Welcome to my world

Segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China tertuang di sini.

Minggu, 30 Mei 2010

The Painter Lady (7): Kisah Terakhir


Sekembalinya di rumah usai berpergian bersama Zhang Rui, Ziwei sangat terkejut.

Zheng Yun duduk di tengah-tengah ruangan bengkel. Pedangnya terbuka berkilat-kilat, tergeletak di atas meja yang di seberangnya duduk Yingying. Ma Junqing di sampingnya. Tampang Yingying dan Junqing was-was - tapi tidak berani sembarang bertindak. Mereka khawatir Zheng Yun akan melayangkan pedang yang terhunus itu secara membabi buta kepada mereka.

Ziwei segera maju membentengi Ziwei dan Junqing. “Apa yang kau lakukan di sini?” serunya pada Zheng Yun. “Darimana kau tahu aku berada di sini? Kepala biarakah yang memberi tahumu?”

Zheng Yun memandang Ziwei sinis. “Kau tak perlu khawatir, bukan kepala biara yang memberitahuku. Sekalipun dia diancam akan dibunuh, dia tetap akan tutup mulut. Salah seorang muridnyalah yang memberitahuku. Ibu biksuni muda itu sedang tergolek sakit. Aku tinggal memberi bantuan dan sebagai ungkapan terima kasih, dia memberitahu kemana kalian pergi.”

“Keterlaluan!” hardik Ziwei. “Kau sungguh-sungguh tak mau melepas kami!”

Tuan Cai yang masih berada di situ buru-buru menghampiri Zhang Rui. “Pandai besi Zhang, maafkan aku. Aku tak tahu orang ini punya tujuan apa mencarimu. Kelihatannya, dia punya gelagat tidak baik…”

Zhang Rui mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat Tuan Cai berhenti menyalahkan dirinya sendiri. Dia mendekati istri dan putrinya, berdiri di depan keduanya dan berhadapan langsung dengan Zheng Yun!

Inilah pertama kalinya kedua pria ini bertemu. Setelah sekian tahun mereka hanya saling tahu lewat Ziwei saja…

Zheng Yun lekas berdiri seolah menantang Zhang Rui. Zhang Rui mencoba bersikap tenang. Tidak bermusuhan atau membenci. Dia memandang lurus ke mata Zheng Yun.

“Akhirnya kita bertemu juga. Jendral Zheng, apa kabar?” Zhang Rui menyapa.

“Pandai juga kau berbasa-basi,” Zheng Yun meledek. “Kukira pandai besi miskin sepertimu tak punya sopan santun. Kalau dilihat-lihat, apa yang kau punya sehingga Ziwei dulu jatuh cinta padamu? Tampang pas-pasan, uang dan harta benda pun tak punya. Tapi mengapa…, dulu Ziwei memilihmu – bukannya aku?”

Zhang Rui terdiam sejenak. “Adakalanya, kita melihat sepasang kekasih serasi satu sama lain tapi mereka tidak bahagia. Ada pula, yang kelihatannya tidak serasi tapi mereka tetap bersama dan berbahagia. Demikianlah jika kita bicara tentang cinta Jendral. Tak dapat diprediksi atau diatur seperti strategi peperangan.”

“Ziwei mungkin dulu pernah dijodohkan denganmu. Pernikahan kalian telah diatur. Dari luar, kalian terlihat begitu cocok satu sama lain. Tapi tidak ada yang tahu kalau dalam hatinya, Ziwei tidak merasa demikian. Apakah anggapan orang-orang itu harus dipaksakan kepada Ziwei?”

Perkataan Zhang Rui itu membuat Zheng Yun naik pitam. “Seorang gelandangan yang telah merampas calon istriku berani berkata seperti itu padaku?” Zheng Yun meraih pedangnya dan mengarahkannya ke arah Zhang Rui. “Sudah lama aku menantikan pertemuan ini untuk membuat perhitungan denganmu. Sekaranglah saatnya aku membalas sakit hatiku!”

Yingying langsung menyeruak di antara kedua orang tuanya sewaktu Zheng Yun bersiap mengayunkan pedangnya.

“Kalau Anda hendak membunuh, bunuhlah aku!” serunya.

Zheng Yun melihat Yingying tanpa belas kasihan. “Baik, karena kau anak lelaki ini tak ada salahnya kau mati! Kalianlah penyebab Ziwei menolakku. Aku memang ingin membunuh orang untuk melampiaskan kekesalanku!”

Zheng Yun mengayunkan pedangnya tinggi-tinggi tanpa ampun. Semua orang yang ada di ruangan tersebut memekik. Yingying memejamkan mata.

Tak ada satupun sabetan mengenainya-padahal Yingying telah bersiap. Ketika dia membuka mata kembali, dilihatnya seseorang berdiri di depannya menahan pedang Zheng Yun. Ibunya!

Ziwei memegang erat ujung pedang Zheng Yun dengan tangan kanannya. Darah seketika menetes-netes. Yingying sontak terkejut dan memegang pundak ibunya sambil berseru, “Ibu, apa yang kau lakukan? Lepaskan pedangnya segera!”

Tapi Ziwei tak melepas genggamannya. Dia masih tetap berkuat-kuatan dengan Zheng Yun. “Langkahi mayatku dulu baru kau boleh menghabisi putriku.”

Zheng Yun yang tak menyangka Ziwei akan menggenggam ujung pedangnya, segera melepas pegangannya begitu melihat wanita itu terluka. Tapi mata pedang yang tajam tertancap di daging tangan Ziwei. Ziwei membuka dan mengibas tangannya sehingga pedang itu terjatuh ke lantai.

Ziwei menatap Zheng Yun. “Jadi dengan membunuh kami sekeluarga akan membuatmu puas? Kalau begitu, mulailah dari aku. Karena akulah yang menyebabkan semua ini terjadi. Aku yang bodoh ini telah mengkhianati pertunangan baik-baik yang sudah diatur kakekku. Maka, yang pertama harus mati adalah aku!”

Menunduk, Ziwei memungut pedang Zheng Yun. Diserahkannya pedang tersebut kepada Zheng Yun sambil berkata,
“Silakan, bunuh aku lebih dulu sebelum kau menghabisi nyawa putri dan suamiku.”

Zheng Yun mundur terhuyung. Dia tidak sanggup melakukannya. Ziwei maju terus menghampirinya dengan pedang terulur. “Ayo!” Ziwei mengajak Zheng Yun menerima pedang tersebut.

“Atau kau mau aku melakukan sendiri di hadapanmu?”

“Hentikan!” terdengar suara seseorang di tengah kekacauan itu. Semua orang berpaling.
Di depan pintu, berdiri seorang wanita. Dia mengenakan topi bercadar kuning. Wajahnya tertutup cadar. Di belakangnya, berderet sekelompok pengawal berpakaian hitam-hitam yang siap-siaga.

Kasim Wang muncul di samping wanita itu. Dialah yang berteriak tadi. Tangannya memegang tongkat sida-sida. Wajahnya masih sama menakutkannya dengan lima belas tahun lalu. Dia memandang ke seluruh orang yang berada di ruangan tersebut.

Kasim Wang membungkuk ke hadapan wanita bercadar. “Yang Mulia, mereka semua berada di sini.”

Wanita itu mengangguk. Dia lalu mengangkat cadarnya dan melangkah maju agar dapat terlihat lebih jelas oleh semua orang di ruangan itu.

“Pelukis Wanita Zhao, sudah lama kita tak bertemu.”

Meski tidak ada atribut istana mewah yang menghiasinya, wanita itu tetap seanggun dulu. Dia sepertinya sedang melakukan perjalanan menyamar dengan sejumlah pengawal rahasia. Wanita itu masih berwibawa dan kritis seperti dulu.

Permaisuri Wu.

***
Permaisuri Wu dan Ziwei berbicara berdua di bengkel Zhang Rui. Kedua wanita itu duduk saling berhadapan pada sebuah meja. Semua orang diminta keluar. Para pengawal menjaga setiap sisi rumah.

Tangan Ziwei yang terluka telah dibalut. Dia menunggu Permaisuri Wu bicara.

“Kelihatannya kau bahagia meski tinggal di desa terpencil dan rumah sekecil ini, Pelukis Wanita Zhao. Asal suami dan putrimu bersamamu. Bukan begitu?” kata Permaisuri Wu.

Ziwei tak menyahut. Dia menunggu kalimat selanjutnya. Permaisuri Wu menghela napas.

“Tidak seperti aku. Aku punya banyak anak tapi satu per satu dari mereka menentangku. Kau sekalipun hanya memiliki satu putri dan kalian terpisah cukup lama, dia sepertinya menyayangimu.”
“Terima kasih atas pujian Yang Mulia. Mewakili putri hamba, hamba mengucapkan terima kasih.”

Permaisuri Wu tersenyum simpul lalu melanjutkan. “Musim panas ini, aku yang bosan tinggal di istana, memutuskan untuk pergi berkeliling. Tentu saja untuk tidak menarik perhatian, aku menyamar. Aku mengunjungi kuil Awan Terang. Dan di sana aku melihat lukisan Dewi Guanyin yang bagus sekali-ternyata hasil karyamu.”

“Aku tak menduga kemampuan melukismu telah pulih,” tuduh Permaisuri Wu. “Aku mengira kau tak akan pernah sanggup melukis lagi setelah kemalangan demi kemalangan menimpamu.”

Permaisuri Wu terdiam sejenak lalu melanjutkan, “Pemandangan Gunung Qiu, hingga kini tak seorang pun yang bisa melukisnya sesuai harapanku. Apakah kau masih mau ke Shandong sekali lagi untuk melukis Gunung Qiu?”

Terkejut, Ziwei mendongak menatap Permaisuri Wu seolah tak percaya. “Yang mulia menginginkan saya melukis gunung suci sekali lagi?”

“Ya,” Permaisuri Wu mengangguk. “Anggap saja kau menunaikan janji padaku enam belas tahun silam.”

“Apa ganjaran dari Yang Mulia jika aku menyelesaikan misi ini?” tanya Ziwei mengingat enam belas tahun lalu dia menerima misi ini agar pertunangannya dengan Zheng Yun dibatalkan. Tapi kini semua itu sudah berakhir. Ziwei bahkan telah bersama Zhang Rui dan Yingying meski Zheng Yun masih terobsesi padanya.

“Tentu saja ada uang dan gelar,” jawab Permaisuri Wu. “Namamu akan tercatat dalam kitab wanita istana sebagai salah satu wanita berprestasi dari Dinasti Tang. Selain itu aku juga akan memberi hadiah satu hal… Jaminan kalau Jendral Zheng Yun tak mengusik dirimu maupun keluargamu di masa mendatang!”

