Tenang, bayaran mereka lebih murah dari gadis-gadis di tempat lain.”

Tapi mereka bekerja sama dengan perampok. Dan menginformasikan kalau barusan mereka melayani tamu yang kaya, Yuanchang membatin.

“Aku menginginkan yang berbaju hitam. Yang lainnya, boleh pergi.”

Wanita berpenampilan menor dan gadis-gadis itu terkejut. Secara refleks gadis-gadis itu mengelilingi wanita berbaju hitam-seolah melindunginya. Wanita berpenampilan menor kembali meyakinkan Yuanchang.

“Aiya, apa bagusnya budak perempuan ini? Dia cuma pekerja kasar. Mana bisa dibandingkan dengan kelima gadisku yang cantik dan halus?”

Yuanchang menimpali, ”Wanita pekerja kasar tapi telapak tangannya sehalus gading?”

Wanita berbaju hitam terhenyak. Dia mengepalkan kedua tangannya yang putih rapat-rapat ke pangkuan. Rupanya Yuanchang mengamatinya dengan seksama sejak tadi.
Bahkan kedua tangannya pun tak luput dari pengamatan.

“Baiklah,” kata wanita berbaju hitam berat. “Malam ini aku setuju menemani anda, Tuan,”

“Jiejie!” kelima gadis berseru. Wanita berbaju hitam itu berdiri.

"Tuan tunggulah sebentar. Aku akan kembali dengan membawa selimut.”

***

“Tuan, tidakkah cukup berbahaya mengajak wanita itu bersama anda malam ini sekalipun dia berasal dari dapur?” Wang Chao bertanya ketika seluruh wanita telah pergi.

“Jangan salah,” jawab Yuanchang. “Aku justru meminta wanita itu kemari karena dia akan melindungi kita. Wanita itu bukan koki. Dialah pemilik tempat ini yang sesungguhnya. Dan jika aku bersama majikan mereka, para perampok itu akan berpikir sebelum mereka menyerang kita malam ini.”

Wang Chao dan A Fu mengerti. Seperti yang dikatakannya, wanita berbaju hitam itu kembali sambil membawa selimut. Selimut adalah tanda seorang wanita penghibur menemani tamu pria di daerah itu. Wang Chao dan A Fu undur diri. Pintu kamar tertutup. Yuanchang mempersilakan wanita itu duduk di hadapannya. Tapi dia sama sekali tidak menyentuhnya.

Sesungguhnya, Yuanchang hanya ingin bercakap-cakap dengan wanita itu. “Katakan, siapa namamu?” tanya Yuanchang

Wanita itu diam sejenak. Mungkin dia tengah mempertimbangkan apa yang harus dikatakannya. Pertanyaan Yuanchang ini bisa bermakna ganda. Wanita itu waspada.

“Kita sudah sedekat ini tapi belum mengetahui nama masing-masing. Baiklah, aku yang mulai lebih dulu. Namaku Yuanchang, margaku Zhu.”

Wanita itu menghela napas lega. “Namaku Xiaojie.”

“Xiaojie? Di selatan, itu panggilan bagi gadis-gadis yang belum menikah.”

“Benar. Tapi di sini gadis yang belum menikah dipanggil Guniang, jadi saya rasa nama Xiaojie tak masalah.”

“Pasti ada alasan kenapa sampai kau dinamakan demikian oleh orang tuamu.”

“Sebenarnya, saudara-saudara lelakikulah yang menamaiku demikian.”

“Oh, jadi kau punya saudara?”

“Ya, aku punya empat kakak dan seorang adik lelaki,” wanita itu tersenyum. “Kata mereka, sewaktu kecil aku sering menangis keras-keras dan susah berhenti sampai mereka ketakutan mendengarnya. Maka, meski berstatus sebagai adik, mereka segan padaku seperti kakak perempuan mereka. Itu sebabnya mereka menamaiku Xiaojie.”

“Lalu, kemana saudara-saudaramu itu? Apakah mereka juga berada di sini?”

“Tidak..,” Xiaojie mendadak gugup. “Kakak-kakakku…, mereka sedang pergi. Hanya adik lelakiku, Da Niu yang tinggal. Kurasa kau sudah bertemu dengannya tadi.”

“Ya, dia yang mengurus keretaku,” Yuanchang mengangguk. Keempat saudaranya pasti tengah bersembunyi di luar penginapan mengincar mangsa. Pintar sekali. Mereka perampok yang tidak pulang ke rumah ketika ada tamu. Dan menjadikan dua saudara lebih muda sebagai informan.”

“Mengapa kau berbaju hitam, Xiaojie?” tanya Yuanchang lagi. “Di tempat lain, bahkan gadis tukang cuci di rumah penginapan pun pakaiannya berwarna. Hitam itu sama dengan kesuraman. Jika terlihat tamu, mereka biasanya kurang suka.”

“Aku berpakaian seperti ini semenjak ibuku meninggal. Waktu itu usiaku dua belas tahun.”

“Kapan itu?”

"Sepuluh tahun lalu.”

“Artinya kau kini berusia dua puluh dua?” Yuanchang tertawa. “Sungguh… Kau lebih muda dari sangkaanku. Apakah kau akan berbaju hitam selamanya?”

“Tidak. Aku akan berbaju merah jika menikah kelak,” Xiaojie tersipu. “Anda sendiri, Tuan? Berapa usia anda?”

Yuanchang menghela napas, “Aku berumur tiga puluh tujuh tahun.”

“Anda juga lebih muda dari sangkaanku. Aku sempat mengira anda baru berumur tiga puluh,” Xiaojie memuji Yuanchang. “Anda pasti sudah menikah,” katanya sambil melirik dahi Yuanchang yang lebar dan hidungnya yang mancung. “Memiliki beberapa anak yang usia tertuanya mungkin tujuh belas tahun.”

Yuanchang menggeleng. Sebuah kalimat terlontar dari bibir tipisnya, “Aku belum menikah.”

Xiaojie menganga. Yuanchang menerawang. Seolah kembali ke masa silam.

“Aku pernah bertunangan sewaktu berumur dua puluh lima. Tunanganku gadis cantik delapan belas tahun. Kami hanya bertemu sekali. Tiga bulan sebelum pernikahan dia meninggal karena cacar.”

Xiaojie terkejut. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengungkit kenangan sedih Tuan.”

“Tidak apa-apa. Kau sendiri? Apakah kau sudah menikah?”

Xiaojie menggeleng. “Belum. Mana ada pria yang mau menikahi wanita yang bekerja di penginapan terpencil seperti ini? Setiap hari bersama wanita penghibur. Bahkan sekarang pun dia telah menjadi salah satu dari wanita penghibur itu.”

Yuanchang melihat Xiaojie dengan prihatin. “Kau pernah mendengar kisah Liang Hongyu?”

Xiaojie melirik Yuanchang. ”Aku gadis miskin yang tidak membaca banyak buku. Sejak kecil hidup terkurung di Linqing ini. Aku belum pernah mendengar nama itu.”

Jadi Yuanchang berkesempatan mendongeng, “Liang Hongyu adalah pahlawan wanita pada jaman Dinasti Song. Dia dijual ke rumah bordil ketika ayahnya kalah perang. Di sana dia menjadi wanita penghibur yang bertugas menyanyi bagi para tentara.”

“Liang Hongyu lalu bertemu dengan Han Shizhong-seorang perwira muda. Liang pernah menyelamatkan Han. Keduanya saling menyukai lalu menikah. Di kemudian hari Han Shizhong menjadi jendral besar. Liang Hongyu mendampinginya terus hingga akhir hayatnya.”

“Aku mengerti sedikit ucapanmu Tuan,” kata Xiaojie. “Maksudmu, wanita penghibur seperti aku juga punya peluang untuk menjadi pahlawan dan mendapat hidup yang layak. Tapi aku hanya gadis miskin yang dijual ke tempat memalukan ini untuk bertahan hidup. Tidak pandai melihat peluang seperti Liang Hongyu. Juga tidak punya kesempatan seperti itu.”

Yuanchang merasa Xiaojie merendah. Tapi perasaan gadis itu tergerak. Pertanda bagus. Tapi mendadak, Xiaojie bertanya, “Tuan Zhu… Sebenarnya siapa anda? Dari penampilan, anda bukan sarjana biasa. Dari percakapan, anda jelas lebih taktis dari pedagang. Apakah… anda seorang pejabat pemerintah?”

Yuanchang tidak menduga kalau Xiaojie bisa langsung menebak profesinya. Secara refleks, dia menyentuh peti berbungkus kain beludru di sampingnya.

“Kau tahu apa isinya ini?” pancing Yuanchang.

“Entahlah,” jawab Xiaojie, masih menatap Yuanchang lurus-lurus. “Bisa jadi itu hanya berisi gulungan lukisan. Atau kalau kau pejabat, mungkin peti itu berisi stempel.”

Yuanchang memutuskan saatnya mempercayai gadis itu. “Bukan keduanya. Isinya uang perak beserta sekumpulan surat berharga. Nilai keseluruhannya mencapai sepuluh ribu tael perak.”

Xiaojie terpana. Apakah Tuan Zhu ini cukup bodoh sehingga meceritakan rahasia sebesar itu padanya?

“Tuan, atas dasar apa anda menceritakan isi peti itu padaku?”

“Karena kau wanita yang cerdas dan baik hati. Aku percaya kau bukan wanita sejahat yang ingin ditampilkan tempat ini.”

Xiaojie menghela napas. Tubuhnya menggigil. Yuanchang baru sadar kalau pemanas di ruangan itu kehabisan batu bara. Dia lalu mengambil mantel bulunya dan memakaikannya ke pundak Xiaojie.

Percakapan pun berlanjut seperti dua orang teman dekat. Xiaojie bercerita tentang tiga saudara lelakinya yang merupakan anak adopsi – tapi mereka memperlakukan satu sama lain layaknya saudara kandung. Yuanchang bercerita kalau dia petugas pajak di Jiangsu. Di masa sulit ini berat baginya memungut pajak dari rakyat yang sedang kesusahan. Yuanchang mencemaskan kelangsungan Dinasti Qing. Di tengah serbuan negara asing dan pemberontakan dalam negeri, Yuanchang bimbang kalau Dinasti Qing mampu bertahan.

“Jika Dinasti Qing tumbang,” kata Xiaojie. “Para penyamun Linqing tak perlu takut keluar dari wilayah ini lagi.”

***

Tak terasa, subuh telah merekah. Sesuai peraturan, wanita penghibur harus keluar dari kamar tamu sebelum fajar menyingsing.

Xiaojie melepas mantel Yuanchang, bermaksud mengembalikannya.

“Tidak perlu dikembalikan. Ambillah,” kata Yuanchang. Dia juga memberi empat tael perak ke tangan Xiaojie.

“Saya tidak bisa menerima mantel atau uang anda,” Xiaojie mengembalikan uang itu. “Saya tidak melakukan apa-apa dengan anda. Jadi anda tidak pantas membayar saya.”

"Baiklah, kalau kau tidak mau menerima uang. Tapi kau harus menerima mantel itu. Di luar hawa sangat dingin. Lihat, salju mulai turun lagi. Kau akan membutuhkannya. Mantel ini aku berikan sebagai bentuk penghormatan. Kau adalah wanita yang istimewa, Xiaojie. Aku sangat menikmati perbincangan kita semalam.”

Xiaojie membungkuk untuk menghaturkan terima kasih. Dia lalu keluar dan menutup pintu. Hati Yuanchang tidak tenang. Meski telah semalaman bicara dengan gadis itu, Xiaojie belum gamblang mengakui siapa dirinya. Kira-kira sepuluh menit berlalu, pintu kamar Yuanchang kembali diketuk. Xiaojie muncul kembali.

“Aku akan jujur padamu, Tuan Zhu,” Xiaojie berkata sungguh-sungguh. Uap keluar dari mulutnya. “Aku sesungguhnya putri dari pemimpin perampok daerah sini. Keempat saudara lelakiku yang lebih tua, bersama anak buah mereka-berjaga di pos masing-masing untuk menjebak pelancong. Aku ditugaskan mengelola penginapan bersama adik kami, Da Niu. Kami menjadi mata-mata mereka.”

“Kadang-kadang jika terpaksa, aku juga turun tangan menemani tamu seperti semalam. Tapi aku bersumpah kalau aku masih suci. Aku menyembunyikan sebilah belati di balik lengan bajuku. Jika ada pria yang memaksa menyentuhku, aku tak segan-segan akan membunuhnya. Aku sangat menghargai ketertarikan anda padaku. Maka, nanti aku akan mengutus Da Niu membawa sebuah barang berharga kepada anda. Bawalah barang itu dan teruskanlah perjalanan anda sebelum salju mencair.”

Yuanchang terpana mendengarnya. Dia membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Xiaojie kembali berlalu dari Yuanchang. Dia berlalu setelah memberi seulas senyum yang indah.

***

Setengah jam setelah Xiaojie berlalu, Da Niu muncul di depan pintu kamar Yuanchang. Dia membawa bungkusan kecil.

“Ini dari Jiejie. Pasanglah di kereta anda. Ini sangat berguna jika anda bertemu dengan para pencegat sampai di Yangliuqing.”

“Jika aku sudah memakainya, bagaimana cara mengembalikannya?” Yuanchang berpikir dia baru kembali ke Jiangsu selepas tahun baru dan akan melewati rute lain-bukan Linqing.

“Anda berikan saja pada pejabat di pos perbatasan Yangliuqing. Dia akan menyimpannya sampai salah satu dari kami menjemputnya.”

Yuanchang mengucapkan terima kasih. Dia hendak memberi uang satu tael perak kepada Da Niu. Tapi Da Niu menolaknya.

“Jiejie melarangku menerima uang.”

Setelah Da Niu pergi, Wang Chao dan A Fu mendatangi kamar tuan mereka. Yuanchang membuka bungkusan dari Xiaojie. Isinya bendera segitiga berwarna kuning. Sebuah bunga plum tersulam di tengah-tengah bendera dengan benang merah. Bendera itu panjangnya empat puluh sentimeter, lebarnya sekitar dua puluh lima dan tongkatnya setinggi lima puluh sentimeter.

“Dari mana Tuan mendapatkan ini?” tanya Wang Chao seolah tidak percaya. “Mari berangkat segera! Kita aman melintasi wilayah ini sekarang!”

Wang Chao mengikat bendera itu di sebelah kanan depan kereta. Setelah itu dia duduk di kursi sais didampingi A Fu. Sambil membawa petinya, Yuanchang pun berangkat.

Kira-kira dalam jarak sepuluh mil dari penginapan Gerbang Naga, kereta mereka dihadang oleh sekelompok pria berkuda. Pria-pria tersebut menutup separuh wajah dengan kain. Mereka bersenjata dan mengepung kereta itu. Yuanchang mengepalkan tangan, bersiaga seandainya bendera itu tak membantu.