Ziwei tercenung. Dia ingat panorama Gunung Qiu belasan tahun lalu. Gunung suci tempat kelahiran Konfucius yang begitu suci. Ada hasrat menggebu untuk merekam keberadaannya dalam kanvas. Dan kemudian memindahkannya ke ruang perpustakaan istana. Agar para sarjana dan pengunjung perpustakaan itu dapat merasakan langsung atmosfir gunung suci sembari membaca karya-karya klasik Konfucius semacam: ‘Analek Musim Semi dan Musim Gugur’ serta ‘Pelajaran Agung’.

“Yang Mulia tak perlu memberikan jaminan yang terakhir. Aku yakin setelah tanganku terluka, Jendral Zheng akan perlahan-lahan mundur untuk mengusikku. Tapi ada satu syarat yang harus Yang Mulia penuhi. Ijinkan suami dan putriku ikut dalam misi ini.”

Permaisuri Wu berpikir sejenak. “Kurasa, kalian satu keluarga memang ditakdirkan untuk bersama. Tak ada gunanya aku memisahkan kalian. Sebaliknya, pekerjaanmu akan lebih baik bila mereka menyertaimu. Dari keterangan kepala biara kuil Awan Terang, kudengar kalau putrimu juga berbakat melukis sepertimu. Tak ada salahnya jika dia ikut.”

Ziwei tersenyum bangga. “Hamba setuju. Jangan khawatir Yang Mulia, kali ini, lukisan itu pasti selesai. Perpustakaan istana akan dipenuhi aura agung dari gunung suci.”

“Aku akan memegang janjimu itu, Pelukis Wanita Zhao!”

***
Yingying dan Zhang Rui bersiap menemani Ziwei menuju Gunung Qiu. Yingying berkemas-kemas. Dia juga mempersiapkan rumah yang akan ditinggal pergi penghuninya dalam waktu lama.

“Oh, disini akan sepi sekali jika kau pergi,” Ma Junqing berkata.

Yingying yang tak peka dengan perasaan Junqing berkata, “Kau jangan merana seperti ini. Lekaslah lamar Ajiao untuk menemanimu!”

“Aku tidak menginginkan Ajiao! Berjanjilah padaku, setelah selesai melukis Gunung Qiu di perpustakaan istana, kau akan kembali ke sini!”

Junqing merengek sambil memegang tangan Yingying. Dengan acuh, Yingying menjawab, “Aku belum tahu akan kembali ke sini atau tidak. Aku hanya akan mengikuti orang tuaku. Kemana mereka pergi, kesanalah aku turut serta.”

Kesal karena Yingying mengabaikannya, Junqing bangkit berdiri dan dengan cepat melayangkan satu ciuman di pipi gadis itu. Yingying terbelalak.

“Ma Junqing!” Yingying menjerit sambil mendorong Junqing hingga terjungkal.

Bukannya marah, Junqing malah tertawa. Dia berusaha bangkit kembali dan melihat Yingying mengusap pipinya.

“Kau keterlaluan!” Yingying berteriak. Tapi dia kini menyadari sesuatu.

“Aku menyukaimu Zhang Yingying!” balas Junqing.

“Apa? Bukannya kau menyukai Chen Ajiao?” timpal Yingying – masih marah.

“Mungkin…, tapi itu dulu. Sekarang tidak lagi.”

“Ma Junqing! Bisa-bisanya kau berkata seperti itu padahal dulu kau berniat menikahinya!”

“Hati orang kan bisa berubah. Aku dulu menyukai Ajiao karena menganggapnya paling cantik. Tapi sekarang, hatiku berkata lain.”

“Gampang sekali kau berkata begitu sekarang! Beberapa tahun mendatang, kau pasti akan menyukai gadis lain dan bukan aku lagi!”

“Tidak! Padamu beda! Aku sudah menetapkan kau adalah calon istriku yang pertama sekaligus yang terakhir, tidak berubah!”

“Tapi aku tidak pernah punya perasaan apa-apa padamu, Ma Junqing! Aku tidak pernah jatuh cinta dengan anak lelaki yang manja, kekanak-kanakan dan pemarah sepertimu!”

“Oh,” Junqing tertegun sesaat memandang Yingying. “Jadi kau menganggapku manja, kekanak-kanakan dan pemarah? Tidak mengapa… Sekarang mungkin kau berkata seperti itu. Tapi tunggulah satu atau dua tahun lagi. Saat aku lebih dewasa dari sekarang-kau pasti akan jatuh cinta padaku.”

Yingying terpengarah, “Omong kosong!”

Saat Yingying lengah menyerukan omong kosong itu, dengan cepat Junqing mencuri satu ciuman lagi di pipi sebelahnya.

“Ma Junqing!” Yingying melolong. “Awas! Kulaporkan kau pada ayahku!”

“Lebih bagus lagi kalau kau mengadu pada ayahmu!” Junqing bersiap pergi sambil tertawa. “Paman Zhang akan murka dan menuntutku agar bertanggung jawab karena telah mencium anak gadisnya. Dan aku akan dengan senang hati bersedia menikahimu!”

Yingying kesal setengah mati. Dipungutnya sebuah kerikil lalu dilemparnya ke arah Junqing.

Tapi sia-sia. Tawa Junqing semakin keras sewaktu lemparan Yingying meleset darinya.

***
Zhang Rui, Ziwei dan Yingying memulai perjalanan ke Gunung Qiu.

Ini perjalanan yang menyenangkan. Ziwei tak perlu menyamar menjadi lelaki. Atau menyembunyikan identitasnya dari Zhang Rui seperti enam belas tahun lalu. Kini perjalanannya dengan Zhang Rui dilakukan terang-terangan sambil ditemani sang putri tercinta.

Gunung Qiu kini sudah aman. Para pemberontak ikat kepala kuning telah ditumpas bertahun-tahun lalu. Ziwei dan Yingying melukis sudut-sudut terbaik dari Gunung Qiu di atas buku sketsa. Meski tak tahu mengenai lukisan, Zhang Rui merasa bahagia melihat istri dan putrinya saling membandingkan hasil lukisan satu sama lain, berdiskusi dan tertawa-tawa.

Ketika lukisan telah selesai, ketiganya menuju kota Luoyang. Ziwei dan Yingying melukis beberapa sketsa yang mereka anggap paling baik di atas kanvas lalu diperlihatkan kepada Permaisuri Wu. Permaisuri menyukainya. Maka dari beberapa lukisan itu disetujui untuk dilukis di dinding perpustakaan istana.

Ziwei dan Yingying bekerja dibantu sejumlah pelukis dan pemahat istana. Ziwei menjadi pemimpin proyek tersebut.

Selama bekerja di istana, Ziwei dan keluarganya menyewa sebuah rumah dekat dari istana. Pada siang hari, dia dan Yingying bekerja di istana. Sedang Zhang Rui, untuk mengisi waktunya bekerja di tempat pembuatan senjata negara. Jika malam tiba, ketiganya berkumpul kembali di rumah. Meski lelah seharian beraktivitas, ketiganya bisa bertemu penuh kehangatan di malam hari. Inilah kebahagiaan keluarga kecil itu.

***
Menjelang akhir musim gugur tahun itu, Ziwei jatuh sakit.

Mungkin karena pengaruh cuaca atau kondisi badannya memang tidak sehat. Awalnya pada siang hari keadaan Ziwei biasa-biasa saja. Tapi dia demam di malam hari-meski panasnya tidak tinggi. Tabib terbaik istana mengobatinya. Namun kondisi Ziwei tak juga membaik. Belakangan, tabib memintanya beristirahat penuh di ranjang.

Ziwei terpaksa cuti sejenak dari proyek melukis dinding perpustakaan istana. Yingying menggantikannya sementara. Zhang Rui menemani Ziwei sepanjang waktu. Pada malam hari sekembalinya di rumah, Yingying merawat ibunya sembari mengabarkan kemajuan proyek. Ziwei cukup senang mendengar perkembangannya.

Suatu malam, setelah beberapa hari terbaring lemah, Ziwei berkata pada Yingying,

“Kalau aku meninggal, tolong kubur aku di Dusun Wei.”

“Ibu kenapa berkata seperti itu?” Yingying terkejut. Zhang Rui yang berada di sampingnya juga terhenyak.

“Jangan sembarangan bicara, istriku. Kita sekeluarga belum genap setahun berkumpul. Apakah kau tega meninggalkan kami cepat-cepat?”

Ziwei tersenyum, “Aku hanya merasa, kondisiku tak kunjung membaik. Mungkin ini akibat dari kesalahan-kesalahan yang kubuat di masa silam. Aku telah melanggar janji Kakekku sehingga umurku pendek.”

Yingying membesarkan hati Ziwei, “Ibu jangan berpikir yang tidak-tidak. Ini hanya demam biasa. Ibu pasti sembuh. Maka dari itu Ibu harus beristirahat baik-baik.”

Ziwei tersenyum simpul. “Kau anak baik Yingying. Permaisuri Wu pernah berkata kalau dia iri padaku. Karena aku bahagia dengan keluarga kecilku. Itu sebabnya dulu dia memisahkan aku dengan kalian. Tapi kemudian dia menyerah karena akhirnya kita tetap bertemu juga.”

Malamnya, Ziwei terbangun dari tidurnya. Anehnya, dia merasa sekujur tubuhnya segar. Dia bahkan bisa bangkit sendiri dari ranjangnya. Dilihatnya Yingying tengah tertidur di sisi ranjangnya. Zhang Rui sedang terlelap di kursi dengan sebelah tangan menopang kepala di atas meja.

Mengapa mereka tertidur? Bukankah seharusnya mereka terjaga untuk menjaganya? Ziwei berpikir. Mungkin mereka lelah. Tak mengapa, toh Ziwei sudah tak apa-apa.

Ziwei merasa hari telah menjelang pagi. Ini mungkin subuh, pikirnya. Dia turun dari tempat tidur dan tiba-tiba dilihatnya sesuatu di bawah pintu.

Di bawah pintu terdapat cahaya berkelap-kelip. Apa itu? - pikirnya. Perlahan-lahan dia menghampiri pintu lalu membukanya.

Ziwei langsung memejamkan mata karena tak tahan langsung melihat silau cahaya di depannya. Ketika Ziwei kembali memandang ke sumber cahaya itu, matanya telah menyesuaikan diri. Di tengah-tengah lingkaran cahaya keemasan, berdiri seorang pria berambut putih dengan jubah keperakan.

“Kakek…?” Ziwei bergumam. Merasa yakin kalau pria tua yang tengah berdiri membelakanginya itu adalah Zhao Ji, kakeknya.

Pria itu berbalik. Dia memang Zhao Ji. Tampak seperti dewa agung dalam pakaian kemuliaannya.

Zhao Ji tersenyum memandangi Ziwei. “Cucuku tersayang, lama tak berjumpa denganmu.”