Tapi kemudian dia mendengar percakapan dua pria yang wajahnya separuh tertutup itu.

“Kita tidak boleh menyentuh kereta ini. Ada bendera Xiaojie terpasang di atasnya.”

“Tapi dari informasi yang dibawa pengintai, semalam hanya ada tiga orang pria dalam satu rombongan yang menginap di Gerbang Naga. Pasti mereka inilah orangnya!”

“Kita harus menghormati keputusan Xiaojie. Benderanya terpasang – berarti dia melindungi orang-orang ini! Ayo pergi!”

Sekelompok pria berkuda itu bubar. Yuanchang merasa lega. Selanjutnya, berturut-turut empat kali keretanya dihadang rombongan pria berkuda memakai topeng dan bersenjata. Tapi semuanya tidak mengganggunya berkat bendera segitiga itu. Akhirnya, Yuanchang sampai dengan selamat di Yangliuqing.

Di pos perbatasan Yangliuqing dan Linqing, seorang petugas bernama Tuan Ding menyambut Yuanchang. Setelah saling berkenalan dan bertukar salam, Tuan Ding berkata,

“Anda adalah pejabat pertama dari selatan yang sampai di sini. Apakah anda melewati Linqing?”

“Ya. di musim dingin seperti ini tidak ada jalur lain lebih cepat menuju Ibukota selain lewat Linqing.”

Tuan Ding terbelalak. “Anda cukup nekat melalui daerah itu.”

“Kami bahkan bermalam semalam di sana.”

Mata Tuan Ding semakin terbelalak. “Anda sungguh berani. Apakah… anda bisa melalui daerah itu dengan aman?”

“Ya. Berkat itu…,” Yuanchang menunjuk bendera segitiga yang sedang dilepas Wang Chao. “Kata orang yang memberi bendera ini padaku, sesampainya di Yangliuqing, bendera ini harus kuserahkan pada petugas di pos perbatasan. Itu berarti anda, Tuan Ding.”

Tuan Ding terkesima menerima bendera itu. “Bendera ini… Apakah anda memperolehnya dari wanita berbaju hitam?”

“Ya…”

Tuan Ding tersenyum. “Ini pemberian yang sangat berharga. Biasanya wanita itu hanya memberikannya kepada rombongan yang berisi wanita dan anak-anak. Sepertinya dia menyukaimu, Tuan.”

Yuanchang teringat pada senyum manis Xiaojie dan wajah ovalnya. Hatinya terasa hangat.

***

Sementara itu di Gerbang Naga, keempat saudara lelaki Xiaojie berkumpul. Tahun baru sebentar lagi tiba. Mereka sepakat libur dari aksi merampok mereka dan kembali ke rumah.

Ayah mereka, pemimpin para perampok daerah Linqing juga ada di Gerbang Naga. Dia sudah berumur enam puluh lima tahun. Tapi masih kuat menunggang kuda dan mengangkat tombak yang beratnya lebih sepuluh kilogram dengan satu tangan.

Saudara-saudara Xiaojie bersantai. Mereka berkumpul di sebuah meja sambil makan kacang dan minum arak. Da Niu sibuk sana-sini memenuhi permintaan kakak-kakaknya. Ayah mereka baru muncul di ruangan itu, duduk di sebuah meja terpisah. Wanita berpenampilan menor menghampirinya dan bertanya, “Tuan Besar, kau mau minum apa? Makan apa?”

Alih-alih mendapat jawaban, pemimpin perampok itu malah bertanya, “Mana Xiaojie? Sejak tadi aku tidak melihatnya.”

Wanita berpenampilan menor itu cemberut. “Huh! Jauh-jauh pulang kemari yang pertama dicari adalah putrinya!” omelnya. “Dia sedang di kamar!” jawabnya asal-asalan.

Tidak lama, Xiaojie muncul di ruangan itu. Kehadirannya langsung membuat seisi ruangan senyap. Semua mata tertuju padanya. Xiaojie berjalan pelan, melewati meja saudara-saudaranya - menuju ayah mereka.

Pemimpin perampok menggelengkan kepala karena mengira istrinya hidup kembali. Tapi kemudian disadarinya, Xiaojie-lah yang berdiri di hadapannya. Putrinya memakai gaun pengantin istrinya.

“Xiaojie, kau berbaju merah?” abang tertua Xiaojie bertanya.

Xiaojie menatap ayahnya dan berkata, “Ketika ibu meninggal, aku bersumpah memakai pakaian hitam-hitam. Aku berikrar baru akan menggantinya dengan pakaian berwarna ketika menikah.”

“Dan ayah juga berjanji padaku. Bahwa jika suatu hari aku menyukai seorang pria, siapapun dia, ayah akan merestui kami dan mengijinkanku pergi dengannya.”

Xiaojie kini tepat di hadapan ayahnya. “Sekarang, aku telah menemukan pria itu. Dia adalah Tuan Zhu Yuanchang dari Jiangsu. Maka aku mengganti pakaian hitamku dengan gaun pengantin ibu. Memohon restu ayah untuk melepasku.”

Pemimpin perampok terhenyak dengan ucapan putrinya. Xiaojie telah berusia dua puluh dua tahun. Untuk ukuran gadis di tempat lain, dia sudah termasuk perawan tua. Tapi si kepala perampok selama ini tidak pernah keberatan putrinya tinggal terus bersamanya. Dia menyayanginya - melebihi kelima putranya.

Karena rasa sayang itulah, si pemimpin perampok mengijinkan putrinya memilih sendiri calon suaminya. Sekian tahun, putrinya tidak pernah memilih pria manapun. Lalu tiba-tiba, hari ini dia tiba-tiba mendengar putrinya telah menentukan pilihan.

“Apakah Tuan Zhu yang kau maksud adalah tamu yang barusan menginap di sini beberapa hari lalu?” tanya abang kedua Xiaojie. “Kau memberinya bendera segitiga untuk dipasang di keretanya. Pasti itu orangnya, bukan?”

Abang ketiga Xiaojie bergegas menghampiri Xiaojie. “Apa pilihanmu tidak salah? Dia seorang pejabat negara! Apa kau bisa bersuamikan seorang pejabat sementara ayah dan saudara-saudaramu adalah perampok?”

Xiaojie melihat kembali ayahnya. “Tuan Zhu pria baik. Dia sangat perhatian serta menghormatiku. Aku tak menyesal memilihnya.”

Ayah Xiaojie tidak kuasa menatap wajah putrinya. Dia buru-buru berbalik dari kursinya.

“Jika kau memang memilih pria itu sebagai pendampingmu, aku merestuimu.”

"Ayah? Tapi pria itu pejabat Kerajaan!” seru saudara-saudara Xiaojie.

“Meski aku penjahat,” kata si ayah sambil menahan isak. “Aku tidak akan ingkar janji pada putriku sendiri. Tapi kau harus ingat, selepas dari sini kau bukan putriku lagi. Kau adalah istri lelaki itu. Dan kami tidak akan pernah memanfaatkan posisimu sebagai istri pejabat untuk melindungi kami. Di masa mendatang, kami juga tidak mau ada sangkut-paut denganmu lagi.”

Si pemimpin perampok berbalik kembali dan melihat putrinya dengan wajah tegar. "Pergilah… Sarang penyamun ini memang tidak layak bagimu.”

Da Niu, yang sedari tadi diam tiba-tiba berseru, “Jika Jiejie pergi, aku akan ikut bersamanya!”

Semua orang terkejut. Termasuk Xiaojie sendiri. “Da Niu?”

Da Niu berlutut di hadapan Xiaojie. “Kumohon, bawalah aku bersamamu. Sejak kedua orang tuaku tewas dan aku dibawa kemari, kaulah yang paling perhatian denganku. Kau mengasihiku seperti adikmu sendiri. Karenanya, kemanapun kau pergi, aku ingin bersamamu. Sekalipun menjadi pembantumu, aku mau…”

"Da Niu, mana mungkin aku menganggapmu sebagai pembantu? Kau sudah belasan tahun bersama kami. Kau adalah saudara kami semua,” ujar Xiaojie.

Abang keempat Xiaojie berkata, “Sudahlah, bawa saja Da Niu bersamamu. Sejak kecil dia paling dekat denganmu. Lagipula bisa apa dia di sini? Badannya terlalu lemah untuk jadi perampok seperti kami. Mungkin dia tidak ditakdirkan menjadi garong di Linqing. Takdir anak ini ada di tempat lain dan kaulah yang membawanya ke tempat itu.”

Xiaojie menatap ayahnya. Dan pria tua itu mengangguk lembut, “Kalian berdua, pergilah dari Linqing.”

Sebutir air mata haru mengalir dari pipi Xiaojie. Dia dan Da Niu berlutut dan berkowtow hingga kepala menyentuh tanah.

“Terima kasih, Ayah. Terima kasih…”

***
Istana Kekaisaran, Kota Terlarang, Beijing, tiga hari setelah Zhu Yuanchang meninggalkan Yangliuqing..

Yuanchang kini berada di balairung Aula Keselarasan Agung-aula terbesar di Kota Terlarang. Aula itu begitu megah, luas dan tinggi. Puluhan tiang warna merah menyangga aula itu. Dekorasi langit-langitnya berwarna emas. Berukir lilitan-lilitan naga. Lantainya berubin hijau. Tidak akan roboh sekalipun seribu orang melompat sekaligus di tempat itu.

Yuanchang berpakaian resmi menghadap Kaisar. Sebuah jubah hitam yang bagian dadanya bersulamkan awan-awan. Pada tepi jubah itu terjahit tunik warna-warni. Yuanchang mengenakan topi pejabat yang dihiasi bulu merak. Sebutir batu rubi bertengger di atasnya. Dia juga memakai sepatu but mengilap. Ketika berjalan memasuki aula, kepalanya tertunduk ke bawah.

Seorang kasim memegang peti yang dibawa Yuanchang dari Jiangsu. Sesampainya di hadapan Kaisar, tanpa mengangkat kepala, Yuanchang mengayunkan tangan kanannya dan berlutut mengucapkan salam, “Hamba, Zhu Yuanchang menghadap Yang Mulia. Semoga Yang Mulia panjang umur. Wan Sui! Wan, Wan Sui!”

“Jaksa Zhu, silakan berdiri….”

Suara perempuan? Yuanchang membatin. Dia terpaksa mendongakkan kepalanya dengan hati-hati untuk mencari tahu. Kaisar Guangxu duduk kaku di tahtanya. Di belakangnya, di balik tirai sutra merah muda duduk sesosok lain. Seorang wanita yang semua orang tahu-kekuasaannya lebih besar daripada Kaisar itu sendiri. Bibi Kaisar, Ibusuri Cixi!

Yuanchang segera menundukkan kepala dan menghaturkan salam hormat lagi. “Maafkan kelancangan hamba yang tidak tahu kalau Yang Mulia Ibusuri juga berada di sini! Terimalah salam sejahtera dari hamba, Zhu Yuanchang. Semoga Yang Mulia Ibusuri panjang umur! Wan Sui! Wan, Wan Sui!”

“Kaulah pejabat pertama yang tiba di Ibukota,” kata Ibusuri Cixi. “Semalam, aku mendapat kabar kalau pajak dari Guangdong tertahan di Shandong. Kurasa, mereka dicegat perampok Linqing. Seandainya saja pasukan kerajaan tidak selemah sekarang karena usai bertempur dengan pasukan asing, aku pasti sudah memerintahkan mereka untuk menumpas gerombolan perampok itu!”

Yuanchang bergidik mendengar rencana Ibusuri. Dia teringat Xiaojie.

“Kau telah melaksanakan tugasmu dengan amat baik, Jaksa Zhu. Karenanya kau akan diberi imbalan yang pantas,” lanjut Ibusuri Cixi. Setelah itu, dia beserta dayang-dayangnya undur diri dari aula.

Setelah kepergian bibinya, Kaisar Guangxu turun dari tahta dan menghampiri Yuanchang.

“Jjj…aksa Zhu. Sss.. selama perjalanan kk.. kau pasti t.. telah b.. banyak menderita. Aa..ku seccara pribadi.. mm.. engucapkan tterima kasih pp..padamu.”

“Terima kasih, Yang Mulia,” jawab Yuanchang. Kaisar Guangxu terlihat senang dan menepuk pundak kirinya. Keduanya lalu berjalan bersama keluar aula.

Kaisar Guangxu adalah keponakan almarhum Kaisar Xianfeng, suami Ibusuri Cixi. Setelah putra mereka Kaisar Tongzhi meninggal lima belas tahun lalu, Ibusuri mengangkat salah satu keponakan suaminya yang berumur tujuh tahun sebagai kaisar baru. Ibusuri Cixi senang mengangkat kaisar bocah agar dapat menjadi wali mengontrol jalannya pemerintahan.

Kini Kaisar Guangxu berumur dua puluh dua. Bertahun-tahun tinggal di istana dengan gerak-gerik yang diawasi dan dikontrol oleh bibinya membuatnya jadi gagap. Kaisar Guangxu sangat takut pada bibinya. Ini bisa dirasakan semua orang jika mereka berada dalam satu ruangan. Kaisar akan mengkerut duduk di kursinya sementara bibinya yang mengambil alih.

Kini tanpa kehadiran Ibusuri, Kaisar tampak rileks di samping Yuanchang. Gagapnya pun sedikit berkurang.

“D.. dua hari lagi tahun baru. Jaksa Zhu, tinggallah lebih lama di Beijing. Dd..dan bertahun barulah di istana bersama kk.. kami…”

Yuanchang menghaturkan terima kasih. Setelah menemani Kaisar berkeliling di taman istana, Yuanchang keluar dari Kota Terlarang dan kembali ke wisma negara, tempatnya menginap.

Begitu memasuki wisma negara, Tuan Li, petugas pencatat tamu yang berdiri dekat pintu segera mencegat Yuanchang.

“Jaksa Zhu, ada sepasang pria dan wanita yang ingin menemuimu. Mereka kini berada di ruang tamu khusus.”

Kening Yuanchang berkerut. Sepasang pria dan wanita? Siapa?

Dengan langkah lebar, Yuanchang menuju ruang tamu khusus. Begitu memasuki ruangan, seorang pemuda lima belas tahun tengah duduk dan seorang wanita bermantel bulu hitam berdiri membelakanginya. Yuanchang langsung teringat, dia kenal sekali dengan mantel itu…

Pemuda yang duduk itu langsung berdiri begitu melihat Yuanchang. “Tuan Zhu!” sapa pemuda itu. Yuanchang menghampirinya dan mereka-reka.

“Kau…, kau Da Niu dari penginapan Gerbang Naga itu?”

“Ya! Aku orangnya!” sahut Da Niu bersemangat. “Aku kemari bersama Jiejieku!”

Yuanchang segera berpaling ke arah wanita bermantel hitam. Wanita itu juga sudah berbalik menghadap Yuanchang. Dia tersenyum. Wajah ovalnya tak pernah dilupakan Yuanchang sejak malam percakapan mereka di Gerbang Naga itu.

“Tuan Zhu, apa kabar?” Xiaojie memberi salam dengan menekuk lututnya.

Yuanchang nyaris tidak percaya. “Xiaojie… Bagaimana mungkin kau bisa berada di sini?”

Xiaojie tersenyum penuh arti pada Yuanchang. “Karena kisah Liang Hongyu anda. Kisah itu menyadarkanku kalau aku juga bisa seperti wanita-wanita itu. Dan aku memillih mengabdikan hidupku kepada anda.”

Xiaojie mengulurkan tangan. “Dengan ini aku bersedia menyerahkan seluruh masa depanku ke tangan anda, Tuan.”

Yuanchang terpana. Rasanya mustahil. Tiga hari yang lalu dia terperangkap di Linqing dan bertemu wanita ini. Berbincang-bincang dengannya dan wanita itu menolongnya. Sekarang, wanita itu hadir di sini dan mengatakan akan menyerahkan masa depannya kepada Yuanchang.

Kehangatan menjalar di seluruh tubuh Yuanchang. Perasaan yang telah terkubur tiga belas tahun silam muncul kembali. Yuanchang memastikan dirinya kembali jatuh cinta. Yang kini bahkan perasaannya lebih dalam dari belasan tahun lalu.

Xiaojie menunggu. “Jika anda tak menerima uluran tangan ini, Tuan, maka aku dan adikku tak punya tempat lagi untuk kembali.”

Yuanchang tertawa. Dia menyambut tangan Xiaojie. Menggenggamnya. Erat dan hangat.

Minggu, 30 Mei 2010

The Painter Lady (7): Kisah Terakhir


Sekembalinya di rumah usai berpergian bersama Zhang Rui, Ziwei sangat terkejut.

Zheng Yun duduk di tengah-tengah ruangan bengkel. Pedangnya terbuka berkilat-kilat, tergeletak di atas meja yang di seberangnya duduk Yingying. Ma Junqing di sampingnya. Tampang Yingying dan Junqing was-was - tapi tidak berani sembarang bertindak. Mereka khawatir Zheng Yun akan melayangkan pedang yang terhunus itu secara membabi buta kepada mereka.

Ziwei segera maju membentengi Ziwei dan Junqing. “Apa yang kau lakukan di sini?” serunya pada Zheng Yun. “Darimana kau tahu aku berada di sini? Kepala biarakah yang memberi tahumu?”

Zheng Yun memandang Ziwei sinis. “Kau tak perlu khawatir, bukan kepala biara yang memberitahuku. Sekalipun dia diancam akan dibunuh, dia tetap akan tutup mulut. Salah seorang muridnyalah yang memberitahuku. Ibu biksuni muda itu sedang tergolek sakit. Aku tinggal memberi bantuan dan sebagai ungkapan terima kasih, dia memberitahu kemana kalian pergi.”

“Keterlaluan!” hardik Ziwei. “Kau sungguh-sungguh tak mau melepas kami!”

Tuan Cai yang masih berada di situ buru-buru menghampiri Zhang Rui. “Pandai besi Zhang, maafkan aku. Aku tak tahu orang ini punya tujuan apa mencarimu. Kelihatannya, dia punya gelagat tidak baik…”

Zhang Rui mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat Tuan Cai berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Dia mendekati istri dan putrinya, berdiri di depan keduanya dan berhadapan langsung dengan Zheng Yun!

Inilah pertama kalinya kedua pria ini bertemu. Setelah sekian tahun mereka hanya saling tahu lewat Ziwei saja…

Zheng Yun lekas berdiri seolah menantang Zhang Rui. Zhang Rui mencoba bersikap tenang. Tidak bermusuhan atau membenci. Dia memandang lurus ke mata Zheng Yun.

“Akhirnya kita bertemu juga. Jendral Zheng, apa kabar?” Zhang Rui menyapa.

“Pandai juga kau berbasa-basi,” Zheng Yun meledek. “Kukira pandai besi miskin sepertimu tak punya sopan santun. Kalau dilihat-lihat, apa yang kau punya sehingga Ziwei dulu jatuh cinta padamu? Tampang pas-pasan, uang dan harta benda pun tak punya. Tapi mengapa…, dulu Ziwei memilihmu – bukannya aku?”

Zhang Rui terdiam sejenak. “Adakalanya, kita melihat sepasang kekasih serasi satu sama lain tapi mereka tidak bahagia. Ada pula, yang kelihatannya tidak serasi tapi mereka tetap bersama dan berbahagia. Demikianlah jika kita bicara tentang cinta Jendral. Tak dapat diprediksi atau diatur seperti strategi peperangan.”

“Ziwei mungkin dulu pernah dijodohkan denganmu. Pernikahan kalian telah diatur. Dari luar, kalian terlihat begitu cocok satu sama lain. Tapi tidak ada yang tahu kalau dalam hatinya, Ziwei tidak merasa demikian. Apakah anggapan orang-orang itu harus dipaksakan kepada Ziwei?”

Perkataan Zhang Rui itu membuat Zheng Yun naik pitam. “Seorang gelandangan yang telah merampas calon istriku berani berkata seperti itu padaku?” Zheng Yun meraih pedangnya dan mengarahkannya ke arah Zhang Rui. “Sudah lama aku menantikan pertemuan ini untuk membuat perhitungan denganmu. Sekaranglah saatnya aku membalas sakit hatiku!”

Yingying langsung menyeruak di antara kedua orang tuanya sewaktu Zheng Yun bersiap mengayunkan pedangnya.

“Kalau Anda hendak membunuh, bunuhlah aku!” serunya.

Zheng Yun melihat Yingying tanpa belas kasihan. “Baik, karena kau anak lelaki ini tak ada salahnya kau mati! Kalianlah penyebab Ziwei menolakku. Aku memang ingin membunuh orang untuk melampiaskan kekesalanku!”

Zheng Yun mengayunkan pedangnya tinggi-tinggi tanpa ampun. Semua orang yang ada di ruangan tersebut memekik. Yingying memejamkan mata.

Tak ada satupun sabetan mengenainya-padahal Yingying telah bersiap. Ketika dia membuka mata kembali, dilihatnya seseorang berdiri di depannya menahan pedang Zheng Yun. Ibunya!

Ziwei memegang erat ujung pedang Zheng Yun dengan tangan kanannya. Darah seketika menetes-netes. Yingying sontak terkejut dan memegang pundak ibunya sambil berseru, “Ibu, apa yang kau lakukan? Lepaskan pedangnya segera!”

Tapi Ziwei tak melepas genggamannya. Dia masih tetap berkuat-kuatan dengan Zheng Yun. “Langkahi mayatku dulu baru kau boleh menghabisi putriku.”

Zheng Yun yang tak menyangka Ziwei akan menggenggam ujung pedangnya, segera melepas pegangannya begitu melihat wanita itu terluka. Tapi mata pedang yang tajam tertancap di daging tangan Ziwei. Ziwei membuka dan mengibas tangannya sehingga pedang itu terjatuh ke lantai.

Ziwei menatap Zheng Yun. “Jadi dengan membunuh kami sekeluarga akan membuatmu puas? Kalau begitu, mulailah dari aku. Karena akulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Aku yang bodoh ini telah mengkhianati pertunangan baik-baik yang sudah diatur kakekku. Maka, yang pertama harus mati adalah aku!”

Menunduk, Ziwei memungut pedang Zheng Yun. Diserahkannya pedang tersebut kepada Zheng Yun sambil berkata,
“Silakan, bunuh aku lebih dulu sebelum kau menghabisi nyawa putri dan suamiku.”

Zheng Yun mundur terhuyung. Dia tidak sanggup melakukannya. Ziwei maju terus menghampirinya dengan pedang terulur. “Ayo!” Ziwei mengajak Zheng Yun menerima pedang tersebut.

“Atau kau mau aku melakukan sendiri di hadapanmu?”

“Hentikan!” terdengar suara seseorang di tengah kekacauan itu. Semua orang berpaling.
Di depan pintu, berdiri seorang wanita. Dia mengenakan topi bercadar kuning. Wajahnya tertutup cadar. Di belakangnya, berderet sekelompok pengawal berpakaian hitam-hitam yang siap-siaga.

Kasim Wang muncul di samping wanita itu. Dialah yang berteriak tadi. Tangannya memegang tongkat sida-sida. Wajahnya masih sama menakutkannya dengan lima belas tahun lalu. Dia memandang ke seluruh orang yang berada di ruangan tersebut.

Kasim Wang membungkuk ke hadapan wanita bercadar. “Yang Mulia, mereka semua berada di sini.”

Wanita itu mengangguk. Dia lalu mengangkat cadarnya dan melangkah maju agar dapat terlihat lebih jelas oleh semua orang di ruangan itu.

“Pelukis Wanita Zhao, sudah lama kita tak bertemu.”

Meski tidak ada atribut istana mewah yang menghiasinya, wanita itu tetap seanggun dulu. Dia sepertinya sedang melakukan perjalanan menyamar dengan sejumlah pengawal rahasia. Wanita itu masih berwibawa dan kritis seperti dulu.

Permaisuri Wu.

***
Permaisuri Wu dan Ziwei berbicara berdua di bengkel Zhang Rui. Kedua wanita itu duduk saling berhadapan pada sebuah meja. Semua orang diminta keluar. Para pengawal menjaga setiap sisi rumah.

Tangan Ziwei yang terluka telah dibalut. Dia menunggu Permaisuri Wu bicara.

“Kelihatannya kau bahagia meski tinggal di desa terpencil dan rumah sekecil ini, Pelukis Wanita Zhao. Asal suami dan putrimu bersamamu. Bukan begitu?” kata Permaisuri Wu.

Ziwei tak menyahut. Dia menunggu kalimat selanjutnya. Permaisuri Wu menghela napas.

“Tidak seperti aku. Aku punya banyak anak tapi satu per satu dari mereka menentangku. Kau sekalipun hanya memiliki satu putri dan kalian terpisah cukup lama, dia sepertinya menyayangimu.”
“Terima kasih atas pujian Yang Mulia. Mewakili putri hamba, hamba mengucapkan terima kasih.”

Permaisuri Wu tersenyum simpul lalu melanjutkan. “Musim panas ini, aku yang bosan tinggal di istana, memutuskan untuk pergi berkeliling. Tentu saja untuk tidak menarik perhatian, aku menyamar. Aku mengunjungi kuil Awan Terang. Dan di sana aku melihat lukisan Dewi Guanyin yang bagus sekali-ternyata hasil karyamu.”

“Aku tak menduga kemampuan melukismu telah pulih,” tuduh Permaisuri Wu. “Aku mengira kau tak akan pernah sanggup melukis lagi setelah kemalangan demi kemalangan menimpamu.”

Permaisuri Wu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Pemandangan Gunung Qiu, hingga kini tak seorang pun yang bisa melukisnya sesuai harapanku. Apakah kau masih mau ke Shandong sekali lagi untuk melukis Gunung Qiu?”

Terkejut, Ziwei mendongak menatap Permaisuri Wu seolah tak percaya. “Yang mulia menginginkan saya melukis gunung suci sekali lagi?”

“Ya,” Permaisuri Wu mengangguk. “Anggap saja kau menunaikan janji padaku enam belas tahun silam.”

“Apa ganjaran dari Yang Mulia jika aku menyelesaikan misi ini?” tanya Ziwei mengingat enam belas tahun lalu dia menerima misi ini agar pertunangannya dengan Zheng Yun dibatalkan. Tapi kini semua itu sudah berakhir. Ziwei bahkan telah bersama Zhang Rui dan Yingying meski Zheng Yun masih terobsesi padanya.

“Tentu saja ada uang dan gelar,” jawab Permaisuri Wu. “Namamu akan tercatat dalam kitab wanita istana sebagai salah satu wanita berprestasi dari Dinasti Tang. Selain itu aku juga akan memberi hadiah satu hal… Jaminan kalau Jendral Zheng Yun tak mengusik dirimu maupun keluargamu di masa mendatang!”

Ziwei tercenung. Dia ingat panorama Gunung Qiu belasan tahun lalu. Gunung suci tempat kelahiran Konfucius yang begitu suci. Ada hasrat menggebu untuk merekam keberadaannya dalam kanvas. Dan kemudian memindahkannya ke ruang perpustakaan istana. Agar para sarjana dan pengunjung perpustakaan itu dapat merasakan langsung atmosfir gunung suci sembari membaca karya-karya klasik Konfucius semacam: ‘Analek Musim Semi dan Musim Gugur’ serta ‘Pelajaran Agung’.

“Yang Mulia tak perlu memberikan jaminan yang terakhir. Aku yakin setelah tanganku terluka, Jendral Zheng akan perlahan-lahan mundur untuk mengusikku. Tapi ada satu syarat yang harus Yang Mulia penuhi. Ijinkan suami dan putriku ikut dalam misi ini.”

Permaisuri Wu berpikir sejenak. “Kurasa, kalian satu keluarga memang ditakdirkan untuk bersama. Tak ada gunanya aku memisahkan kalian. Sebaliknya, pekerjaanmu akan lebih baik bila mereka menyertaimu. Dari keterangan kepala biara kuil Awan Terang, kudengar kalau putrimu juga berbakat melukis sepertimu. Tak ada salahnya jika dia ikut.”

Ziwei tersenyum bangga. “Hamba setuju. Jangan khawatir Yang Mulia, kali ini, lukisan itu pasti selesai. Perpustakaan istana akan dipenuhi aura agung dari gunung suci.”

“Aku akan memegang janjimu itu, Pelukis Wanita Zhao!”

***
Yingying dan Zhang Rui bersiap menemani Ziwei menuju Gunung Qiu. Yingying berkemas-kemas. Dia juga mempersiapkan rumah yang akan ditinggal pergi penghuninya dalam waktu lama.

“Oh, disini akan sepi sekali jika kau pergi,” Ma Junqing berkata.

Yingying yang tak peka dengan perasaan Junqing berkata, “Kau jangan merana seperti ini. Lekaslah lamar Ajiao untuk menemanimu!”

“Aku tidak menginginkan Ajiao! Berjanjilah padaku, setelah selesai melukis Gunung Qiu di perpustakaan istana, kau akan kembali ke sini!”

Junqing merengek sambil memegang tangan Yingying. Dengan acuh, Yingying menjawab, “Aku belum tahu akan kembali ke sini atau tidak. Aku hanya akan mengikuti orang tuaku. Kemana mereka pergi, kesanalah aku turut serta.”