Ziwei langsung jatuh berlutut. “Kakek…, hukumlah aku. Aku telah bersalah mengkhianati pertunanganku dengan Zheng Yun. Aku tidak berbakti karena telah melanggar janji perjodohan antara Kakek dengan Jendral Zheng Yi.”

Zhao Ji memapah Ziwei untuk berdiri. “Kau ini bicara apa?” ditatapnya mata Ziwei dalam-dalam. “Kau adalah cucuku. Perjodohan itu hanya pembicaraan antara aku dan Zheng Yi. Kau tak perlu melanjutkannya jika itu tak membuatmu bahagia.”

Terpana, Ziwei bergumam tak jelas menyebut kakeknya. Zhao Ji berkata lagi,

“Apapun yang terjadi, kau adalah cucuku. Jadi, baik atau buruk dirimu, aku pasti akan menerimamu. Sekarang, aku datang untuk menjemputmu. Mari, ikut denganku!” Zhao Ji mengulurkan tangan.

“Kemana Kakek akan membawaku?” tanya Ziwei ragu-ragu.

Zhao Ji lagi-lagi tersenyum. “Ke sebuah dunia yang indah setelah kehidupan.”

“Tapi, bagaimana dengan mereka?” Ziwei menengok ke belakang melihat Zhang Rui dan Yingying yang masih terlelap. “Aku akan merasa sedih jika harus berpisah dari mereka…”

“Jangan khawatir, mereka akan baik-baik saja. Toh kalian kelak akan bertemu juga. Jika telah tiba masanya, mereka akan menuju ke tempat yang sama dengan yang akan kau kunjungi sekarang.”

Ziwei meraih uluran tangan Zhao Ji. Seketika itu juga kakinya seolah melayang beberapa inci ke udara.

“Dunia yang indah itu seperti apa, Kakek? Aku agak takut karena belum pernah ke sana.”

“Sangat indah, Ziwei. Dan kau tak perlu takut sebab kakek bersamamu.”

***
Ziwei meninggal dalam tidurnya malam itu. Ketika Yingying dan Zhang Rui terbangun keesokan harinya, keduanya mendapati wajah Ziwei begitu tenang dengan seulas senyum tersungging di wajahnya.

Ziwei dimakamkan di pemakaman luar kota Luoyang. Yingying mengenakan pakaian berkabung putih-putih sebagai tanda bakti pada ibunya. Yingying juga menggantikan ibunya memimpin proyek melukis dinding perpustakaan istana.

Zhang Rui kembali ke sifat asalnya seperti sebelum bertemu Ziwei kembali. Dia jadi pemurung. Jauh lebih murung daripada sebelum bertemu Ziwei. Yingying merasa meski tak pandai berkata-kata, Ayahnya pasti amat terpukul karena telah ditinggal pergi oleh istri yang dicintainya.

***
Apakah ada pasangan yang saling memanggil di akhir hayatnya? Mungkin pasangan Zhang Rui-Ziwei bisa menjadi salah satunya.

Tiga bulan setelah kematian Ziwei, suatu hari Yingying dipanggil menjenguk Ayahnya yang terjatuh di pabrik senjata kerajaan.

“Cepatlah, Nona,” kata pelapor itu. “Ayahmu jatuh ketika memperbaiki tungku pembakaran yang tinggi. Tulangnya ada yang patah.”

Yingying tergesa-gesa meninggalkan pekerjaannya di perpustakaan istana dan menjumpai Zhang Rui. Zhang Rui tergolek lemah di pembaringan. Dia habis muntah darah. Ada luka dalam kata tabib. Kondisinya cukup parah. Tabib tak yakin kondisinya lekas membaik.

“Sepertinya aku akan segera menyusul ibumu, Yingying,” kata Zhang Rui dengan susah payah. “Baguslah. Aku tak perlu lama-lama berpisah darinya, bukan?”

“Apa yang Ayah bicarakan? Bagaimana aku jika ditinggal Ayah?” Yingying berkata panik.

Zhang Rui memaksakan diri tersenyum. “Kau lebih kuat dari ibumu, Yingying. Kau lebih mandiri, apa kau menyadarinya? Kau berani berkata ‘ya’ atau ‘tidak’ tanpa ragu. Kau tentu bisa tetap menjalani hidup walau tanpa aku.”

Yingying resah. Zhang Rui sempat tak sadarkan diri. Pada malam hari, ketika dia tersadar dari pingsannya, Zhang Rui berkata lagi pada Yingying.

“Jika aku mati…, kuburkan aku di samping ibumu. Tapi jangan lupa untuk menguburkan kami di Dusun Wei. Dulu aku seorang gelandangan yang bahkan sudah lupa di mana kampung halamannya. Biarlah Dusun Wei sekarang menjadi kampung halamanku dan aku beristirahat tenang di salah satu bagian tanahnya.”

“Kau juga, setelah selesai dengan proyek ibumu, kembalilah ke Dusun Wei dan menikahlah dengan Ma Junqing.”

Yingying terkejut. “Ayah…, aku tidak punya perasaan apa-apa terhadap Ma Junqing.”

“Oh, begitukah?” Zhang Rui tersenyum lemah. “Sayang sekali. Mungkin saja kelak dia akan menjadi suami yang tepat bagimu….”

Zhang Rui pingsan lagi. Dan kali ini menjadi tidur abadinya. Dia tak pernah bangun kembali. Kata-katanya mengenai Ma Junqing merupakan perkataan terakhirnya pada Yingying.

***
Zhang Rui dimakamkan di samping Ziwei.

Karena Yingying masih harus menyelesaikan pekerjaannya di perpustakaan istana, dia belum dapat mengurus jenazah orang tuanya untuk dimakamkan di Dusun Wei.

Proyek melukis pemandangan Gunung Qiu di istana selesai empat bulan setelah kematian Zhang Rui – atau satu setengah tahun setelah Yingying beserta kedua orang tuanya meninggalkan Dusun Wei.

Permaisuri Wu sangat puas dengan hasil karya Ziwei dan Yingying. Kini, perpustakaan istana berwajah baru. Setiap kali orang masuk ke sana, pasti serasa terlempar ke dalam atmosfir kebajikan kuno nana gung. Permaisuri Wu meresmikan perpustakaan berwajah baru itu dan memberi gelar kepada Ziwei. Dia juga memberi Yingying hadiah-hadiah. Tapi waktu itu bersamaan dengan meluapnya Sungai Kuning sehingga di beberapa desa yang dilalui sungai tersebut terkena bencana banjir bandang. Yingying menolak seluruh hadiah berupa materi dan meminta Permaisuri Wu agar menyumbangkan hadiahnya.

Sebagai pengganti atas jasa-jasanya, Ziwei meminta agar diijinkan berkabung bagi kedua orang tuanya dengan tinggal di dekat makam mereka. Adat pada masa itu, seorang anak harus tinggal di gubuk dekat makam orang tuanya untuk menjalankan ritual berkabung setiap hari. Permaisuri Wu mengabulkan-bahkan menetapkan beberapa pengawal khusus untuk menjaga Yingying.

Setelah tiga tahun berlalu, Yingying pun berusia dua puluh tahun. Menjelang masa akhir berkabungnya, Zheng Yun datang berkunjung ke gubuknya. Sikapnya sudah banyak berubah. Zheng Yun pernah sekali mengunjungi Ziwei sewaktu dia mengerjakan proyek perpustakaan istana. Tapi dia sudah tak seposesif dulu lagi. Melihat Ziwei yang sekarang, agaknya Zheng Yun menyadari kalau apapun yang dilakukannya tetap tak dapat membuat Ziwei kembali padanya.

“Sebentar lagi masa berkabungmu berakhir. Kau akan kemana sehabis dari sini, Yingying?” tanya Zheng Yun.

Yingying terdiam sejenak. Berpikir. Zheng Yun lanjut berkata lagi, “Putra tertuaku, Zheng Lan, dia setahun lebih muda darimu. Dia pernah berkata kalau dia mengagumimu. Seandainya kau bersedia, apakah kau setuju jika hubungan kalian diikat menjadi suami-istri? Lagipula, kau sendiri juga tahu. Antara aku dan ibumu dulu, kami terikat pertunangan sebelum itu dibatalkan. Tak ada salahnya jika kalian sebagai anak yang melanjutkannya.”

“Itu tidak akan kulakukan,” Yingying menolak. Suaranya lembut tapi tegas. “Aku dan Tuan Muda Lan tak akan bersanding. Kami juga tidak punya keharusan untuk menggantikan pertunangan masing-masing orang tua yang dulunya dibatalkan.”

“Oh, jadi kau telah memutuskan begitu. Baiklah,” ujar Zheng Yun dengan mencoba tetap tersenyum. “Lalu, apakah kau akan tinggal bersama Inspektur Pajak Zhao? Bagaimanapun, ibumu adalah saudara perempuan satu-satunya. Dia pasti tak akan membiarkanmu terlantar.”

“Aku tak akan merepotkan Paman,” sahut Yingying. “Aku akan pulang ke Dusun Wei.”

“Kembali ke Dusun Wei? Seorang diri? Tapi kau tak punya keluarga lagi di sana.”

“Tapi ada banyak orang yang mengenalku di sana. Anda jangan khawatir, Jendral.”

Zheng Yun sedikit curiga. “Apakah…, apakah ada seorang pemuda yang telah menunggumu di sana sehingga kau mau kembali?”

Yingying teringat Ma Junqing. Dia juga ingat kata-kata terakhir Zhang Rui mengenai Junqing.

“Bukan,” sangkalnya. “Tidak ada hal begitu. Dusun Wei adalah tempat yang nyaman ditinggali meski terpencil. Lagipula, Ayah dan Ibu memintaku menguburkan mereka di sana. Aku harus melaksanankan wasiat mereka.”

Zheng Yun kagum akan kepribadian Yingying. Dia gadis yang berpendirian teguh. Seandainya dulu dia dan Ziwei menikah, bisa jadi Yingying adalah putrinya. Tapi dia adalah putri Zhang Rui. Ini kenyataan yang tak mungkin dipungkiri lagi.

Zheng Yun menghela napas, tak ingin berdebat dengan Yingying. “Baiklah jika itu maumu, aku akan menyuruh orang menggali kembali kuburan kedua orang tuamu. Dan dua orang prajurit terlatihku untuk mengawalmu kembali ke Dusun Wei.

Yingying membungkukkan badannya. “Terima kasih,” ucapnya lirih.

***
Pada suatu hari menjelang musim gugur, tahun ke-7 pemerintahan Kaisar Zhongzhong dari Dinasti Tang.

Yingying memasuki Dusun Wei dengan kuda yang dituntun pengawal Zheng Yun. Dalam pelukannya terdapat dua buah kotak yang diikat kain putih. Kedua kotak itu berisi abu Zhang Rui dan Ziwei. Usai menggali makam orang tuanya, Yingying mengkremasi sisa jenazah mereka. Lalu memasukkan abunya ke dalam kotak dan membawanya pulang ke Dusun Wei.