Kesal karena Yingying mengabaikannya, Junqing bangkit berdiri dan dengan cepat melayangkan satu ciuman di pipi gadis itu. Yingying terbelalak.

“Ma Junqing!” Yingying menjerit sambil mendorong Junqing hingga terjungkal.

Bukannya marah, Junqing malah tertawa. Dia berusaha bangkit kembali dan melihat Yingying mengusap pipinya.

“Kau keterlaluan!” Yingying berteriak. Tapi dia kini menyadari sesuatu.

“Aku menyukaimu Zhang Yingying!” balas Junqing.

“Apa? Bukannya kau menyukai Chen Ajiao?” timpal Yingying – masih marah.

“Mungkin…, tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi.”

“Ma Junqing! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu padahal dulu kau berniat menikahinya!”

“Hati orang kan bisa berubah. Aku dulu menyukai Ajiao karena menganggapnya paling cantik. Tapi sekarang, hatiku berkata lain.”

“Gampang sekali kau berkata begitu sekarang! Beberapa tahun mendatang, kau pasti akan menyukai gadis lain dan bukan aku lagi!”

“Tidak! Padamu beda! Aku sudah menetapkan kau adalah calon istriku yang pertama sekaligus yang terakhir, tidak berubah!”

“Tapi aku tidak pernah punya perasaan apa-apa padamu, Ma Junqing! Aku tidak pernah jatuh cinta dengan anak lelaki yang manja, kekanak-kanakan dan pemarah sepertimu!”

“Oh,” Junqing tertegun sesaat memandang Yingying. “Jadi kau menganggapku manja, kekanak-kanakan dan pemarah? Tidak mengapa… Sekarang mungkin kau berkata seperti itu. Tapi tunggulah satu atau dua tahun lagi. Saat aku lebih dewasa dari sekarang-kau pasti akan jatuh cinta padaku.”

Yingying terpengarah, “Omong kosong!”

Saat Yingying lengah menyerukan omong kosong itu, dengan cepat Junqing mencuri satu ciuman lagi di pipi sebelahnya.

“Ma Junqing!” Yingying melolong. “Awas! Kulaporkan kau pada ayahku!”

“Lebih bagus lagi kalau kau mengadu pada ayahmu!” Junqing bersiap pergi sambil tertawa. “Paman Zhang akan murka dan menuntutku agar bertanggung jawab karena telah mencium anak gadisnya. Dan aku akan dengan senang hati bersedia menikahimu!”

Yingying kesal setengah mati. Dipungutnya sebuah kerikil lalu dilemparnya ke arah Junqing.

Tapi sia-sia. Tawa Junqing semakin keras sewaktu lemparan Yingying meleset darinya.

***
Zhang Rui, Ziwei dan Yingying memulai perjalanan ke Gunung Qiu.

Ini perjalanan yang menyenangkan. Ziwei tak perlu menyamar menjadi lelaki. Atau menyembunyikan identitasnya dari Zhang Rui seperti enam belas tahun lalu. Kini perjalanannya dengan Zhang Rui dilakukan terang-terangan sambil ditemani sang putri tercinta.

Gunung Qiu kini sudah aman. Para pemberontak ikat kepala kuning telah ditumpas bertahun-tahun lalu. Ziwei dan Yingying melukis sudut-sudut terbaik dari Gunung Qiu di atas buku sketsa. Meski tak tahu mengenai lukisan, Zhang Rui merasa bahagia melihat istri dan putrinya saling membandingkan hasil lukisan satu sama lain, berdiskusi dan tertawa-tawa.

Ketika lukisan telah selesai, ketiganya menuju kota Luoyang. Ziwei dan Yingying melukis beberapa sketsa yang mereka anggap paling baik di atas kanvas lalu diperlihatkan kepada Permaisuri Wu. Permaisuri menyukainya. Maka dari beberapa lukisan itu disetujui untuk dilukis di dinding perpustakaan istana.

Ziwei dan Yingying bekerja dibantu sejumlah pelukis dan pemahat istana. Ziwei menjadi pemimpin proyek tersebut.

Selama bekerja di istana, Ziwei dan keluarganya menyewa sebuah rumah dekat dari istana. Pada siang hari, dia dan Yingying bekerja di istana. Sedang Zhang Rui, untuk mengisi waktunya bekerja di tempat pembuatan senjata negara. Jika malam tiba, ketiganya berkumpul kembali di rumah. Meski lelah seharian beraktivitas, ketiganya bisa bertemu penuh kehangatan di malam hari. Inilah kebahagiaan keluarga kecil itu.

***
Menjelang akhir musim gugur tahun itu, Ziwei jatuh sakit.

Mungkin karena pengaruh cuaca atau kondisi badannya memang tidak sehat. Awalnya pada siang hari keadaan Ziwei biasa-biasa saja. Tapi dia demam di malam hari-meski panasnya tidak tinggi. Tabib terbaik istana mengobatinya. Namun kondisi Ziwei tak juga membaik. Belakangan, tabib memintanya beristirahat penuh di ranjang.

Ziwei terpaksa cuti sejenak dari proyek melukis dinding perpustakaan istana. Yingying menggantikannya sementara. Zhang Rui menemani Ziwei sepanjang waktu. Pada malam hari sekembalinya di rumah, Yingying merawat ibunya sembari mengabarkan kemajuan proyek. Ziwei cukup senang mendengar perkembangannya.

Suatu malam, setelah beberapa hari terbaring lemah, Ziwei berkata pada Yingying,

“Kalau aku meninggal, tolong kubur aku di Dusun Wei.”

“Ibu kenapa berkata seperti itu?” Yingying terkejut. Zhang Rui yang berada di sampingnya juga terhenyak.

“Jangan sembarangan bicara, istriku. Kita sekeluarga belum genap setahun berkumpul. Apakah kau tega meninggalkan kami cepat-cepat?”

Ziwei tersenyum, “Aku hanya merasa, kondisiku tak kunjung membaik. Mungkin ini akibat dari kesalahan-kesalahan yang kubuat di masa silam. Aku telah melanggar janji Kakekku sehingga umurku pendek.”

Yingying membesarkan hati Ziwei, “Ibu jangan berpikir yang tidak-tidak. Ini hanya demam biasa. Ibu pasti sembuh. Maka dari itu Ibu harus beristirahat baik-baik.”

Ziwei tersenyum simpul. “Kau anak baik Yingying. Permaisuri Wu pernah berkata kalau dia iri padaku. Karena aku bahagia dengan keluarga kecilku. Itu sebabnya dulu dia memisahkan aku dengan kalian. Tapi kemudian dia menyerah karena akhirnya kita tetap bertemu juga.”

Malamnya, Ziwei terbangun dari tidurnya. Anehnya, dia merasa sekujur tubuhnya segar. Dia bahkan bisa bangkit sendiri dari ranjangnya. Dilihatnya Yingying tengah tertidur di sisi ranjangnya. Zhang Rui sedang terlelap di kursi dengan sebelah tangan menopang kepala di atas meja.

Mengapa mereka tertidur? Bukankah seharusnya mereka terjaga untuk menjaganya? Ziwei berpikir. Mungkin mereka lelah. Tak mengapa, toh Ziwei sudah tak apa-apa.

Ziwei merasa hari telah menjelang pagi. Ini mungkin subuh, pikirnya. Dia turun dari tempat tidur dan tiba-tiba dilihatnya sesuatu di bawah pintu.

Di bawah pintu terdapat cahaya berkelap-kelip. Apa itu? - pikirnya. Perlahan-lahan dia menghampiri pintu lalu membukanya.

Ziwei langsung memejamkan mata karena tak tahan langsung melihat silau cahaya di depannya. Ketika Ziwei kembali memandang ke sumber cahaya itu, matanya telah menyesuaikan diri. Di tengah-tengah lingkaran cahaya keemasan, berdiri seorang pria berambut putih dengan jubah keperakan.

“Kakek…?” Ziwei bergumam. Merasa yakin kalau pria tua yang tengah berdiri membelakanginya itu adalah Zhao Ji, kakeknya.

Pria itu berbalik. Dia memang Zhao Ji. Tampak seperti dewa agung dalam pakaian kemuliaannya.

Zhao Ji tersenyum memandangi Ziwei. “Cucuku tersayang, lama tak berjumpa denganmu.”

Ziwei langsung jatuh berlutut. “Kakek…, hukumlah aku. Aku telah bersalah mengkhianati pertunanganku dengan Zheng Yun. Aku tidak berbakti karena telah melanggar janji perjodohan antara Kakek dengan Jendral Zheng Yi.”

Zhao Ji memapah Ziwei untuk berdiri. “Kau ini bicara apa?” ditatapnya mata Ziwei dalam-dalam. “Kau adalah cucuku. Perjodohan itu hanya pembicaraan antara aku dan Zheng Yi. Kau tak perlu melanjutkannya jika itu tak membuatmu bahagia.”

Terpana, Ziwei bergumam tak jelas menyebut kakeknya. Zhao Ji berkata lagi,

“Apapun yang terjadi, kau adalah cucuku. Jadi, baik atau buruk dirimu, aku pasti akan menerimamu. Sekarang, aku datang untuk menjemputmu. Mari, ikut denganku!” Zhao Ji mengulurkan tangan.

“Kemana Kakek akan membawaku?” tanya Ziwei ragu-ragu.

Zhao Ji lagi-lagi tersenyum. “Ke sebuah dunia yang indah setelah kehidupan.”

“Tapi, bagaimana dengan mereka?” Ziwei menengok ke belakang melihat Zhang Rui dan Yingying yang masih terlelap. “Aku akan merasa sedih jika harus berpisah dari mereka…”

“Jangan khawatir, mereka akan baik-baik saja. Toh kalian kelak akan bertemu juga. Jika telah tiba masanya, mereka akan menuju ke tempat yang sama dengan yang akan kau kunjungi sekarang.”

Ziwei meraih uluran tangan Zhao Ji. Seketika itu juga kakinya seolah melayang beberapa inci ke udara.

“Dunia yang indah itu seperti apa, Kakek? Aku agak takut karena belum pernah ke sana.”

“Sangat indah, Ziwei. Dan kau tak perlu takut sebab kakek bersamamu.”

***
Ziwei meninggal dalam tidurnya malam itu. Ketika Yingying dan Zhang Rui terbangun keesokan harinya, keduanya mendapati wajah Ziwei begitu tenang dengan seulas senyum tersungging di wajahnya.

Ziwei dimakamkan di pemakaman luar kota Luoyang. Yingying mengenakan pakaian berkabung putih-putih sebagai tanda bakti pada ibunya. Yingying juga menggantikan ibunya memimpin proyek melukis dinding perpustakaan istana.

Zhang Rui kembali ke sifat asalnya seperti sebelum bertemu Ziwei kembali. Dia jadi pemurung. Jauh lebih murung daripada sebelum bertemu Ziwei. Yingying merasa meski tak pandai berkata-kata, Ayahnya pasti amat terpukul karena telah ditinggal pergi oleh istri yang dicintainya.

***
Apakah ada pasangan yang saling memanggil di akhir hayatnya? Mungkin pasangan Zhang Rui-Ziwei bisa menjadi salah satunya.

Tiga bulan setelah kematian Ziwei, suatu hari Yingying dipanggil menjenguk Ayahnya yang terjatuh di pabrik senjata kerajaan.

“Cepatlah, Nona,” kata pelapor itu. “Ayahmu jatuh ketika memperbaiki tungku pembakaran yang tinggi. Tulangnya ada yang patah.”

Yingying tergesa-gesa meninggalkan pekerjaannya di perpustakaan istana dan menjumpai Zhang Rui. Zhang Rui tergolek lemah di pembaringan. Dia habis muntah darah. Ada luka dalam kata tabib. Kondisinya cukup parah. Tabib tak yakin kondisinya lekas membaik.

“Sepertinya aku akan segera menyusul ibumu, Yingying,” kata Zhang Rui dengan susah payah. “Baguslah. Aku tak perlu lama-lama berpisah darinya, bukan?”

“Apa yang Ayah bicarakan? Bagaimana aku jika ditinggal Ayah?” Yingying berkata panik.

Zhang Rui memaksakan diri tersenyum. “Kau lebih kuat dari ibumu, Yingying. Kau lebih mandiri, apa kau menyadarinya? Kau berani berkata ‘ya’ atau ‘tidak’ tanpa ragu. Kau tentu bisa tetap menjalani hidup walau tanpa aku.”

Yingying resah. Zhang Rui sempat tak sadarkan diri. Pada malam hari, ketika dia tersadar dari pingsannya, Zhang Rui berkata lagi pada Yingying.

“Jika aku mati…, kuburkan aku di samping ibumu. Tapi jangan lupa untuk menguburkan kami di Dusun Wei. Dulu aku seorang gelandangan yang bahkan sudah lupa di mana kampung halamannya. Biarlah Dusun Wei sekarang menjadi kampung halamanku dan aku beristirahat tenang di salah satu bagian tanahnya.”

“Kau juga, setelah selesai dengan proyek ibumu, kembalilah ke Dusun Wei dan menikahlah dengan Ma Junqing.”

Yingying terkejut. “Ayah…, aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap Ma Junqing.”

“Oh, begitukah?” Zhang Rui tersenyum lemah. “Sayang sekali. Mungkin saja kelak dia akan menjadi suami yang tepat bagimu….”

Zhang Rui pingsan lagi. Dan kali ini menjadi tidur abadinya. Dia tak pernah bangun kembali. Kata-katanya mengenai Ma Junqing merupakan perkataan terakhirnya pada Yingying.

***
Zhang Rui dimakamkan di samping Ziwei.

Karena Yingying masih harus menyelesaikan pekerjaannya di perpustakaan istana, dia belum dapat mengurus jenazah orang tuanya untuk dimakamkan di Dusun Wei.

Proyek melukis pemandangan Gunung Qiu di istana selesai empat bulan setelah kematian Zhang Rui – atau satu setengah tahun setelah Yingying beserta kedua orang tuanya meninggalkan Dusun Wei.

Permaisuri Wu sangat puas dengan hasil karya Ziwei dan Yingying. Kini, perpustakaan istana berwajah baru. Setiap kali orang masuk ke sana, pasti serasa terlempar ke dalam atmosfir kebajikan kuno nana gung. Permaisuri Wu meresmikan perpustakaan berwajah baru itu dan memberi gelar kepada Ziwei. Dia juga memberi Yingying hadiah-hadiah. Tapi waktu itu bersamaan dengan meluapnya Sungai Kuning sehingga di beberapa desa yang dilalui sungai tersebut terkena bencana banjir bandang. Yingying menolak seluruh hadiah berupa materi dan meminta Permaisuri Wu agar menyumbangkan hadiahnya.