Sewaktu memasuki gerbang, Tuan Cai, si kepala desa, mengenalinya.

“Yingying? Kaukah itu? Wah, kau sudah pergi berapa lama? Tiga tahun? Empat tahun? Kini kau sudah dewasa. Oya, mana kedua orang tuamu?”

Yingying tersenyum kepada Tuan Cai yang telah lama tak dilihatnya. “Mereka ada di sini,” ujarnya sambil mendekap kedua kotak terbungkus kain putih.

“Oh,” Tuan Cai tampak terkejut. “Aku, aku tak menduganya… Kapan mereka meninggal?”

“Empat tahun lalu,”jawab Yingying. “Aku telah melewatkan masa berkabung tiga tahun bagi mereka. Mereka memintaku untuk dimakamkan di desa ini. Maka selesai masa berkabung, aku memindahkan sisa abu mereka kemari.”

Tuan Cai mengangguk paham. Yingying kembali ke rumah lamanya yang dulu pernah dia huni bersama ayahnya selama enam belas tahun – dan juga ibunya, meski hanya beberapa bulan. Keluarga Ma menjaga dengan baik rumah itu. Tak terlalu banyak yang harus Yingying benahi meski rumah itu telah lama ditinggalkan.

Tuan Ma dan Tuan Cai - serta beberapa kenalan membantu Yingying mencari lokasi bagi pemakaman Zhang Rui dan Ziwei. Mereka bahu-membahu mulai dari menggali tanah hingga membuat nisan bagi makam tersebut.

Yingying memulai kehidupannya di Dusun Wei lagi. Karena Guru Qi sekarang sudah uzur dan sulit mengajar anak-anak desa untuk bersekolah, Yingying-lah yang menggantikannya.

Keluarga Ma masih sama baiknya dengan dulu. Nyonya Ma sangat senang karena Yingying telah kembali. Diam-diam dia berharap Yingying masih bisa menjadi menantunya. Ma Junqing masih belum menikah. Hanya saja, bertepatan saat Yingying pulang ke Dusun Wei, Junqing tengah ke Chang’an mengurus keperluan bisnis ayahnya.

Satu per satu teman masa kecil Yingying menikah. Tak terkecuali Chen Ajiao. Ajiao bahkan telah punya seorang putra berusia tiga tahun. Tinggal Yingying. Kalau ditilik dari usianya, dia telah menjadi perawan tua di jaman itu.

Belakangan Yingying semakin sering memikirkan Ma Junqing. Belum tentu ini cinta. Tapi Yingying ingin tahu, apakah Junqing masih memiliki perasaan yang sama padanya seperti yang dikatakannya empat tahun lalu?

Jika sore telah datang, Yingying berjalan-jalan menuju gerbang perbatasan desa. Dia menantikan kemunculan seseorang. Mungkin orang itu sudah berubah pikiran. Mungkin perasaan orang itu sudah tak meluap-luap lagi seperti dulu. Tapi, apapun itu, Yingying perlu tahu. Dia harus memastikan.

Lalu pada suatu sore, dari kejauhan muncul dua orang yang menunggangi keledai. Keledai keduanya berjalan lambat sekali. Matahari sore menyilaukan kedua orang itu. Tapi semakin dekat di gerbang desa, semakin jelaslah sosok keduanya.

Ma Junqing sedang berbincang dengan kepala rumah tangganya, Paman Jiang, yang telah puluhan tahun ikut keluarga Ma. Junqing sangat focus berbicara sehingga tidak memperhatikan Yingying yang berdiri di samping gerbang desa.

Paman Jiang-lah yang melihat Yingying terlebih dulu. Dia mengabaikan pembicaraan Junqing dan menyapa Yingying.

“Hei, Yingying! Kau sudah pulang? Sejak kapan?”

Yingying tersenyum. “Sudah sepuluh hari yang lalu.”

Ma Junqing segera berbalik melihat Yingying. Yingying tersenyum padanya. Junqing seolah sedang bermimpi. Paman Jiang menepuk pundaknya,

”Tuan Muda! Apakah kau sudah tidak mengenali Nona Zhang?”

“Bu… bukan…!” Junqing tergagap. Dia melompat turun dari keledainya. “Paman Jiang, berjalanlah lebih dulu. Bawa pulang keledaiku.”

Junqing mengoper tali kekang ke arah Paman Jiang lalu bergegas menghampiri Yingying. Paman Jiang tertawa maklum melihat tingkah Junqing lalu berjalan memasuki desa sambil membimbing dua ekor keledai.

Junqing sampai di hadapan Yingying dan mengamati gadis itu dari atas sampai ke bawah.

“Kau sudah kembali? Kau sudah pulang?” katanya seolah tak percaya.

“Ya,” Yingying mendadak merasa gugup dipandangi Junqing. Dia telah satu kepala lebih tinggi dari Yingying. Wajahnya memanjang dan tampan. Yingying mencari-cari keriangan kanak-kanak masih tersisa dalam diri Junqing. Tapi sepertinya hanya tersisa sedikit.

“Aku setiap waktu menunggu kepulanganmu. Rencananya, kalau kau belum pulang juga selepas tahun baru nanti, aku akan ke Luoyang buat mencarimu di istana.”

Ziwei tersenyum simpul mendengar penuturan Junqing.

Junqing lalu bertanya hati-hati, “Bagaimana, apakah kau sekarang sudah menyukaiku?”

Ziwei membekap mulutnya. Dia terbahak dengan keterus terangan Junqing. “Menurutmu, mengapa aku mau kembali ke Dusun Wei? Mengapa aku mau berjalan ke gerbang desa seperti ini untuk menantikan kehadiran seseorang yaitu kamu?”

Kebahagiaan merekah di wajah Junqing. Tak perlu kata-kata lebih jelas lagi agar Junqing tahu…

“Mari kita berdua berjalan masuk…,” ajak Yingying. Dia dan Junqing pun berjalan melewati gerbang desa. Keduanya berbicara hal-hal kecil. Hal-hal kecil yang mampu membahagiakan.

Selesai

Minggu, 23 Mei 2010

The Painter Lady (6): Kuil Awan Terang


Pahatan-pahatan naga masih melingkar di kedua pilar yang menyangga atap gerbang rumah keluarga Zheng.

Begitu pula dengan kedua patung singa batu duduk serta sepasang lukisan dewa penjaga gerbang. Semuanya masih berada di tempatnya – sama seperti ketika Ziwei pertama kali datang ke rumah itu sebagai calon mempelai Zheng Yun.

Ziwei ingat: naga-naga, kedua singa batu beserta lukisan dewa-dewa itu dulu begitu angker baginya. Kini, semuanya tampak lebih menyeramkan. Dikuasai perasaan bersalah, Ziwei merasa benda-benda mati itu bergerak. Cengkeraman naga-naga terlepas dari pilar dan mencakar wajahnya. Taring-taring singa batu yang semula bisu, menghunjam tulang bahunya. Dan sepasang dewa penjaga pintu itu menusuk senjata mereka ke dada Ziwei – tepat ke jantungnya!

Kaki Ziwei gemetaran melewati gerbang. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Dia berjuang keras untuk menghadapi orang-orang yang telah menunggunya di balik gerbang.

Ketika memasuki halaman rumah Zheng, Ziwei berharap akan lebih baik jika tanah yang dipijaknya terbelah lalu menelannya. Hampir seluruh anggota keluarga Zheng, terutama yang tidak ingin ditemui Ziwei ada di situ. Mereka lebih menakutkan bagi Ziwei ketimbang patung-patung beserta lukisan-lukisan di gerbang.

Nyonya Pertama Zheng, Ibu Zheng Yun, langsung membuang muka begitu melihat Ziwei. Dia lalu meninggalkan tempat itu tanpa berkata sepatah katapun.

Zheng Shao, kini telah menjadi Tuan Besar Zheng menggantikan ayahnya, Jendral Zheng Yue yang wafat setahun lalu. Dia menerima Ziwei kembali seperti sebuah beban dalam rumahnya. Wajahnya keruh. Dia juga tak bicara apa-apa, hanya mendesah - kemudian berlalu.

Tinggal Zheng Yun yang masih tinggal di tempat itu. Tapi dia tak memandang Ziwei. Kepalanya justru tertunduk ke bawah. Ziwei berharap-harap cemas. Menunggu. Kalau-kalau Zheng Yun mengatakan sesuatu.

Waktu terasa berjalan lambat sekali kala itu. Dalam suasana menyesakkan yang dirasakan Ziwei, tiba-tiba Zheng Yun pelan-pelan menghampirinya. Kali ini dia menatap Ziwei. Mata keduanya bertemu. Tapi Ziwei buru-buru menundukkan kepalanya seperti seorang pelayan yang telah mengkhianati majikannya. Zheng Yun mengulurkan tangan menyentuh lengan Ziwei. Ziwei menahan napas.

“Selamat datang kembali di rumah,” Zheng Yun berkata singkat. Dia melepaskan tangannya kembali lalu meninggalkan tempat tanpa sekalipun melihat ke arah Ziwei lagi.

Ziwei merasa pedih. Dari sikapnya, terbaca kalau Zheng Yun telah menolaknya.

***

Ziwei bisa merasakan kehadirannya di rumah Zheng tak lagi diharapkan seperti empat tahun sebelumnya. Orang-orang bersikap dingin. Bahkan Ziwei tak bisa mengelak dari cemoohan para pelayan yang bergosip di belakang punggungnya.

Nyonya Pertama Zheng mengunjungi Ziwei di kamarnya sehari setelah kepulangannya. Sikapnya tidak ramah seperti hari sebelumnya. Kalimat-kalimatnya menusuk dan menyakitkan.

“Bagaimana aku harus memanggilmu sekarang?” Nyonya Pertama Zheng bertanya sinis. “Apa kau masih menjadi Nona Zhao atau telah berubah menjadi Nyonya Zhang?”

Ziwei tak mampu menjawab. Kepalanya tertunduk.

“Kau bukan gadis suci lagi. Kau bahkan telah punya anak – maka kau tak pantas lagi dipanggil Nona. Tapi jika kau sekarang adalah Nyonya Zhang, kau juga tak pantas pulang kemari. Anehnya, kau masih berani punya muka bertemu kami. Jika kau masih punya rasa malu, kau seharusnya bunuh diri!”

“Ketika kau lenyap di gunung Qiu, kami sangat cemas. Kami berdoa bagi keselamatanmu. Saat kau tak kunjung muncul, kami pun mengira kau telah tewas. Jendral Tua begitu terpukul sehingga jatuh sakit dan meninggal. Tapi kenyataannya, kau lari bersama lelaki lain!”