Sebagai pengganti atas jasa-jasanya, Ziwei meminta agar diijinkan berkabung bagi kedua orang tuanya dengan tinggal di dekat makam mereka. Adat pada masa itu, seorang anak harus tinggal di gubuk dekat makam orang tuanya untuk menjalankan ritual berkabung setiap hari. Permaisuri Wu mengabulkan-bahkan menetapkan beberapa pengawal khusus untuk menjaga Yingying.

Setelah tiga tahun berlalu, Yingying pun berusia dua puluh tahun. Menjelang masa akhir berkabungnya, Zheng Yun datang berkunjung ke gubuknya. Sikapnya sudah banyak berubah. Zheng Yun pernah sekali mengunjungi Ziwei sewaktu dia mengerjakan proyek perpustakaan istana. Tapi dia sudah tak seposesif dulu lagi. Melihat Ziwei yang sekarang, agaknya Zheng Yun menyadari kalau apapun yang dilakukannya tetap tak dapat membuat Ziwei kembali padanya.

“Sebentar lagi masa berkabungmu berakhir. Kau akan kemana sehabis dari sini, Yingying?” tanya Zheng Yun.

Yingying terdiam sejenak. Berpikir. Zheng Yun lanjut berkata lagi, “Putra tertuaku, Zheng Lan, dia setahun lebih muda darimu. Dia pernah berkata kalau dia mengagumimu. Seandainya kau bersedia, apakah kau setuju jika hubungan kalian diikat menjadi suami-istri? Lagipula, kau sendiri juga tahu. Antara aku dan ibumu dulu, kami terikat pertunangan sebelum itu dibatalkan. Tak ada salahnya jika kalian sebagai anak yang melanjutkannya.”

“Itu tidak akan kulakukan,” Yingying menolak. Suaranya lembut tapi tegas. “Aku dan Tuan Muda Lan tak akan bersanding. Kami juga tidak punya keharusan untuk menggantikan pertunangan masing-masing orang tua yang dulunya dibatalkan.”

“Oh, jadi kau telah memutuskan begitu. Baiklah,” ujar Zheng Yun dengan mencoba tetap tersenyum. “Lalu, apakah kau akan tinggal bersama Inspektur Pajak Zhao? Bagaimanapun, ibumu adalah saudara perempuan satu-satunya. Dia pasti tak akan membiarkanmu terlantar.”

“Aku tak akan merepotkan Paman,” sahut Yingying. “Aku akan pulang ke Dusun Wei.”

“Kembali ke Dusun Wei? Seorang diri? Tapi kau tak punya keluarga lagi di sana.”

“Tapi ada banyak orang yang mengenalku di sana. Anda jangan khawatir, Jendral.”

Zheng Yun sedikit curiga. “Apakah…, apakah ada seorang pemuda yang telah menunggumu di sana sehingga kau mau kembali?”

Yingying teringat Ma Junqing. Dia juga ingat kata-kata terakhir Zhang Rui mengenai Junqing.

“Bukan,” sangkalnya. “Tidak ada hal begitu. Dusun Wei adalah tempat yang nyaman ditinggali meski terpencil. Lagipula, Ayah dan Ibu memintaku menguburkan mereka di sana. Aku harus melaksanankan wasiat mereka.”

Zheng Yun kagum akan kepribadian Yingying. Dia gadis yang berpendirian teguh. Seandainya dulu dia dan Ziwei menikah, bisa jadi Yingying adalah putrinya. Tapi dia adalah putri Zhang Rui. Ini kenyataan yang tak mungkin dipungkiri lagi.

Zheng Yun menghela napas, tak ingin berdebat dengan Yingying. “Baiklah jika itu maumu, aku akan menyuruh orang menggali kembali kuburan kedua orang tuamu. Dan dua orang prajurit terlatihku untuk mengawalmu kembali ke Dusun Wei.

Yingying membungkukkan badannya. “Terima kasih,” ucapnya lirih.

***
Pada suatu hari menjelang musim gugur, tahun ke-7 pemerintahan Kaisar Zhongzhong dari Dinasti Tang.

Yingying memasuki Dusun Wei dengan kuda yang dituntun pengawal Zheng Yun. Dalam pelukannya terdapat dua buah kotak yang diikat kain putih. Kedua kotak itu berisi abu Zhang Rui dan Ziwei. Usai menggali makam orang tuanya, Yingying mengkremasi sisa jenazah mereka. Lalu memasukkan abunya ke dalam kotak dan membawanya pulang ke Dusun Wei.

Sewaktu memasuki gerbang, Tuan Cai, si kepala desa, mengenalinya.

“Yingying? Kaukah itu? Wah, kau sudah pergi berapa lama? Tiga tahun? Empat tahun? Kini kau sudah dewasa. Oya, mana kedua orang tuamu?”

Yingying tersenyum kepada Tuan Cai yang telah lama tak dilihatnya. “Mereka ada di sini,” ujarnya sambil mendekap kedua kotak terbungkus kain putih.

“Oh,” Tuan Cai tampak terkejut. “Aku, aku tak menduganya… Kapan mereka meninggal?”

“Empat tahun lalu,”jawab Yingying. “Aku telah melewatkan masa berkabung tiga tahun bagi mereka. Mereka memintaku untuk dimakamkan di desa ini. Maka selesai masa berkabung, aku memindahkan sisa abu mereka kemari.”

Tuan Cai mengangguk paham. Yingying kembali ke rumah lamanya yang dulu pernah dia huni bersama ayahnya selama enam belas tahun – dan juga ibunya, meski hanya beberapa bulan. Keluarga Ma menjaga dengan baik rumah itu. Tak terlalu banyak yang harus Yingying benahi meski rumah itu telah lama ditinggalkan.

Tuan Ma dan Tuan Cai - serta beberapa kenalan membantu Yingying mencari lokasi bagi pemakaman Zhang Rui dan Ziwei. Mereka bahu-membahu mulai dari menggali tanah hingga membuat nisan bagi makam tersebut.

Yingying memulai kehidupannya di Dusun Wei lagi. Karena Guru Qi sekarang sudah uzur dan sulit mengajar anak-anak desa untuk bersekolah, Yingying-lah yang menggantikannya.

Keluarga Ma masih sama baiknya dengan dulu. Nyonya Ma sangat senang karena Yingying telah kembali. Diam-diam dia berharap Yingying masih bisa menjadi menantunya. Ma Junqing masih belum menikah. Hanya saja, bertepatan saat Yingying pulang ke Dusun Wei, Junqing tengah ke Chang’an mengurus keperluan bisnis ayahnya.

Satu per satu teman masa kecil Yingying menikah. Tak terkecuali Chen Ajiao. Ajiao bahkan telah punya seorang putra berusia tiga tahun. Tinggal Yingying. Kalau ditilik dari usianya, dia telah menjadi perawan tua di jaman itu.

Belakangan Yingying semakin sering memikirkan Ma Junqing. Belum tentu ini cinta. Tapi Yingying ingin tahu, apakah Junqing masih memiliki perasaan yang sama padanya seperti yang dikatakannya empat tahun lalu?

Jika sore telah datang, Yingying berjalan-jalan menuju gerbang perbatasan desa. Dia menantikan kemunculan seseorang. Mungkin orang itu sudah berubah pikiran. Mungkin perasaan orang itu sudah tak meluap-luap lagi seperti dulu. Tapi, apapun itu, Yingying perlu tahu. Dia harus memastikan.

Lalu pada suatu sore, dari kejauhan muncul dua orang yang menunggangi keledai. Keledai keduanya berjalan lambat sekali. Matahari sore menyilaukan kedua orang itu. Tapi semakin dekat di gerbang desa, semakin jelaslah sosok keduanya.

Ma Junqing sedang berbincang dengan kepala rumah tangganya, Paman Jiang, yang telah puluhan tahun ikut keluarga Ma. Junqing sangat focus berbicara sehingga tidak memperhatikan Yingying yang berdiri di samping gerbang desa.

Paman Jiang-lah yang melihat Yingying terlebih dulu. Dia mengabaikan pembicaraan Junqing dan menyapa Yingying.

“Hei, Yingying! Kau sudah pulang? Sejak kapan?”

Yingying tersenyum. “Sudah sepuluh hari yang lalu.”

Ma Junqing segera berbalik melihat Yingying. Yingying tersenyum padanya. Junqing seolah sedang bermimpi. Paman Jiang menepuk pundaknya,

”Tuan Muda! Apakah kau sudah tidak mengenali Nona Zhang?”

“Bu… bukan…!” Junqing tergagap. Dia melompat turun dari keledainya. “Paman Jiang, berjalanlah lebih dulu. Bawa pulang keledaiku.”

Junqing mengoper tali kekang ke arah Paman Jiang lalu bergegas menghampiri Yingying. Paman Jiang tertawa maklum melihat tingkah Junqing lalu berjalan memasuki desa sambil membimbing dua ekor keledai.

Junqing sampai di hadapan Yingying dan mengamati gadis itu dari atas sampai ke bawah.

“Kau sudah kembali? Kau sudah pulang?” katanya seolah tak percaya.

“Ya,” Yingying mendadak merasa gugup dipandangi Junqing. Dia telah satu kepala lebih tinggi dari Yingying. Wajahnya memanjang dan tampan. Yingying mencari-cari keriangan kanak-kanak masih tersisa dalam diri Junqing. Tapi sepertinya hanya tersisa sedikit.

“Aku setiap waktu menunggu kepulanganmu. Rencananya, kalau kau belum pulang juga selepas tahun baru nanti, aku akan ke Luoyang buat mencarimu di istana.”

Ziwei tersenyum simpul mendengar penuturan Junqing.

Junqing lalu bertanya hati-hati, “Bagaimana, apakah kau sekarang sudah menyukaiku?”

Ziwei membekap mulutnya. Dia terbahak dengan keterus terangan Junqing. “Menurutmu, mengapa aku mau kembali ke Dusun Wei? Mengapa aku mau berjalan ke gerbang desa seperti ini untuk menantikan kehadiran seseorang yaitu kamu?”

Kebahagiaan merekah di wajah Junqing. Tak perlu kata-kata lebih jelas lagi agar Junqing tahu…

“Mari kita berdua berjalan masuk…,” ajak Yingying. Dia dan Junqing pun berjalan melewati gerbang desa. Keduanya berbicara hal-hal kecil. Hal-hal kecil yang mampu membahagiakan.

Selesai

Minggu, 23 Mei 2010

The Painter Lady (6): Kuil Awan Terang


Pahatan-pahatan naga masih melingkar di kedua pilar yang menyangga atap gerbang rumah keluarga Zheng.

Begitu pula dengan kedua patung singa batu duduk serta sepasang lukisan dewa penjaga gerbang. Semuanya masih berada di tempatnya – sama seperti ketika Ziwei pertama kali datang ke rumah itu sebagai calon mempelai Zheng Yun.

Ziwei ingat: naga-naga, kedua singa batu beserta lukisan dewa-dewa itu dulu begitu angker baginya. Kini, semuanya tampak lebih menyeramkan. Dikuasai perasaan bersalah, Ziwei merasa benda-benda mati itu bergerak. Cengkeraman naga-naga terlepas dari pilar dan mencakar wajahnya. Taring-taring singa batu yang semula bisu, menghunjam tulang bahunya. Dan sepasang dewa penjaga pintu itu menusuk senjata mereka ke dada Ziwei – tepat ke jantungnya!

Kaki Ziwei gemetaran melewati gerbang. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Dia berjuang keras untuk menghadapi orang-orang yang telah menunggunya di balik gerbang.

Ketika memasuki halaman rumah Zheng, Ziwei berharap akan lebih baik jika tanah yang dipijaknya terbelah lalu menelannya. Hampir seluruh anggota keluarga Zheng, terutama yang tidak ingin ditemui Ziwei ada di situ. Mereka lebih menakutkan bagi Ziwei ketimbang patung-patung beserta lukisan-lukisan di gerbang.

Nyonya Pertama Zheng, Ibu Zheng Yun, langsung membuang muka begitu melihat Ziwei. Dia lalu meninggalkan tempat itu tanpa berkata sepatah katapun.

Zheng Shao, kini telah menjadi Tuan Besar Zheng menggantikan ayahnya, Jendral Zheng Yue yang wafat setahun lalu. Dia menerima Ziwei kembali seperti sebuah beban dalam rumahnya. Wajahnya keruh. Dia juga tak bicara apa-apa, hanya mendesah - kemudian berlalu.

Tinggal Zheng Yun yang masih tinggal di tempat itu. Tapi dia tak memandang Ziwei. Kepalanya justru tertunduk ke bawah. Ziwei berharap-harap cemas. Menunggu. Kalau-kalau Zheng Yun mengatakan sesuatu.

Waktu terasa berjalan lambat sekali kala itu. Dalam suasana menyesakkan yang dirasakan Ziwei, tiba-tiba Zheng Yun pelan-pelan menghampirinya. Kali ini dia menatap Ziwei. Mata keduanya bertemu. Tapi Ziwei buru-buru menundukkan kepalanya seperti seorang pelayan yang telah mengkhianati majikannya. Zheng Yun mengulurkan tangan menyentuh lengan Ziwei. Ziwei menahan napas.

“Selamat datang kembali di rumah,” Zheng Yun berkata singkat. Dia melepaskan tangannya kembali lalu meninggalkan tempat tanpa sekalipun melihat ke arah Ziwei lagi.

Ziwei merasa pedih. Dari sikapnya, terbaca kalau Zheng Yun telah menolaknya.

***

Ziwei bisa merasakan kehadirannya di rumah Zheng tak lagi diharapkan seperti empat tahun sebelumnya. Orang-orang bersikap dingin. Bahkan Ziwei tak bisa mengelak dari cemoohan para pelayan yang bergosip di belakang punggungnya.

Nyonya Pertama Zheng mengunjungi Ziwei di kamarnya sehari setelah kepulangannya. Sikapnya tidak ramah seperti hari sebelumnya. Kalimat-kalimatnya menusuk dan menyakitkan.

“Bagaimana aku harus memanggilmu sekarang?” Nyonya Pertama Zheng bertanya sinis. “Apa kau masih menjadi Nona Zhao atau telah berubah menjadi Nyonya Zhang?”

Ziwei tak mampu menjawab. Kepalanya tertunduk.

“Kau bukan gadis suci lagi. Kau bahkan telah punya anak – maka kau tak pantas lagi dipanggil Nona. Tapi jika kau sekarang adalah Nyonya Zhang, kau juga tak pantas pulang kemari. Anehnya, kau masih berani punya muka bertemu kami. Jika kau masih punya rasa malu, kau seharusnya bunuh diri!”