“Kau tak tahu berterima kasih, Ziwei! Meski dijodohkan, almarhum Jendral Tua dan kakekmu memilih Zheng Yun untukmu-bukannya Zheng Xing yang cacat. Putraku sempurna. Dia tumpuan harapan keluarga Zheng kami. Dan dia memperlakukanmu amat baik. Pernahkah putraku menyakitimu?”

“Ketika kau dipanggil masuk istana oleh Permaisuri Wu, Zheng Yun bahkan rela menunggu selama tiga tahun. Zheng Yun kurang apalagi? Kau tak pernah peduli padanya. Kau bahkan tega mengkhianatinya! Apakah ini balasanmu terhadap kebaikannya?”

Ziwei merasa dadanya tertusuk. Setiap kata yang terlontar dari Nyonya Pertama Zheng ibarat palu yang memukul-mukul gendang telinga Ziwei.

Seandainya ada kesempatan, Ziwei akan memilih menghabisi nyawanya sendiri. Ini sudah dipikirkannya begitu usai mendengar keputusan Permaisuri Wu untuk memulangkannya ke kediaman Zheng. Tapi isi benaknya terbaca Permaisuri Wu. Dia memerintahkan sekelompok pengawal untuk mengawasi Ziwei sepanjang waktu. Permaisuri Wu juga mengancam pengawal-pengawal itu agar jangan sampai mereka lalai. Sehingga Ziwei berkesempatan melukai dirinya sendiri.

Di antara anggota keluarga Zheng, hanya Zheng Xing yang tidak ‘menghakimi’ Ziwei. Dia telah berusia dua puluh satu tahun dan bertubuh gemuk. Pincangnya semakin parah. Jika berjalan, Zheng Xing semakin kesulitan menyeret kakinya dan menarik tubuhnya yang gemuk.

“Aku tak akan bilang kau wanita jahat karena telah mengkhianati cinta kakakku, Nona Zhao. Aku juga tak mencapmu munafik. Apa hakku menghina orang lain sementara diriku sendiri bukan manusia sempurna?”

“Yang kusesali adalah jika kau tak bisa menjadi kakak iparku. Tak ada yang akan bersimpati padaku lagi selain kakakku nantinya. Aku rasa umurku tak akan panjang. Aku selalu merasa nyeri pada perut bawah sebelah kiri. Kata tabib, ginjalku bermasalah. Aku, anak cacat dan berpenyakitan di keluarga Zheng. Aku benar-benar tak bisa membanggakan Ayah-Ibuku, begitu juga leluhurku.”

Ziwei merasa trenyuh dengan perkataan Zheng Xing. “Aku tak tahu pasti apakah keluarga ini bangga atau tidak pada dirimu, Kakak Xing,” katanya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi satu hal yang mesti kau ketahui. Aku bangga karena pernah mengenalmu.”

***
Zheng Yun sama sekali tidak pernah menemui Ziwei. Keduanya tak pernah bicara sepatah kata lagi sejak hari pertama kembalinya Ziwei di rumah itu.

Ziwei pernah mencoba menemui Zheng Yun untuk bicara. Tapi pemuda itu menolaknya dengan berbagai alasan. Sikap acuh Zheng Yun ini semakin membuat Ziwei tertekan.

Mengetahui kehadirannya tak begitu disukai oleh anggota keluarga Zheng, Ziwei jadi lebih sering mengurung diri di kamarnya. Dia enggan keluar kamar. Bahkan makanan pun diantar ke kamarnya-meski dia sendiri tak berselera memakan apapun.

Sejak kepulangannya di rumah keluarga Zheng, nyaris setiap waktu dia didampingi dua pelayan wanita. Baik siang maupun malam. Kedua pelayan itu bahkan menginap di kamar Ziwei untuk menemaninya tidur meski menurut Ziwei itu tidak perlu.

“Ini perintah Tuan Muda Yun,” kata salah satu pelayan. “Kami diminta menemani Nona.”

Kedua pelayan itu memperhatikan segala kebutuhan Ziwei hingga ke hal-hal terkecil. Mereka juga melakukan nyaris segala sesuatunya buat Ziwei. Kadang-kadang, Ziwei merasa agak terganggu dengan kehadiran keduanya. Suatu hari, Ziwei meminta gunting karena hendak menggunting sehelai bajunya yang sobek. Salah satu pelayan dengan hati-hati membawa gunting ke hadapan Ziwei tapi tidak langsung menyerahkannya.

“Biar saya yang mengguntingnya, Nona.”

“Tak perlu. Biar kulakukan sendiri.”

“Nona tinggal tunjukkan bagian mana yang akan digunting lalu biar saya yang melakukannya,” pelayan itu bersikeras.

Ziwei merasa jengah. Diketuknya meja keras-keras. Dia mulai marah.

“Kenapa kalian tak membiarkanku melakukan hal-hal yang kumau sendiri? Kalian seperti sedang mengawasiku! Katakan, siapa yang menyuruh kalian melakukan semua ini? Apakah Permaisuri Wu yang mengutus kalian menyusup ke kediaman Zheng untuk memata-mataiku?”

Kedua pelayan wanita yang sesungguhnya bernyali kecil itu langsung ketakutan begitu dibentak Ziwei. Mereka menjatuhkan diri berlutut dan tergagap-gagap meracau.

“Bu... bukan Nona! Hanya Tuan Muda Yun yang meminta kami mengawasi Nona!” kata salah satu pelayan. Yang satunya menyambung,

“Tuan Muda Yun menyuruh kami mengawasi Nona agar jangan sampai terluka. Tuan Muda Yun khawatir Nona akan bunuh diri atau melukai diri sendiri jika memegang benda tajam dan jika ditinggal sendirian…”

Menganga, Ziwei mendengar penjelasan kedua pelayan itu dengan terkejut. Apa maksud Zheng Yun? Pria mengabaikannya tapi diam-diam masih peduli padanya? Sebenarnya apa yang diinginkan Zheng Yun darinya?

Kini Ziwei menyadari maksud sebenarnya dari Permaisuri Wu mengirimnya kembali ke rumah Zheng. Ini hukuman yang terlalu berat dan kejam. Mati bunuh diri akan lebih baik. Prosesnya tidak panjang dan berlangsung seketika. Tapi Permaisuri Wu tidak menganugerahkan kematian yang cepat bagi Ziwei. Ini jenis kematian yang amat menyiksa. Terombang-ambing antara terus hidup atau mati.

Tertekan dalam ketidak pastian ini dapat membuat Ziwei gila. Dan mati dalam keadaan gila benar-benar menakutkan. Kau tak sadar siapa dirimu menjelang akhir ajalmu. Ziwei ketakutan. Dia mulai menangis histeris.

Malam yang sepi, Ziwei sengaja tak menyalakan cahaya di kamarnya. Dia terduduk di lantai yang dingin sambil memeluk lutut. Kakinya telanjang tak bersepatu. Matanya menerawang.

“Ingatlah untuk terus hidup. Berusahalah untuk terus hidup!” suara Zhang Rui terngiang-ngiang.

Air mata kembali membasahi pelupuk mata Ziwei. Dalam kesunyian dan udara dingin malam itu, Ziwei jadi amat merindukan suami dan anaknya.

“Suamiku…, Yingying… Jika bukan karena kalian… aku pasti tak sanggup bertahan lagi…”
***
Status Ziwei tak jelas di keluarga Zheng. Dulu, yang diketahui orang-orang, dia ialah calon istri Zheng Yun. Tapi dengan kejadian Ziwei kawin lari bersama Zhang Rui bahkan telah memiliki seorang anak dari hubungan tersebut membuat keluarga Zheng setengah hati menerima Ziwei kembali sebagai calon menantu.

Zheng Yun juga tak menunjukkan tanda-tanda untuk memutuskan masalah pernikahannya. Sikapnya yang diam dan acuh terhadap Ziwei membuat ayahnya, Zheng Shao merasa perlu bertindak.

Maka pada suatu malam, Zheng Shao memanggil istrinya, Zheng Yun dan Ziwei. Berempat mereka bertemu di kamar Zheng Shao membicarakan masalah perjodohan Zheng Yun-Ziwei.

“Kalian semua tentu sudah tahu maksud pertemuan ini,” kata Zheng Shao. “Permaisuri Wu telah mengembalikan Ziwei ke rumah ini sesuai janjinya empat tahun lalu. Kini, aku bertanya padamu Zheng Yun, apakah kau masih ingin menikahi Ziwei? Dengan kondisi Ziwei sekarang, aku tak akan menyalahkanmu jika kau menolak perjodohan ini. Tapi kau perlu mengatakan kepada kami hal itu agar nasib Ziwei dapat diputuskan. Jika kau menolak menikah, kami akan mengembalikan Ziwei ke rumah orang tuanya.”

“Aku jelas tidak setuju dengan pernikahan ini!” Nyonya Pertama Zheng menyambung. “Ziwei sudah tidak pantas menjadi istri Zheng Yun lagi! Kita harus mencari calon mempelai baru bagi Zheng Yun!”

“Ibu…,” gumam Zheng Yun.

“Kalaupun kau masih menyukainya karena kecantikannya, kau bisa menjadikannya sebagai selir-bukan istri sahmu!” Nyonya Pertama Zheng menukas sembari memandang tajam pada Ziwei. “Wanita yang telah ternoda tidak akan diterima sebagai menantu keluarga ini lewat pernikahan resmi!”

“Aku menolak usul Ibu!” Zheng Yun berkata tegas. “Aku tetap akan menikahi Ziwei!”

“Apa?!” seru Nyonya Pertama Zheng. “Anakku, apakah kau kini telah sama bodohnya dengan adikmu?”

“Aku tidak bodoh,” sangkal Zheng Yun. “Aku akan tetap menjalankan perjodohan ini karena almarhum kedua kakek telah mengaturnya. Aku akan memenuhi keinginan mereka supaya aku dan Ziwei bersanding sebagai suami-istri.”

“Anakku, kau jangan menjebak dirimu sendiri dengan janji di masa lalu itu! Ziwei telah mengkhianatimu! Dia yang bersalah duluan! Perjodohan ini pantas dibatalkan! Baik mendiang kakekmu maupun Tuan Zhao Ji tak mungkin menyalahkanmu atas hal ini.”

Zheng Shao yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara. “Baiklah jika kau tetap ingin menikahi Ziwei. Itu artinya kau pria berjiwa besar. Tapi Ziwei patut mengijinkanmu mengambil selir setelah kalian menikah. Begitu baru adil.”

“Aku tak akan mengambil selir. Aku hanya akan menjadikan Ziwei sebagai satu-satunya istriku.”

Nyonya Zheng sangat marah mendengar perkataan Zheng Yun.