“Ketika kau lenyap di gunung Qiu, kami sangat cemas. Kami berdoa bagi keselamatanmu. Saat kau tak kunjung muncul, kami pun mengira kau telah tewas. Jendral Tua begitu terpukul sehingga jatuh sakit dan meninggal. Tapi kenyataannya, kau lari bersama lelaki lain!”

“Kau tak tahu berterima kasih, Ziwei! Meski dijodohkan, almarhum Jendral Tua dan kakekmu memilih Zheng Yun untukmu-bukannya Zheng Xing yang cacat. Putraku sempurna. Dia tumpuan harapan keluarga Zheng kami. Dan dia memperlakukanmu amat baik. Pernahkah putraku menyakitimu?”

“Ketika kau dipanggil masuk istana oleh Permaisuri Wu, Zheng Yun bahkan rela menunggu selama tiga tahun. Zheng Yun kurang apalagi? Kau tak pernah peduli padanya. Kau bahkan tega mengkhianatinya! Apakah ini balasanmu terhadap kebaikannya?”

Ziwei merasa dadanya tertusuk. Setiap kata yang terlontar dari Nyonya Pertama Zheng ibarat palu yang memukul-mukul gendang telinga Ziwei.

Seandainya ada kesempatan, Ziwei akan memilih menghabisi nyawanya sendiri. Ini sudah dipikirkannya begitu usai mendengar keputusan Permaisuri Wu untuk memulangkannya ke kediaman Zheng. Tapi isi benaknya terbaca Permaisuri Wu. Dia memerintahkan sekelompok pengawal untuk mengawasi Ziwei sepanjang waktu. Permaisuri Wu juga mengancam pengawal-pengawal itu agar jangan sampai mereka lalai. Sehingga Ziwei berkesempatan melukai dirinya sendiri.

Di antara anggota keluarga Zheng, hanya Zheng Xing yang tidak ‘menghakimi’ Ziwei. Dia telah berusia dua puluh satu tahun dan bertubuh gemuk. Pincangnya semakin parah. Jika berjalan, Zheng Xing semakin kesulitan menyeret kakinya dan menarik tubuhnya yang gemuk.

“Aku tak akan bilang kau wanita jahat karena telah mengkhianati cinta kakakku, Nona Zhao. Aku juga tak mencapmu munafik. Apa hakku menghina orang lain sementara diriku sendiri bukan manusia sempurna?”

“Yang kusesali adalah jika kau tak bisa menjadi kakak iparku. Tak ada yang akan bersimpati padaku lagi selain kakakku nantinya. Aku rasa umurku tak akan panjang. Aku selalu merasa nyeri pada perut bawah sebelah kiri. Kata tabib, ginjalku bermasalah. Aku, anak cacat dan berpenyakitan di keluarga Zheng. Aku benar-benar tak bisa membanggakan Ayah-Ibuku, begitu juga leluhurku.”

Ziwei merasa trenyuh dengan perkataan Zheng Xing. “Aku tak tahu pasti apakah keluarga ini bangga atau tidak pada dirimu, Kakak Xing,” katanya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi satu hal yang mesti kau ketahui. Aku bangga karena pernah mengenalmu.”

***
Zheng Yun sama sekali tidak pernah menemui Ziwei. Keduanya tak pernah bicara sepatah kata lagi sejak hari pertama kembalinya Ziwei di rumah itu.

Ziwei pernah mencoba menemui Zheng Yun untuk bicara. Tapi pemuda itu menolaknya dengan berbagai alasan. Sikap acuh Zheng Yun ini semakin membuat Ziwei tertekan.

Mengetahui kehadirannya tak begitu disukai oleh anggota keluarga Zheng, Ziwei jadi lebih sering mengurung diri di kamarnya. Dia enggan keluar kamar. Bahkan makanan pun diantar ke kamarnya-meski dia sendiri tak berselera memakan apapun.

Sejak kepulangannya di rumah keluarga Zheng, nyaris setiap waktu dia didampingi dua pelayan wanita. Baik siang maupun malam. Kedua pelayan itu bahkan menginap di kamar Ziwei untuk menemaninya tidur meski menurut Ziwei itu tidak perlu.

“Ini perintah Tuan Muda Yun,” kata salah satu pelayan. “Kami diminta menemani Nona.”

Kedua pelayan itu memperhatikan segala kebutuhan Ziwei hingga ke hal-hal terkecil. Mereka juga melakukan nyaris segala sesuatunya buat Ziwei. Kadang-kadang, Ziwei merasa agak terganggu dengan kehadiran keduanya. Suatu hari, Ziwei meminta gunting karena hendak menggunting sehelai bajunya yang sobek. Salah satu pelayan dengan hati-hati membawa gunting ke hadapan Ziwei tapi tidak langsung menyerahkannya.

“Biar saya yang mengguntingnya, Nona.”

“Tak perlu. Biar kulakukan sendiri.”

“Nona tinggal tunjukkan bagian mana yang akan digunting lalu biar saya yang melakukannya,” pelayan itu bersikeras.

Ziwei merasa jengah. Diketuknya meja keras-keras. Dia mulai marah.

“Kenapa kalian tak membiarkanku melakukan hal-hal yang kumau sendiri? Kalian seperti sedang mengawasiku! Katakan, siapa yang menyuruh kalian melakukan semua ini? Apakah Permaisuri Wu yang mengutus kalian menyusup ke kediaman Zheng untuk memata-mataiku?”

Kedua pelayan wanita yang sesungguhnya bernyali kecil itu langsung ketakutan begitu dibentak Ziwei. Mereka menjatuhkan diri berlutut dan tergagap-gagap meracau.

“Bu... bukan Nona! Hanya Tuan Muda Yun yang meminta kami mengawasi Nona!” kata salah satu pelayan. Yang satunya menyambung,

“Tuan Muda Yun menyuruh kami mengawasi Nona agar jangan sampai terluka. Tuan Muda Yun khawatir Nona akan bunuh diri atau melukai diri sendiri jika memegang benda tajam dan jika ditinggal sendirian…”

Menganga, Ziwei mendengar penjelasan kedua pelayan itu dengan terkejut. Apa maksud Zheng Yun? Pria mengabaikannya tapi diam-diam masih peduli padanya? Sebenarnya apa yang diinginkan Zheng Yun darinya?

Kini Ziwei menyadari maksud sebenarnya dari Permaisuri Wu mengirimnya kembali ke rumah Zheng. Ini hukuman yang terlalu berat dan kejam. Mati bunuh diri akan lebih baik. Prosesnya tidak panjang dan berlangsung seketika. Tapi Permaisuri Wu tidak menganugerahkan kematian yang cepat bagi Ziwei. Ini jenis kematian yang amat menyiksa. Terombang-ambing antara terus hidup atau mati.

Tertekan dalam ketidak pastian ini dapat membuat Ziwei gila. Dan mati dalam keadaan gila benar-benar menakutkan. Kau tak sadar siapa dirimu menjelang akhir ajalmu. Ziwei ketakutan. Dia mulai menangis histeris.

Malam yang sepi, Ziwei sengaja tak menyalakan cahaya di kamarnya. Dia terduduk di lantai yang dingin sambil memeluk lutut. Kakinya telanjang tak bersepatu. Matanya menerawang.

“Ingatlah untuk terus hidup. Berusahalah untuk terus hidup!” suara Zhang Rui terngiang-ngiang.

Air mata kembali membasahi pelupuk mata Ziwei. Dalam kesunyian dan udara dingin malam itu, Ziwei jadi amat merindukan suami dan anaknya.

“Suamiku…, Yingying… Jika bukan karena kalian… aku pasti tak sanggup bertahan lagi…”
***
Status Ziwei tak jelas di keluarga Zheng. Dulu, yang diketahui orang-orang, dia ialah calon istri Zheng Yun. Tapi dengan kejadian Ziwei kawin lari bersama Zhang Rui bahkan telah memiliki seorang anak dari hubungan tersebut membuat keluarga Zheng setengah hati menerima Ziwei kembali sebagai calon menantu.

Zheng Yun juga tak menunjukkan tanda-tanda untuk memutuskan masalah pernikahannya. Sikapnya yang diam dan acuh terhadap Ziwei membuat ayahnya, Zheng Shao merasa perlu bertindak.

Maka pada suatu malam, Zheng Shao memanggil istrinya, Zheng Yun dan Ziwei. Berempat mereka bertemu di kamar Zheng Shao membicarakan masalah perjodohan Zheng Yun-Ziwei.

“Kalian semua tentu sudah tahu maksud pertemuan ini,” kata Zheng Shao. “Permaisuri Wu telah mengembalikan Ziwei ke rumah ini sesuai janjinya empat tahun lalu. Kini, aku bertanya padamu Zheng Yun, apakah kau masih ingin menikahi Ziwei? Dengan kondisi Ziwei sekarang, aku tak akan menyalahkanmu jika kau menolak perjodohan ini. Tapi kau perlu mengatakan kepada kami hal itu agar nasib Ziwei dapat diputuskan. Jika kau menolak menikah, kami akan mengembalikan Ziwei ke rumah orang tuanya.”

“Aku jelas tidak setuju dengan pernikahan ini!” Nyonya Pertama Zheng menyambung. “Ziwei sudah tidak pantas menjadi istri Zheng Yun lagi! Kita harus mencari calon mempelai baru bagi Zheng Yun!”

“Ibu…,” gumam Zheng Yun.

“Kalaupun kau masih menyukainya karena kecantikannya, kau bisa menjadikannya sebagai selir-bukan istri sahmu!” Nyonya Pertama Zheng menukas sembari memandang tajam pada Ziwei. “Wanita yang telah ternoda tidak akan diterima sebagai menantu keluarga ini lewat pernikahan resmi!”

“Aku menolak usul Ibu!” Zheng Yun berkata tegas. “Aku tetap akan menikahi Ziwei!”

“Apa?!” seru Nyonya Pertama Zheng. “Anakku, apakah kau kini telah sama bodohnya dengan adikmu?”

“Aku tidak bodoh,” sangkal Zheng Yun. “Aku akan tetap menjalankan perjodohan ini karena almarhum kedua kakek telah mengaturnya. Aku akan memenuhi keinginan mereka supaya aku dan Ziwei bersanding sebagai suami-istri.”

“Anakku, kau jangan menjebak dirimu sendiri dengan janji di masa lalu itu! Ziwei telah mengkhianatimu! Dia yang bersalah duluan! Perjodohan ini pantas dibatalkan! Baik mendiang kakekmu maupun Tuan Zhao Ji tak mungkin menyalahkanmu atas hal ini.”

Zheng Shao yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Baiklah jika kau tetap ingin menikahi Ziwei. Itu artinya kau pria berjiwa besar. Tapi Ziwei patut mengijinkanmu mengambil selir setelah kalian menikah. Begitu baru adil.”

“Aku tak akan mengambil selir. Aku hanya akan menjadikan Ziwei sebagai satu-satunya istriku.”

Nyonya Zheng sangat marah mendengar perkataan Zheng Yun.

“Ayahmu dulu mengambil selir lagi karena aku tak mampu memberinya lebih banyak putra selain dirimu. Tapi wanita ini? Apa yang telah diberikannya padamu sehingga kau begitu tergila-gila? Oh, Tian!” Nyonya Pertama Zheng mengerang. “Mengapa putraku jadi selemah ini? Dia telah buta demi seorang wanita hina!”

Ziwei mendengar percakapan itu dalam kebisuan. Setiap kata-kata meresap ke dalam sukmanya tapi dia tak bereaksi sedikit pun. Terakhir Zheng Yun menutup percakapan malam itu dengan berkata,

“Demikianlah keputusanku. Ayah-Ibu telah mendengarnya. Silakan Ayah dan Ibu menetapkan tanggal pernikahannya. Segala persiapan pernikahan ini aku pun serahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu untuk diatur.”

Nyonya Pertama Zheng masih marah dengan keputusan Zheng Yun. Menggigit bibirnya, Nyonya Pertama Zheng mengepalkan tangan lalu memukul meja sewaktu Zheng Yun dan Ziwei keluar dari ruangan itu.

***
“Kakak Yun, kita berdua perlu bicara.”

Ziwei berkata kepada Zheng Yun ketika mereka keluar dari kamar Zheng Shao. Zheng Yun berhenti berjalan mendengar Ziwei. Dia berbalik, samar-samar tersenyum sambil berkata,

“Hari sudah larut. Kembalilah ke kamarmu untuk memulihkan kesehatanmu. Mulai besok kau akan sibuk mempersiapkan diri untuk pernikahan.”

“Kita perlu bicara sekarang!” Ziwei berkata tegas. “Kau harus mendengar kata-kataku! Kau jangan coba menunda atau menghindar lagi!”

Dengan frustasi Ziwei mendesak. Zheng Yun akhirnya merasa tidak tega. Dia memenuhi keinginan Ziwei untuk bicara berdua.

Zheng Yun dan Ziwei menuju kamar Zheng Yun. Hanya mereka berdua. Zheng Yun tidak memulai percakapan sehingga tercipta kesunyian cukup lama. Ziwei melihat sekeliling ruangan. Pandangannya terpatri pada layang-layang yang dilukisnya sewaktu berusia enam tahun. Ziwei menguatkan diri.
“Pernikahan ini tidak boleh dilaksanakan. Kita tidak boleh menikah.”

Zheng Yun terkejut. “Mengapa? Bukankah kau telah mendengar sendiri kalau aku bersedia menerimamu sebagai istri? Aku tak akan pernah mempermasalahkan kondisimu. Aku hanya berharap kau bisa melupakan pria itu dan anakmu. Lalu kita bisa memulai dari awal lagi.”

“Tak akan ada hubungan yang bisa mulai dari awal lagi di antara kita!” tukas Ziwei. “Ibumu benar. Aku wanita hina yang tidak pantas diterima di keluarga ini. Selain itu, jika kita tetap menikah, ini hanya akan menjadi perkawinan penuh toleransi-bukan cinta.”

“Kita akan saling mencurigai. Aku sangsi pada ketulusanmu dan kau pasti ragu apakah aku telah melupakan suami dan putriku. Kukatakan padamu Kakak Yun, aku memang tak akan pernah melupakan mereka. Aku mencintai Zhang Rui selamanya! Dan Yingying telah menjadi separuh dari bagian diriku. Aku tak akan membuang mereka hanya demi dirimu!”

Zheng Yun merasa sangat terpukul dengan pengakuan Ziwei. Alasan kenapa dia selalu menghindari Ziwei selama kepulangannya adalah dia tidak siap jika Ziwei berterus terang seperti ini. Zheng Yun takut mendengar Ziwei mengaku dia bersalah. Dan yang lebih buruk-adalah mendengar Ziwei mengatakan jika dia lebih mencintai seorang pria yatim-piatu-gelandangan ketimbang dirinya.

“Aku mencintaimu sejak pertama kali melihatmu, Ziwei,” Zheng Yun berkata dengan suara tercekat. Tangannya yang diletakkan di atas meja sedikit gemetar. “Saat pertama kali melihatmu melangkah masuk ke dalam kamar kakekku, saat itulah aku sadar-aku mau meletakkan masa depanku di dalam genggaman tanganmu.”

Zheng Yun memandang Ziwei. Ziwei segera menyadari kalau dia belum pernah dipandangi seperti itu oleh Zheng Yun. Pria itu tampak terluka. Tapi perkataan berikutnya harus tetap dilanjutkan Ziwei. Zheng Yun akan lebih sakit hati dari sekarang jika dia tetap menikahi Ziwei. Zheng Yun pasti lebih terluka di masa mendatang jika mereka benar-benar hidup dalam pernikahan yang dipenuhi kepura-puraan serta formalitas belaka.

“Biarkan aku menjadi biksuni,” Ziwei bergumam. Zheng Yun terkejut. “Aku juga sudah tak mungkin kembali ke rumah orang tuaku.” Lanjut Ziwei. “Aku lebih baik masuk biara dan memuja Buddha. Berdoa dan menyepi untuk merenungkan kesalahan-kesalahanku selama ini.”

“Jangan lakukan itu!” Zheng Yun memohon sambil menggenggam tangan Ziwei. “Apakah masuk biara lebih baik daripada menikah denganku? Aku menerimamu apa adanya Ziwei. Aku memaafkanmu. Aku berjanji tak akan mengungkit masa lalumu. Kumohon, berilah kesempatan bagi hubungan kita.”

Rasanya Ziwei hendak menangis. Dia telah bertindak kejam dengan menyakiti Zheng Yun. Pria itu malah bersedia memaafkannya. Apakah Zheng Yun seorang pria yang lemah? Tidak! Zheng Yun justru seorang pria yang baik. Teramat baik. Mengapa baru sekarang Ziwei menyadarinya? Ziwei tak mengerti. Sungguh tak mengerti.

“Biarkan aku masuk biara untuk menebus dosaku, Kakak Yun,” Ziwei berlutut memohon. “Inilah pilihan terbaik bagi kita berdua. Ijinkan aku memilih jalan ini untuk meringankan perasaan bersalahku padamu. Jika tidak, aku tak bisa tenang selama sisa hidupku-bahkan perasaan bersalah ini akan kubawa terus sampai mati.”

Zheng Yun pedih melihat Ziwei memohon. Dia mengulurkan tangan meminta Ziwei berdiri tapi wanita itu menolaknya. Ziwei tak akan berdiri sampai Zheng Yun mengabulkan permohonannya.

“Jika kau tak membiarkanku menjadi biksuni, maka ijinkanlah aku mati!” raung Ziwei.

Zheng Yun langsung memeluk erat Ziwei. “Aku tak akan membiarkanmu mati! Tidak akan!”

Ziwei menangis putus asa dalam pelukan Zheng Yun. “Baiklah,” kata Zheng Yun akhirnya dalam suara parau. “Baiklah. Kuijinkan kau masuk biara. Tetapi… ada syaratnya…”

Zheng Yun melepaskan pelukannya dan memandang Ziwei lekat-lekat. “Kau harus berjanji kalau kau akan tinggal di biara selamanya. Jangan kemana-mana. Terlebih kau jangan sampai pergi mencari suami dan putrimu kembali. Kau harus bersumpah tidak menemui mereka lagi!”

“Sebab aku tidak rela melihatmu bersama pria lain. Meski dihina siapapun sebagai lelaki tolol, aku tetap mencintaimu. Jika kau kembali bersama mereka, pengorbananku atas seluruh penghinaan itu akan sia-sia. Aku berikrar Ziwei, jika aku tahu kau kembali kepada mereka-aku akan buat perhitungan dengan pria yang telah merampasmu dariku itu! Aku tak segan-segan! Akan kuhabisi nyawa pria itu beserta putri kalian!”

Bahu Ziwei diguncang-guncang. Kalimat terakhir Zheng Yun diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Penuh ancaman. Ziwei mencoba melihat jauh ke dalam sepasang mata itu. Ketakutan, terluka dan amarah telah membaur jadi satu dalam kedua bola mata yang semakin gelap. Ziwei menyentuh sepasang tangan Zheng Yun yang masih merengkuh wajahnya.

“Ya, aku berjanji…,” ucapnya lirih. “Aku berjanji tidak akan mencari Zhang Rui dan Yingying…”

Dalam hidupnya Ziwei ditakdirkan bertemu dua pria yang mencintainya. Satu memberinya kebebasan tanpa syarat sedang yang satunya menuntut pamrih.

Perlahan-lahan, Zheng Yun melepaskan tangannya dari Ziwei. Dia tak berkata apa-apa lagi. Ketika Ziwei melangkah keluar dari kamar, Zheng Yun tengah duduk membelakanginya. Yang tidak diketahui Ziwei, setelah dia menutup pintu, Zheng Yun menelungkupkan wajah pada kedua tangannya-terisak diam-diam.

***
Tiga hari kemudian, dalam balutan pakaian serba putih dan rambut setengah terurai, Ziwei siap menaiki tandu.

Tandu itu akan membawanya ke kuil Awan Terang di pinggir kota Chang’an. Tempat Ziwei menjalani kehidupan biaranya.

Hanya Zheng Yun-anggota keluarga Zheng yang melepas kepergiannya di gerbang. Keduanya telah saling mengembalikan barang bukti pertunangan. Ziwei telah mengembalikan leontin Zheng Yun. Dan Zheng Yun telah mengembalikan layangan Ziwei-yang kemudian dibakar oleh wanita itu. Secara harfiah, keduanya kini telah terbebas dari ikatan pertunangan mereka.

Tapi di tahun-tahun mendatang Zheng Yun masih juga terobsesi dengan Ziwei-yang telah berganti nama menjadi Biarawati Huiqing.. Dia selalu mengunjungi sang biarawati jika ada kesempatan. Orang-orang mengira dia dermawan murah hati-karena setiap kali ke kuil Awan Terang, Zheng Yun pasti menyumbang besar-besaran.

Yang tak diketahui orang-orang itu, tujuan sebenarnya Zheng Yun mengunjungi kuil itu hanya untuk mengecek: bahwa mantan tunangannya tidak melarikan diri lagi!

***
Lima Belas Tahun Kemudian di kuil Awan Terang.

Pertemuan tak terduga antara suami-istri-anak terjadi di sebuah pondok bambu bagian belakang kuil. Sang istri berdiri pucat seperti melihat hantu. Sang suami tengah menunggu penjelasan. Si anak tengah menelaah fragmen yang sementara terjadi.

“Rupanya kau masih hidup, Ziwei. Mengapa kau mengasingkan diri di sini dan melupakan kami?”

Biarawati Huiqing, alias Zhao Ziwei, tak kuasa mendengar pertanyaan Zhang Rui yang seolah menuduhnya.

“Aku tak melupakan kalian. Aku tak pernah melupakan kalian!” Ziwei menjawab terbata-bata. “Tapi aku tak bisa mencari kalian! Aku tak bisa menemui kalian lagi!”

“Kenapa?!” tuntut Zhang Rui. Dia maju hendak menyentuh Ziwei tapi Ziwei buru-buru menghindar.

Ziwei menggeleng-gelengkan kepala. Dia teringat janjinya pada Zheng Yun. “Aku tak bisa mengatakan alasannya pada kalian. Tidak bisa!”

Yingying spontan maju berlutut dan memeluk erat kaki Ziwei.

“Ibu! Ayah tak pernah jelas mengatakan kau berada di mana. Dia juga tak pernah bilang kalau kau sudah wafat. Jadi, aku selalu berharap kau tetap hidup sehingga aku masih bisa menemuimu! Kini impianku itu telah terkabul!”

Ziwei menatap wajah Yingying yang telah dikenalnya selama tujuh hari sebagai murid lukisnya. Kenapa dia tak menyadari kalau gadis itu-seperti yang diramalkan Kasim Wang lima belas tahun lalu? Gadis itu meyerupainya-kecuali sepasang mata sipit yang terwarisi dari ayahnya.

“Bukankah sudah kukatakan kalau kau harus mengatakan aku sudah mati kepada anak kita?” tanya Ziwei kepada Zhang Rui. “Agar dia tak bertanya-tanya lebih banyak tentang aku.”

“Bagaimana aku bisa menyampaikan kebohongan pada Yingying?” tukas Zhang Rui. “Bukankah kau dulu memintaku mendidiknya menjadi baik? Bagaimana aku bisa mendidiknya menjadi baik jika aku berdusta padanya?”

Sambil menangis, Yingying terus memeluk erat kaki Ziwei. “Ayah benar tak berkata begitu padaku. Ibu, kini kami telah mendapatkanmu. Kumohon, kembalilah bersama kami!”

“Aku tak bisa!” tolak Ziwei. Dia melepaskan pelukan Yingying dengan kasar hingga gadis itu tersungkur. “Kau tahu apa soal diriku? Kalian mana tahu kalau aku di sini untuk menjalani hukuman?”

Yinying terisak. Tapi dia tak menyerah. “Sebenarnya dosa apa yang pernah Ibu lakukan? Hukuman apa yang mesti Ibu jalani? Katakan padaku! Aku akan mewakilimu menjalani hukuman itu…”

Yingying melirik kepala biara yang tadi membawa mereka ke pondok bambu. Dia merangkak ke arahnya.

“Biksuni, katakan hukuman apa yang dijalani Ibu hingga dia dikurung di sini? Aku akan turut melaksanakannya! Apakah dengan membaca sutra Budha seumur hidup? Apakah dengan menjadi biarawati? Aku siap menjadi biarawati di sini jika itu dapat membebaskannya dari hukuman!”

“Yingying!” Zhang Rui dan Ziwei berseru bersamaan. Yingying bersujud berulang kali seperti orang kesurupan di hadapan kepala biara. Dahinya terantuk beberapa kali di lantai. Nyonya Ma yang tidak tahan melihatnya akhirnya menarik Yingying.
“Hentikan Yingying! Kepalamu bisa luka jika kau begitu terus!” seru Nyonya Ma. Dia mendekap dan mengelus Yingying yang masih menangis.

Ziwei terhuyung ke belakang. Peristiwa semacam ini tak pernah dibayangkannya sama sekali!

***

Malam yang telah turun membuat suasana temaram di sekeliling pondok bambu.

Kepala biara mendatangi Ziwei yang seharian itu termenung di biliknya. Kepala biara menyingkap sedikit jendela pondok, mengintip keluar. Yingying dan Zhang Rui masih di luar. Sudah seharian mereka di sana. Yingying berlutut, tak pernah beranjak dari tempatnya selangkah pun.

“Putrimu itu telah seharian dalam kondisi begitu. Anak yang baik. Tidakkah kau kasihan padanya, Biarawati Huiqing?”

Ziwei tak bergeming di tempat duduknya. Tapi dia meresapi kata-kata kepala biara. Dia teringat saat usai melahirkan bayinya. Zhang Rui takut menggendongnya. Zhang Rui meminta Ziwei memilih nama yang gampang ditulis olehnya kelak, dan Ziwei memilih nama Yingying.

Ziwei berpisah dengan Yingying ketika bayinya itu baru berumur dua minggu. Dan setelah lima belas tahun mereka baru bertemu kembali. Yingying telah menjelma menjadi gadis cantik dan baik hati. Zhang Rui berhasil mendidiknya. Dan Ziwei bersedih karena telah kehilangan lima belas tahun kehidupan putrinya.

“Biarawati Huiqing, kembalilah kepada suami dan putrimu,” ujar kepala biara. Ziwei menatap ke arahnya.

“Kau tahu kenapa hingga kini aku belum menerimamu sebagai biksuni dan mencukur rambutmu? Karena aku tahu, meski kau telah lima belas tahun tinggal di sini, menjadi vegetarian dan membaca sutra Buddha ratusan ribu kali - kau masih terkunci oleh masa lalumu.”

“Kau kemari karena kau ingin lari dari pernikahanmu dengan Jendral Zheng. Kau menghukum dirimu sendiri disini, disamping masih memikirkan suami dan anakmu. Aku tidak pernah mau menasbihkan seorang biksuni yang masih belum bisa terlepas dari keterikatannya. Maka itu aku hanya membiarkanmu tinggal di sini sebagai wanita bukan perumah tangga yang ingin menyepi.”

Ziwei hendak melakukan usul kepala biara. Dia ingin segera keluar dari pondok bambu, berlari memeluk Yingying serta Zhang Rui. Nasib Ziwei lebih malang daripada Bidadari Penenun. Dalam legenda kuno, Bidadari Penenun masih bisa bertemu anak dan suaminya setahun sekali dalam bentuk bintang Altair dan Vega. Sedangkan Ziwei harus menunggu lima belas tahun lamanya.

Ziwei teringat kata-kata Zheng Yun lagi, “Aku berikrar, jika aku tahu kau kembali kepada mereka-akan kuhabisi nyawa pria itu beserta putri kalian!” Kata-kata itu membuat Ziwei takut. Membuatnya tak berani melaksanakan keinginannya.

”Sudah lima belas tahun berlalu,” ujar kepala biara lembut. “Jendral Zheng juga sudah punya keluarga sendiri. Dulu dia mungkin pernah mengucapkan kata-kata mengerikan karena waktu dikuasai emosi. Sekarang, tentunya dia telah berubah. Sekian tahun berlalu, dia pasti bisa melihat situasi ini lebih bijak.”

“Ada orang yang berbahagia dengan menjadi biarawan atau biksuni. Tapi ada juga orang yang lebih berbahagia menjalani hidup berumah tangga. Jalan kebahagiaan di dunia bermacam-macam. Sekarang ini, kau tak cocok lagi dengan kehidupan biara, Nona Zhao. Kembalilah pada kehidupan berumah tanggamu dan kau pasti lebih berbahagia daripada sekarang.”

Ziwei seolah terbius dengan kata-kata kepala biara. Mendadak semua beban di dadanya terangkat. Dan dia akhirnya tersenyum.

***
Ziwei melangkah keluar dari pondok bambunya menghampiri Yingying dan Zhang Rui perlahan-lahan.

Punggung Yingying menegak melihat kemunculan ibunya. Apakah…, apakah ibunya telah memutuskan…?

“Ibu,” panggil Yingying. Cukup satu panggilan itu meluruhkan pertahanan terakhir Ziwei. Ziwei menyongsong putrinya, mencercahinya dengan kecupan-kecupan sayang lalu memeluknya.

Tak ada hukuman atau penantian lagi. Ibu dan putri berpelukan. Zhang Rui mendekap kedua wanita yang dikasihinya itu. Seperti pada malam lima belas tahun lalu ketika mereka lari dari kejaran Kasim Wang di padang ilalang.