“Ayahmu dulu mengambil selir lagi karena aku tak mampu memberinya lebih banyak putra selain dirimu. Tapi wanita ini? Apa yang telah diberikannya padamu sehingga kau begitu tergila-gila? Oh, Tian!” Nyonya Pertama Zheng mengerang. “Mengapa putraku jadi selemah ini? Dia telah buta demi seorang wanita hina!”

Ziwei mendengar percakapan itu dalam kebisuan. Setiap kata-kata meresap ke dalam sukmanya tapi dia tak bereaksi sedikit pun. Terakhir Zheng Yun menutup percakapan malam itu dengan berkata,

“Demikianlah keputusanku. Ayah-Ibu telah mendengarnya. Silakan Ayah dan Ibu menetapkan tanggal pernikahannya. Segala persiapan pernikahan ini aku pun serahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu untuk diatur.”

Nyonya Pertama Zheng masih marah dengan keputusan Zheng Yun. Menggigit bibirnya, Nyonya Pertama Zheng mengepalkan tangan lalu memukul meja sewaktu Zheng Yun dan Ziwei keluar dari ruangan itu.

***
“Kakak Yun, kita berdua perlu bicara.”

Ziwei berkata kepada Zheng Yun ketika mereka keluar dari kamar Zheng Shao. Zheng Yun berhenti berjalan mendengar Ziwei. Dia berbalik, samar-samar tersenyum sambil berkata,

“Hari sudah larut. Kembalilah ke kamarmu untuk memulihkan kesehatanmu. Mulai besok kau akan sibuk mempersiapkan diri untuk pernikahan.”

“Kita perlu bicara sekarang!” Ziwei berkata tegas. “Kau harus mendengar kata-kataku! Kau jangan coba menunda atau menghindar lagi!”

Dengan frustasi Ziwei mendesak. Zheng Yun akhirnya merasa tidak tega. Dia memenuhi keinginan Ziwei untuk bicara berdua.

Zheng Yun dan Ziwei menuju kamar Zheng Yun. Hanya mereka berdua. Zheng Yun tidak memulai percakapan sehingga tercipta kesunyian cukup lama. Ziwei melihat sekeliling ruangan. Pandangannya terpatri pada layang-layang yang dilukisnya sewaktu berusia enam tahun. Ziwei menguatkan diri.
“Pernikahan ini tidak boleh dilaksanakan. Kita tidak boleh menikah.”

Zheng Yun terkejut. “Mengapa? Bukankah kau telah mendengar sendiri kalau aku bersedia menerimamu sebagai istri? Aku tak akan pernah mempermasalahkan kondisimu. Aku hanya berharap kau bisa melupakan pria itu dan anakmu. Lalu kita bisa memulai dari awal lagi.”

“Tak akan ada hubungan yang bisa mulai dari awal lagi di antara kita!” tukas Ziwei. “Ibumu benar. Aku wanita hina yang tidak pantas diterima di keluarga ini. Selain itu, jika kita tetap menikah, ini hanya akan menjadi perkawinan penuh toleransi-bukan cinta.”

“Kita akan saling mencurigai. Aku sangsi pada ketulusanmu dan kau pasti ragu apakah aku telah melupakan suami dan putriku. Kukatakan padamu Kakak Yun, aku memang tak akan pernah melupakan mereka. Aku mencintai Zhang Rui selamanya! Dan Yingying telah menjadi separuh dari bagian diriku. Aku tak akan membuang mereka hanya demi dirimu!”

Zheng Yun merasa sangat terpukul dengan pengakuan Ziwei. Alasan kenapa dia selalu menghindari Ziwei selama kepulangannya adalah dia tidak siap jika Ziwei berterus terang seperti ini. Zheng Yun takut mendengar Ziwei mengaku dia bersalah. Dan yang lebih buruk-adalah mendengar Ziwei mengatakan jika dia lebih mencintai seorang pria yatim-piatu-gelandangan ketimbang dirinya.

“Aku mencintaimu sejak pertama kali melihatmu, Ziwei,” Zheng Yun berkata dengan suara tercekat. Tangannya yang diletakkan di atas meja sedikit gemetar. “Saat pertama kali melihatmu melangkah masuk ke dalam kamar kakekku, saat itulah aku sadar-aku mau meletakkan masa depanku di dalam genggaman tanganmu.”

Zheng Yun memandang Ziwei. Ziwei segera menyadari kalau dia belum pernah dipandangi seperti itu oleh Zheng Yun. Pria itu tampak terluka. Tapi perkataan berikutnya harus tetap dilanjutkan Ziwei. Zheng Yun akan lebih sakit hati dari sekarang jika dia tetap menikahi Ziwei. Zheng Yun pasti lebih terluka di masa mendatang jika mereka benar-benar hidup dalam pernikahan yang dipenuhi kepura-puraan serta formalitas belaka.

“Biarkan aku menjadi biksuni,” Ziwei bergumam. Zheng Yun terkejut. “Aku juga sudah tak mungkin kembali ke rumah orang tuaku.” Lanjut Ziwei. “Aku lebih baik masuk biara dan memuja Buddha. Berdoa dan menyepi untuk merenungkan kesalahan-kesalahanku selama ini.”

“Jangan lakukan itu!” Zheng Yun memohon sambil menggenggam tangan Ziwei. “Apakah masuk biara lebih baik daripada menikah denganku? Aku menerimamu apa adanya Ziwei. Aku memaafkanmu. Aku berjanji tak akan mengungkit masa lalumu. Kumohon, berilah kesempatan bagi hubungan kita.”

Rasanya Ziwei hendak menangis. Dia telah bertindak kejam dengan menyakiti Zheng Yun. Pria itu malah bersedia memaafkannya. Apakah Zheng Yun seorang pria yang lemah? Tidak! Zheng Yun justru seorang pria yang baik. Teramat baik. Mengapa baru sekarang Ziwei menyadarinya? Ziwei tak mengerti. Sungguh tak mengerti.

“Biarkan aku masuk biara untuk menebus dosaku, Kakak Yun,” Ziwei berlutut memohon. “Inilah pilihan terbaik bagi kita berdua. Ijinkan aku memilih jalan ini untuk meringankan perasaan bersalahku padamu. Jika tidak, aku tak bisa tenang selama sisa hidupku-bahkan perasaan bersalah ini akan kubawa terus sampai mati.”

Zheng Yun pedih melihat Ziwei memohon. Dia mengulurkan tangan meminta Ziwei berdiri tapi wanita itu menolaknya. Ziwei tak akan berdiri sampai Zheng Yun mengabulkan permohonannya.

“Jika kau tak membiarkanku menjadi biksuni, maka ijinkanlah aku mati!” raung Ziwei.

Zheng Yun langsung memeluk erat Ziwei. “Aku tak akan membiarkanmu mati! Tidak akan!”

Ziwei menangis putus asa dalam pelukan Zheng Yun. “Baiklah,” kata Zheng Yun akhirnya dalam suara parau. “Baiklah. Kuijinkan kau masuk biara. Tetapi… ada syaratnya…”

Zheng Yun melepaskan pelukannya dan memandang Ziwei lekat-lekat. “Kau harus berjanji kalau kau akan tinggal di biara selamanya. Jangan kemana-mana. Terlebih kau jangan sampai pergi mencari suami dan putrimu kembali. Kau harus bersumpah tidak menemui mereka lagi!”

“Sebab aku tidak rela melihatmu bersama pria lain. Meski dihina siapapun sebagai lelaki tolol, aku tetap mencintaimu. Jika kau kembali bersama mereka, pengorbananku atas seluruh penghinaan itu akan sia-sia. Aku berikrar Ziwei, jika aku tahu kau kembali kepada mereka-aku akan buat perhitungan dengan pria yang telah merampasmu dariku itu! Aku tak segan-segan! Akan kuhabisi nyawa pria itu beserta putri kalian!”

Bahu Ziwei diguncang-guncang. Kalimat terakhir Zheng Yun diucapkannya dengan sungguh-sungguh. Penuh ancaman. Ziwei mencoba melihat jauh ke dalam sepasang mata itu. Ketakutan, terluka dan amarah telah membaur jadi satu dalam kedua bola mata yang semakin gelap. Ziwei menyentuh sepasang tangan Zheng Yun yang masih merengkuh wajahnya.

“Ya, aku berjanji…,” ucapnya lirih. “Aku berjanji tidak akan mencari Zhang Rui dan Yingying…”

Dalam hidupnya Ziwei ditakdirkan bertemu dua pria yang mencintainya. Satu memberinya kebebasan tanpa syarat sedang yang satunya menuntut pamrih.

Perlahan-lahan, Zheng Yun melepaskan tangannya dari Ziwei. Dia tak berkata apa-apa lagi. Ketika Ziwei melangkah keluar dari kamar, Zheng Yun tengah duduk membelakanginya. Yang tidak diketahui Ziwei, setelah dia menutup pintu, Zheng Yun menelungkupkan wajah pada kedua tangannya-terisak diam-diam.

***
Tiga hari kemudian, dalam balutan pakaian serba putih dan rambut setengah terurai, Ziwei siap menaiki tandu.

Tandu itu akan membawanya ke kuil Awan Terang di pinggir kota Chang’an. Tempat Ziwei menjalani kehidupan biaranya.

Hanya Zheng Yun-anggota keluarga Zheng yang melepas kepergiannya di gerbang. Keduanya telah saling mengembalikan barang bukti pertunangan. Ziwei telah mengembalikan leontin Zheng Yun. Dan Zheng Yun telah mengembalikan layangan Ziwei-yang kemudian dibakar oleh wanita itu. Secara harfiah, keduanya kini telah terbebas dari ikatan pertunangan mereka.

Tapi di tahun-tahun mendatang Zheng Yun masih juga terobsesi dengan Ziwei-yang telah berganti nama menjadi Biarawati Huiqing.. Dia selalu mengunjungi sang biarawati jika ada kesempatan. Orang-orang mengira dia dermawan murah hati-karena setiap kali ke kuil Awan Terang, Zheng Yun pasti menyumbang besar-besaran.

Yang tak diketahui orang-orang itu, tujuan sebenarnya Zheng Yun mengunjungi kuil itu hanya untuk mengecek: bahwa mantan tunangannya tidak melarikan diri lagi!

***
Lima Belas Tahun Kemudian di kuil Awan Terang.

Pertemuan tak terduga antara suami-istri-anak terjadi di sebuah pondok bambu bagian belakang kuil. Sang istri berdiri pucat seperti melihat hantu. Sang suami tengah menunggu penjelasan. Si anak tengah menelaah fragmen yang sementara terjadi.

“Rupanya kau masih hidup, Ziwei. Mengapa kau mengasingkan diri di sini dan melupakan kami?”

Biarawati Huiqing, alias Zhao Ziwei, tak kuasa mendengar pertanyaan Zhang Rui yang seolah menuduhnya.

“Aku tak melupakan kalian. Aku tak pernah melupakan kalian!” Ziwei menjawab terbata-bata. “Tapi aku tak bisa mencari kalian! Aku tak bisa menemui kalian lagi!”

“Kenapa?!” tuntut Zhang Rui. Dia maju hendak menyentuh Ziwei tapi Ziwei buru-buru menghindar.

Ziwei menggeleng-gelengkan kepala. Dia teringat janjinya pada Zheng Yun. “Aku tak bisa mengatakan alasannya pada kalian. Tidak bisa!”

Yingying spontan maju berlutut dan memeluk erat kaki Ziwei.

“Ibu! Ayah tak pernah jelas mengatakan kau berada di mana. Dia juga tak pernah bilang kalau kau sudah wafat. Jadi, aku selalu berharap kau tetap hidup sehingga aku masih bisa menemuimu! Kini impianku itu telah terkabul!”

Ziwei menatap wajah Yingying yang telah dikenalnya selama tujuh hari sebagai murid lukisnya. Kenapa dia tak menyadari kalau gadis itu-seperti yang diramalkan Kasim Wang lima belas tahun lalu? Gadis itu meyerupainya-kecuali sepasang mata sipit yang terwarisi dari ayahnya.

“Bukankah sudah kukatakan kalau kau harus mengatakan aku sudah mati kepada anak kita?” tanya Ziwei kepada Zhang Rui. “Agar dia tak bertanya-tanya lebih banyak tentang aku.”

“Bagaimana aku bisa menyampaikan kebohongan pada Yingying?” tukas Zhang Rui. “Bukankah kau dulu memintaku mendidiknya menjadi baik? Bagaimana aku bisa mendidiknya menjadi baik jika aku berdusta padanya?”

Sambil menangis, Yingying terus memeluk erat kaki Ziwei. “Ayah benar tak berkata begitu padaku. Ibu, kini kami telah mendapatkanmu. Kumohon, kembalilah bersama kami!”

“Aku tak bisa!” tolak Ziwei. Dia melepaskan pelukan Yingying dengan kasar hingga gadis itu tersungkur. “Kau tahu apa soal diriku? Kalian mana tahu kalau aku di sini untuk menjalani hukuman?”

Yinying terisak. Tapi dia tak menyerah. “Sebenarnya dosa apa yang pernah Ibu lakukan? Hukuman apa yang mesti Ibu jalani? Katakan padaku! Aku akan mewakilimu menjalani hukuman itu…”

Yingying melirik kepala biara yang tadi membawa mereka ke pondok bambu. Dia merangkak ke arahnya.

“Biksuni, katakan hukuman apa yang dijalani Ibu hingga dia dikurung di sini? Aku akan turut melaksanakannya! Apakah dengan membaca sutra Budha seumur hidup? Apakah dengan menjadi biarawati? Aku siap menjadi biarawati di sini jika itu dapat membebaskannya dari hukuman!”

“Yingying!” Zhang Rui dan Ziwei berseru bersamaan. Yingying bersujud berulang kali seperti orang kesurupan di hadapan kepala biara. Dahinya terantuk beberapa kali di lantai. Nyonya Ma yang tidak tahan melihatnya akhirnya menarik Yingying.
“Hentikan Yingying! Kepalamu bisa luka jika kau begitu terus!” seru Nyonya Ma. Dia mendekap dan mengelus Yingying yang masih menangis.

Ziwei terhuyung ke belakang. Peristiwa semacam ini tak pernah dibayangkannya sama sekali!

***

Malam yang telah turun membuat suasana temaram di sekeliling pondok bambu.

Kepala biara mendatangi Ziwei yang seharian itu termenung di biliknya. Kepala biara menyingkap sedikit jendela pondok, mengintip keluar. Yingying dan Zhang Rui masih di luar. Sudah seharian mereka di sana. Yingying berlutut, tak pernah beranjak dari tempatnya selangkah pun.

“Putrimu itu telah seharian dalam kondisi begitu. Anak yang baik. Tidakkah kau kasihan padanya, Biarawati Huiqing?”

Ziwei tak bergeming di tempat duduknya. Tapi dia meresapi kata-kata kepala biara. Dia teringat saat usai melahirkan bayinya. Zhang Rui takut menggendongnya. Zhang Rui meminta Ziwei memilih nama yang gampang ditulis olehnya kelak, dan Ziwei memilih nama Yingying.

Ziwei berpisah dengan Yingying ketika bayinya itu baru berumur dua minggu. Dan setelah lima belas tahun mereka baru bertemu kembali. Yingying telah menjelma menjadi gadis cantik dan baik hati. Zhang Rui berhasil mendidiknya. Dan Ziwei bersedih karena telah kehilangan lima belas tahun kehidupan putrinya.

“Biarawati Huiqing, kembalilah kepada suami dan putrimu,” ujar kepala biara. Ziwei menatap ke arahnya.

“Kau tahu kenapa hingga kini aku belum menerimamu sebagai biksuni dan mencukur rambutmu? Karena aku tahu, meski kau telah lima belas tahun tinggal di sini, menjadi vegetarian dan membaca sutra Buddha ratusan ribu kali - kau masih terkunci oleh masa lalumu.”

“Kau kemari karena kau ingin lari dari pernikahanmu dengan Jendral Zheng. Kau menghukum dirimu sendiri disini, disamping masih memikirkan suami dan anakmu. Aku tidak pernah mau menasbihkan seorang biksuni yang masih belum bisa terlepas dari keterikatannya. Maka itu aku hanya membiarkanmu tinggal di sini sebagai wanita bukan perumah tangga yang ingin menyepi.”

Ziwei hendak melakukan usul kepala biara. Dia ingin segera keluar dari pondok bambu, berlari memeluk Yingying serta Zhang Rui. Nasib Ziwei lebih malang daripada Bidadari Penenun. Dalam legenda kuno, Bidadari Penenun masih bisa bertemu anak dan suaminya setahun sekali dalam bentuk bintang Altair dan Vega. Sedangkan Ziwei harus menunggu lima belas tahun lamanya.

Ziwei teringat kata-kata Zheng Yun lagi, “Aku berikrar, jika aku tahu kau kembali kepada mereka-akan kuhabisi nyawa pria itu beserta putri kalian!” Kata-kata itu membuat Ziwei takut. Membuatnya tak berani melaksanakan keinginannya.

”Sudah lima belas tahun berlalu,” ujar kepala biara lembut. “Jendral Zheng juga sudah punya keluarga sendiri. Dulu dia mungkin pernah mengucapkan kata-kata mengerikan karena waktu dikuasai emosi. Sekarang, tentunya dia telah berubah. Sekian tahun berlalu, dia pasti bisa melihat situasi ini lebih bijak.”

“Ada orang yang berbahagia dengan menjadi biarawan atau biksuni. Tapi ada juga orang yang lebih berbahagia menjalani hidup berumah tangga. Jalan kebahagiaan di dunia bermacam-macam. Sekarang ini, kau tak cocok lagi dengan kehidupan biara, Nona Zhao. Kembalilah pada kehidupan berumah tanggamu dan kau pasti lebih berbahagia daripada sekarang.”

Ziwei seolah terbius dengan kata-kata kepala biara. Mendadak semua beban di dadanya terangkat. Dan dia akhirnya tersenyum.

***
Ziwei melangkah keluar dari pondok bambunya menghampiri Yingying dan Zhang Rui perlahan-lahan.

Punggung Yingying menegak melihat kemunculan ibunya. Apakah…, apakah ibunya telah memutuskan…?

“Ibu,” panggil Yingying. Cukup satu panggilan itu meluruhkan pertahanan terakhir Ziwei. Ziwei menyongsong putrinya, mencercahinya dengan kecupan-kecupan sayang lalu memeluknya.

Tak ada hukuman atau penantian lagi. Ibu dan putri berpelukan. Zhang Rui mendekap kedua wanita yang dikasihinya itu. Seperti pada malam lima belas tahun lalu ketika mereka lari dari kejaran Kasim Wang di padang ilalang.

***
Dua bulan kemudian…

Pada hari Qing Ming tahun itu, Zheng Yun mengunjungi makam leluhurnya di luar kota Chang’an seperti yang rutin dilakukannya pada tahun-tahun sebelumnya.

Zheng Yun mengajak istri dan kedua putranya, Zheng Lan dan Zheng Yu. Mereka menziarahi makam para tetua lebih dahulu baru yang terakhir makam Zheng Xing, adik tiri Zheng Yun.

Zheng Xing meninggal di usia dua puluh lima. Seperti yang sudah diramalkannya, umurnya tak akan panjang. Di penghujung hidupnya, ginjalnya yang rusak tak sanggup membuatnya bertahan lebih lama lagi.

Zheng Xing tidak pernah menikah. Zheng Yun yang mengasihinya lalu memberikan putra sulungnya, Lan, sebagai anak angkat Zheng Xing. Kelak anak maupun cucu Lan akan dianggap sebagai keturunan Zheng Xing.

Setahun setelah Ziwei masuk kuil Awan Terang, Zheng Yun menikah dengan seorang gadis muda dari keluarga terpandang. Orang tuanya tak salah memilihkan gadis itu karena dia tak kalah cantiknya dari Ziwei. Dia hanya tak bisa melukis seperti Ziwei.

Namun istrinya ini tak bisa menerima adik tiri suaminya bagian dari keluarga Zheng. Istri Zheng Yun hanya menganggap Zheng Xing yang bodoh dan cacat sebagai borok dalam keluarga. Dia juga tidak setuju ketika Zheng Yun memberikan putra tertua mereka, Lan, diangkat anak oleh Zheng Xing. Zheng Yun tahu-tapi mengabaikan protesnya.

Usai melaksanakan ritual Qing Ming, Zheng Yun dan keluarganya bersiap meninggalkan pemakaman. Sebelum naik ke kudanya, Zheng Yun berkata pada kedua putranya,

“Lan, Yu, kalian temani Ibu kalian pulang ke rumah. Ayah mau mengunjungi kuil Awan Terang dulu.”

Kedua putranya menyanggupi. Zheng Yun melihat sekilas ke wajah istrinya yang dingin. Pasti mengunjungi biarawati itu, batin Nyonya Zheng.

Meski telah menjadi suami-istri belasan tahun, Nyonya Zheng tetap tak dapat memenangkan hati suaminya. Dia selalu dilanda kecemburuan setiap kali mendapati Zheng Yun lama tepekur di paviliun kakeknya-memandangi lukisan bunga persik karya cinta pertamanya.

Awalnya Nyonya Zheng merasa amat bahagia karena menikahi pria seperti Zheng Yun. Dia tampan, cerdas dan berkarir cemerlang. Tapi kebahagiaannya mulai terusik tatkala mendengar desas-desus tentang mantan tunangan suaminya itu.