***
Dua bulan kemudian…

Pada hari Qing Ming tahun itu, Zheng Yun mengunjungi makam leluhurnya di luar kota Chang’an seperti yang rutin dilakukannya pada tahun-tahun sebelumnya.

Zheng Yun mengajak istri dan kedua putranya, Zheng Lan dan Zheng Yu. Mereka menziarahi makam para tetua lebih dahulu baru yang terakhir makam Zheng Xing, adik tiri Zheng Yun.

Zheng Xing meninggal di usia dua puluh lima. Seperti yang sudah diramalkannya, umurnya tak akan panjang. Di penghujung hidupnya, ginjalnya yang rusak tak sanggup membuatnya bertahan lebih lama lagi.

Zheng Xing tidak pernah menikah. Zheng Yun yang mengasihinya lalu memberikan putra sulungnya, Lan, sebagai anak angkat Zheng Xing. Kelak anak maupun cucu Lan akan dianggap sebagai keturunan Zheng Xing.

Setahun setelah Ziwei masuk kuil Awan Terang, Zheng Yun menikah dengan seorang gadis muda dari keluarga terpandang. Orang tuanya tak salah memilihkan gadis itu karena dia tak kalah cantiknya dari Ziwei. Dia hanya tak bisa melukis seperti Ziwei.

Namun istrinya ini tak bisa menerima adik tiri suaminya bagian dari keluarga Zheng. Istri Zheng Yun hanya menganggap Zheng Xing yang bodoh dan cacat sebagai borok dalam keluarga. Dia juga tidak setuju ketika Zheng Yun memberikan putra tertua mereka, Lan, diangkat anak oleh Zheng Xing. Zheng Yun tahu-tapi mengabaikan protesnya.

Usai melaksanakan ritual Qing Ming, Zheng Yun dan keluarganya bersiap meninggalkan pemakaman. Sebelum naik ke kudanya, Zheng Yun berkata pada kedua putranya,

“Lan, Yu, kalian temani Ibu kalian pulang ke rumah. Ayah mau mengunjungi kuil Awan Terang dulu.”

Kedua putranya menyanggupi. Zheng Yun melihat sekilas ke wajah istrinya yang dingin. Pasti mengunjungi biarawati itu, batin Nyonya Zheng.

Meski telah menjadi suami-istri belasan tahun, Nyonya Zheng tetap tak dapat memenangkan hati suaminya. Dia selalu dilanda kecemburuan setiap kali mendapati Zheng Yun lama tepekur di paviliun kakeknya-memandangi lukisan bunga persik karya cinta pertamanya.

Awalnya Nyonya Zheng merasa amat bahagia karena menikahi pria seperti Zheng Yun. Dia tampan, cerdas dan berkarir cemerlang. Tapi kebahagiaannya mulai terusik tatkala mendengar desas-desus tentang mantan tunangan suaminya itu.

Kala itu, Nyonya Zheng masih bisa menghibur diri kalau dia pasti lebih baik dari kekasih pertama suaminya. Suatu hari, Zheng Yun mengajaknya menemui sang biarawati. Karena penasaran, Nyonya Zheng setuju.

Istri Zheng Yun sangat shock begitu melihat sang biarawati. Meski berpenampilan sederhana dalam pakaian biaranya, Huiqing masih sanggup menarik perhatian Zheng Yun. Nyonya Zheng terpukul melihat cara suaminya memandang dan bicara kepada Biarawati Huiqing. Itu adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir. Sejak itu, Nyonya Zheng selalu menolak jika diajak menemui sang biarawati.

***
Zheng Yun membakar dupa dan kertas persembahan di kuil Awan Terang. Usai bersembahyang, seperti yang sudah sering dilakukannya, Zheng Yun masuk ke bagian dalam kuil menuju pondok bambu kediaman Biarawati Huiqing.

Tapi sesampainya di sana, Zheng Yun terkejut ketika melihat pondok bambu yang biasanya sepi telah berubah fungsi. Sekelompok biarawati dan biksuni duduk di dalam. Mereka sedang berdiskusi. Kepala biara duduk agak atas dan paling depan memimpin jalannya diskusi.

Diskusi terhenti sewaktu Zheng Yun masuk. Para biarawati dan biksuni melihat ke arah pria bertubuh jangkung yang kebingungan itu. Zheng Yun mencari-cari sosok Huiqing tapi tak ditemukannya. Dia menghampiri kepala biara.

“Dimana Biarawati Huiqing? Kenapa aku tidak melihatnya di sini?”

Kepala biarawati terdiam sejenak. Lalu dia menjawab, “Biarawati Huiqing sudah tak berada di biara ini lagi.”

“Apa?”

“Dia telah kembali bernama Zhao Ziwei dan menjalani kehidupan umat biasa.”

Zheng Yun amat terkejut sampai terhuyung. “Bagaimana bisa… dia pergi dari sini?” tanyanya seperti orang linglung. “Jangan katakan… kalau dia mencari mereka. Kepala biara, jangan katakan kalau dia telah menemukan mereka!”

“Biarawati Huiqing tidak pernah mencari suami dan putrinya,” kata kepala biara kalem. “Merekalah yang telah menemukan biarawati Huiqing.” Kepala biara menatap langsung ke dalam mata Zheng Yun, “Ini adalah takdir Jendral. Jalinan hubungan mereka begitu kuat. Sekalipun mereka berusaha dipisahkan, jalinan itu akan mempertemukan mereka kembali. Hanya soal waktu. Kau seharusnya telah merelakannya.”

Kata-kata kepala biara seperti ejekan bagi Zheng Yun. Amarah dengan cepat menguasai sang jendral hingga dia menghunuskan pedangnya dan mengarahkannya ke leher kepala biara.

Seluruh biarawati dan biksuni yang hadir di situ memekik. Kepala biara mengangkat tangan meminta mereka untuk tidak khawatir. Di bawah todongan pedang, sikap kepala biara masih bisa begitu tenang.

“Jangan mengajariku caraku bersikap, Biksuni!” geram Zheng Yun. “Kau tak pernah merasakan sakit hati dicampakkan orang yang kau cintai! Kau juga tidak tahu bagaimana rasanya dihina oleh kolegamu-yang tahu tunanganmu meninggalkanmu demi seorang gelandangan!”

“Amitabha…,” gumam kepala biara. “Semua orang pasti akan berpisah dengan hal-hal yang dia cintai. Kau seorang Jendral yang telah mengikuti banyak peperangan dalam hidupmu. Kau telah menaklukkan puluhan ribu orang. Tapi sayang, kau justru tak dapat menaklukkan dirimu sendiri…”

Mata Zheng Yun berkilat seperti pedangnya. Dia menekan pedangnya hingga menyentuh leher kepala biara. Para biarawati dan biksuni kembali berseru.

“Aku telah mendermakan banyak hartaku kemari, Biksuni. Dengan harapan agar kau menjaga Biarawati Huiqing. Aku sudah pernah berpesan padamu, jangan sampai dia keluar dari tempat ini,” Zheng Yun setengah berbisik. “Sekarang, katakan kemana mereka pergi, Biksuni!”

Kepala Biara memejamkan mata dan dengan tenang berujar, “Aku tak akan pernah mengatakan kemana mereka pergi.”

Zheng Yun menyeringai. Dia menarik pedangnya dan menyarungkannya kembali.

“Sepertinya kau tak akan bicara sekalipun kuancam, Biksuni,” seloroh Zheng Yun. “Dan membunuhmu di depan banyak orang hanya akan mencemarkan nama baikku. Baiklah kalau kau tak mau memberitahuku. Tapi bukan berarti aku tidak akan menemukan cara untuk memperoleh informasi keberadaan mereka. Aku bersumpah, kemanapun mereka pergi pasti akan kutemukan!”

Dengan berapi-api, Zheng Yun meninggalkan pondok bambu.

***
Di Dusun Wei, Ziwei hidup tenang bersama putri dan suaminya.

Mulanya, penduduk desa terkejut mendengar pandai besi Zhang telah menemukan istrinya kembali. Tetangga mereka, keluarga Ma-yang paling pertama tahu soal ini, bersikap bijak dengan tidak sembarangan menyebarkan desas-desus. Akhinrnya, Zhang Rui sendirilah yang memberi keterangan kepada warga desa.

“Tidak lama setelah Yingying lahir, desa tempat kami tinggal terkena bencana banjir bandang. Aku dan Yingying akhirnya terpisah dari istriku. Tidak disangka, lima belas tahun kemudian kami bertemu kembali. Istriku rupanya tinggal di sebuah biara karena tidak tahu harus kemana mencari kami.”

Penduduk Dusun Wei menerima cerita tersebut. Mereka mengucapkan selamat kepada Zhang Rui dan Yingying karena telah berkumpul lagi bersama istri serta ibu mereka. Para warga juga menyambut kedatangan Ziwei dengan baik. Dari mereka, Ziwei jadi tahu kehidupan Zhang Rui dan Yingying lima belas tahun tanpa kehadirannya.

Meski rumah di Dusun Wei kecil dan amat sederhana, tapi karena telah terbiasa hidup sepi di podok bambu biara, Ziwei mampu menyesuaikan diri. Beberapa kebiasaan biara tetap dilakukannya seperti vegetarian dan membaca sutra Buddhis di waktu pagi dan sore.

Ziwei mulai membiasakan diri dengan kehidupan berkeluarga yang dulu tidak sempat dikecapnya. Punya rumah kecil, suami yang penuh kasih serta seorang putri yang layak dicintai. Hubungannya dengan Yingying terbangun cukup cepat dan akrab. Adakalanya, saat Yingying bicara dan lupa kata-kata selanjutnya, Ziwei-lah yang menyelesaikan perkataannya. Bagi Zhang Rui, itu sudah cukup membuktikan kalau ikatan batin ibu dan anak di antara keduanya cukup kuat meski telah lima belas tahun terpisah.

Ziwei sering berjalan berdua bersama Yingying mengunjungi bukit-bukit berpemandangan indah untuk melukis. Ziwei memuji pemandangan Dusun Wei. Dia senang karena Zhang Rui memilih tempat yang tepat untuk tinggal dan membesarkan Yingying.

Yingying juga senang melihat ayah dan ibunya berkumpul kembali.Yingying kini melihat sendiri kalau ayahnya sangat mencintai ibunya. Zhang Rui semakin sering tersenyum sekarang. Senyuman itu melembutkan garis-garis wajahnya dan membuatnya terlihat lebih muda. Ah, ayah-ibunya memang masih muda. Yingying bahagia melihat keduanya ibarat sepasang kekasih baru lagi.

Suatu siang, Zhang Rui dan Ziwei pergi berjalan-jalan menjelajahi bukit. Kali ini, Yingying yang ditinggal di rumah. Dia sedang di halaman belakang-memilah-milah kacang kedelai untuk dibuat tahu. Si anak tetangga, Ma Junqing, tiba-tiba muncul. Dia melompati pagar bambu setinggi pinggang orang dewasa dan bergegas menghampiri Yingying.

“Hei, Junqing! Belakangan ini aku jarang melihatmu,” sapa Yingying.

“Akulah yang jarang melihatmu,” tukas Junqing. “Spanjang waktu kau selalu bersama ibumu sehingga melupakan aku.”

Ada nada cemburu dalam suara Junqing. Yingying tersenyum. “Kita kan sudah selalu bertemu selama belasan tahun, sedangkan aku baru saja bertemu ibuku. Tentu saja aku akan menghabiskan waktu paling banyak dengannya.”

Lalu Yingying berkata asal lalu, “Aku tak mau kehilangan ibu lagi. Aku bahkan mau menemaninya selamanya.”

“Apa? Selamanya?” seru Junqing. “Itu tidak mungkin! Kau akan menikah kelak. Bagaimana mungkin kau bisa bersama ibumu seterusnya?”

“Kalau begitu, aku tak menikah saja!”

“Hah? Kau jangan sembarang bicara!” Junqing terlompat berdiri. “Kalau kau tak menikah, kau akan… kau akan…”

“Akan apa?” tanya Yingying heran melihat reaksi Junqing.

“Kau akan menjadi makhluk cantik yang sia-sia!”

Yingying menganga. Junqing segera menyambung, “Dan akan ada seseorang merana karena itu!”

Kening Yingying berkerut. “Kau jangan memprotes tentang pernikahanku. Lalu bagaimana dengan Chen Ajiao? Bukankah dulu kau pernah bilang akan menikahinya ketika dewasa?”

Junqing tercekat. Tanpa melihat Junqing, Yingying melanjutkan, “Kudengar sudah ada satu-dua pemuda yang melamar Ajiao. Tapi dia menolak. Mungkin dia mengharapkan kedatanganmu. Sebaiknya, kau segera meminta ibumu untuk melamarnya. Jangan membuatnya menunggu terlalu lama, nanti keburu ada calon lain yang lebih potensial menggaetnya.”

Junqing gemas mendengar perkataan Yingying. ”Duh, kau ini! Apakah kau memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”

“Apa?” Yingying kembali tidak mengerti. Hidung Junqing kembang-kempis karena kesal.

“Sebenarnya, aku…”

Perkataan Junqing terpotong karena ada seseorang yang memanggil di depan bengkel.

“Pandai Besi Zhang, apakah kau ada di rumah?”

Yingying menoleh ke arah datangnya suara. “Sepertinya itu Tuan Cai si kepala desa. Aku harus menemuinya.”

Junqing menghentakkan kaki karena perkataannya terputus oleh teriakan tersebut. Dia mengikuti Yingying masuk ke dalam rumah. Keduanya menuju bagian depan bengkel Zhang Rui.

Memang betul Tuan Cai yang datang. Bersamanya ada seorang lelaki tinggi besar. Dia berdiri di samping Tuan Cai membelakangi Yingying dan Junqing. Pakaiannya terlihat bagus. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang yang tersarung di pinggang.

“Ayah sedang pergi bersama ibu. Ada apa anda mencarinya, Tuan Cai?” tanya Yingying pada kepala desa.

Tuan Cai yang berumur enam puluhan dan rambut putih itu berkata dengan ramah, “Tuan Besar ini hendak bertemu dengan ayahmu.”
Yingying melihat ke lelaki tersebut. Pria itu berbalik ketika diperkenalkan Tuan Cai. Dan sejurus kemudian, Yingying terkejut.

Pria ini adalah jendral yang dilihat Yingying mengunjungi pondok bambu sewaktu ibunya masih berstatus sebagai Biarawati Huiqing!

Zheng Yun menatap Yingying dengan dingin. “Sebenarnya bukan hanya ayahmu yang ingin kutemui. Tapi juga kau dan ibumu!”

Bersambung