Kala itu, Nyonya Zheng masih bisa menghibur diri kalau dia pasti lebih baik dari kekasih pertama suaminya. Suatu hari, Zheng Yun mengajaknya menemui sang biarawati. Karena penasaran, Nyonya Zheng setuju.

Istri Zheng Yun sangat shock begitu melihat sang biarawati. Meski berpenampilan sederhana dalam pakaian biaranya, Huiqing masih sanggup menarik perhatian Zheng Yun. Nyonya Zheng terpukul melihat cara suaminya memandang dan bicara kepada Biarawati Huiqing. Itu adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir. Sejak itu, Nyonya Zheng selalu menolak jika diajak menemui sang biarawati.

***
Zheng Yun membakar dupa dan kertas persembahan di kuil Awan Terang. Usai bersembahyang, seperti yang sudah sering dilakukannya, Zheng Yun masuk ke bagian dalam kuil menuju pondok bambu kediaman Biarawati Huiqing.

Tapi sesampainya di sana, Zheng Yun terkejut ketika melihat pondok bambu yang biasanya sepi telah berubah fungsi. Sekelompok biarawati dan biksuni duduk di dalam. Mereka sedang berdiskusi. Kepala biara duduk agak atas dan paling depan memimpin jalannya diskusi.

Diskusi terhenti sewaktu Zheng Yun masuk. Para biarawati dan biksuni melihat ke arah pria bertubuh jangkung yang kebingungan itu. Zheng Yun mencari-cari sosok Huiqing tapi tak ditemukannya. Dia menghampiri kepala biara.

“Dimana Biarawati Huiqing? Kenapa aku tidak melihatnya di sini?”

Kepala biarawati terdiam sejenak. Lalu dia menjawab, “Biarawati Huiqing sudah tak berada di biara ini lagi.”

“Apa?”

“Dia telah kembali bernama Zhao Ziwei dan menjalani kehidupan umat biasa.”

Zheng Yun amat terkejut sampai terhuyung. “Bagaimana bisa… dia pergi dari sini?” tanyanya seperti orang linglung. “Jangan katakan… kalau dia mencari mereka. Kepala biara, jangan katakan kalau dia telah menemukan mereka!”

“Biarawati Huiqing tidak pernah mencari suami dan putrinya,” kata kepala biara kalem. “Merekalah yang telah menemukan biarawati Huiqing.” Kepala biara menatap langsung ke dalam mata Zheng Yun, “Ini adalah takdir Jendral. Jalinan hubungan mereka begitu kuat. Sekalipun mereka berusaha dipisahkan, jalinan itu akan mempertemukan mereka kembali. Hanya soal waktu. Kau seharusnya telah merelakannya.”

Kata-kata kepala biara seperti ejekan bagi Zheng Yun. Amarah dengan cepat menguasai sang jendral hingga dia menghunuskan pedangnya dan mengarahkannya ke leher kepala biara.

Seluruh biarawati dan biksuni yang hadir di situ memekik. Kepala biara mengangkat tangan meminta mereka untuk tidak khawatir. Di bawah todongan pedang, sikap kepala biara masih bisa begitu tenang.

“Jangan mengajariku caraku bersikap, Biksuni!” geram Zheng Yun. “Kau tak pernah merasakan sakit hati dicampakkan orang yang kau cintai! Kau juga tidak tahu bagaimana rasanya dihina oleh kolegamu-yang tahu tunanganmu meninggalkanmu demi seorang gelandangan!”

“Amitabha…,” gumam kepala biara. “Semua orang pasti akan berpisah dengan hal-hal yang dia cintai. Kau seorang Jendral yang telah mengikuti banyak peperangan dalam hidupmu. Kau telah menaklukkan puluhan ribu orang. Tapi sayang, kau justru tak dapat menaklukkan dirimu sendiri…”

Mata Zheng Yun berkilat seperti pedangnya. Dia menekan pedangnya hingga menyentuh leher kepala biara. Para biarawati dan biksuni kembali berseru.

“Aku telah mendermakan banyak hartaku kemari, Biksuni. Dengan harapan agar kau menjaga Biarawati Huiqing. Aku sudah pernah berpesan padamu, jangan sampai dia keluar dari tempat ini,” Zheng Yun setengah berbisik. “Sekarang, katakan kemana mereka pergi, Biksuni!”

Kepala Biara memejamkan mata dan dengan tenang berujar, “Aku tak akan pernah mengatakan kemana mereka pergi.”

Zheng Yun menyeringai. Dia menarik pedangnya dan menyarungkannya kembali.

“Sepertinya kau tak akan bicara sekalipun kuancam, Biksuni,” seloroh Zheng Yun. “Dan membunuhmu di depan banyak orang hanya akan mencemarkan nama baikku. Baiklah kalau kau tak mau memberitahuku. Tapi bukan berarti aku tidak akan menemukan cara untuk memperoleh informasi keberadaan mereka. Aku bersumpah, kemanapun mereka pergi pasti akan kutemukan!”

Dengan berapi-api, Zheng Yun meninggalkan pondok bambu.

***
Di Dusun Wei, Ziwei hidup tenang bersama putri dan suaminya.

Mulanya, penduduk desa terkejut mendengar pandai besi Zhang telah menemukan istrinya kembali. Tetangga mereka, keluarga Ma-yang paling pertama tahu soal ini, bersikap bijak dengan tidak sembarangan menyebarkan desas-desus. Akhinrnya, Zhang Rui sendirilah yang memberi keterangan kepada warga desa.

“Tidak lama setelah Yingying lahir, desa tempat kami tinggal terkena bencana banjir bandang. Aku dan Yingying akhirnya terpisah dari istriku. Tidak disangka, lima belas tahun kemudian kami bertemu kembali. Istriku rupanya tinggal di sebuah biara karena tidak tahu harus kemana mencari kami.”

Penduduk Dusun Wei menerima cerita tersebut. Mereka mengucapkan selamat kepada Zhang Rui dan Yingying karena telah berkumpul lagi bersama istri serta ibu mereka. Para warga juga menyambut kedatangan Ziwei dengan baik. Dari mereka, Ziwei jadi tahu kehidupan Zhang Rui dan Yingying lima belas tahun tanpa kehadirannya.

Meski rumah di Dusun Wei kecil dan amat sederhana, tapi karena telah terbiasa hidup sepi di podok bambu biara, Ziwei mampu menyesuaikan diri. Beberapa kebiasaan biara tetap dilakukannya seperti vegetarian dan membaca sutra Buddhis di waktu pagi dan sore.

Ziwei mulai membiasakan diri dengan kehidupan berkeluarga yang dulu tidak sempat dikecapnya. Punya rumah kecil, suami yang penuh kasih serta seorang putri yang layak dicintai. Hubungannya dengan Yingying terbangun cukup cepat dan akrab. Adakalanya, saat Yingying bicara dan lupa kata-kata selanjutnya, Ziwei-lah yang menyelesaikan perkataannya. Bagi Zhang Rui, itu sudah cukup membuktikan kalau ikatan batin ibu dan anak di antara keduanya cukup kuat meski telah lima belas tahun terpisah.

Ziwei sering berjalan berdua bersama Yingying mengunjungi bukit-bukit berpemandangan indah untuk melukis. Ziwei memuji pemandangan Dusun Wei. Dia senang karena Zhang Rui memilih tempat yang tepat untuk tinggal dan membesarkan Yingying.

Yingying juga senang melihat ayah dan ibunya berkumpul kembali.Yingying kini melihat sendiri kalau ayahnya sangat mencintai ibunya. Zhang Rui semakin sering tersenyum sekarang. Senyuman itu melembutkan garis-garis wajahnya dan membuatnya terlihat lebih muda. Ah, ayah-ibunya memang masih muda. Yingying bahagia melihat keduanya ibarat sepasang kekasih baru lagi.

Suatu siang, Zhang Rui dan Ziwei pergi berjalan-jalan menjelajahi bukit. Kali ini, Yingying yang ditinggal di rumah. Dia sedang di halaman belakang-memilah-milah kacang kedelai untuk dibuat tahu. Si anak tetangga, Ma Junqing, tiba-tiba muncul. Dia melompati pagar bambu setinggi pinggang orang dewasa dan bergegas menghampiri Yingying.

“Hei, Junqing! Belakangan ini aku jarang melihatmu,” sapa Yingying.

“Akulah yang jarang melihatmu,” tukas Junqing. “Spanjang waktu kau selalu bersama ibumu sehingga melupakan aku.”

Ada nada cemburu dalam suara Junqing. Yingying tersenyum. “Kita kan sudah selalu bertemu selama belasan tahun, sedangkan aku baru saja bertemu ibuku. Tentu saja aku akan menghabiskan waktu paling banyak dengannya.”

Lalu Yingying berkata asal lalu, “Aku tak mau kehilangan ibu lagi. Aku bahkan mau menemaninya selamanya.”

“Apa? Selamanya?” seru Junqing. “Itu tidak mungkin! Kau akan menikah kelak. Bagaimana mungkin kau bisa bersama ibumu seterusnya?”

“Kalau begitu, aku tak menikah saja!”

“Hah? Kau jangan sembarang bicara!” Junqing terlompat berdiri. “Kalau kau tak menikah, kau akan… kau akan…”

“Akan apa?” tanya Yingying heran melihat reaksi Junqing.

“Kau akan menjadi makhluk cantik yang sia-sia!”

Yingying menganga. Junqing segera menyambung, “Dan akan ada seseorang merana karena itu!”

Kening Yingying berkerut. “Kau jangan memprotes tentang pernikahanku. Lalu bagaimana dengan Chen Ajiao? Bukankah dulu kau pernah bilang akan menikahinya ketika dewasa?”

Junqing tercekat. Tanpa melihat Junqing, Yingying melanjutkan, “Kudengar sudah ada satu-dua pemuda yang melamar Ajiao. Tapi dia menolak. Mungkin dia mengharapkan kedatanganmu. Sebaiknya, kau segera meminta ibumu untuk melamarnya. Jangan membuatnya menunggu terlalu lama, nanti keburu ada calon lain yang lebih potensial menggaetnya.”

Junqing gemas mendengar perkataan Yingying. ”Duh, kau ini! Apakah kau memang tidak tahu atau pura-pura tidak tahu?”

“Apa?” Yingying kembali tidak mengerti. Hidung Junqing kembang-kempis karena kesal.

“Sebenarnya, aku…”

Perkataan Junqing terpotong karena ada seseorang yang memanggil di depan bengkel.

“Pandai Besi Zhang, apakah kau ada di rumah?”

Yingying menoleh ke arah datangnya suara. “Sepertinya itu Tuan Cai si kepala desa. Aku harus menemuinya.”

Junqing menghentakkan kaki karena perkataannya terputus oleh teriakan tersebut. Dia mengikuti Yingying masuk ke dalam rumah. Keduanya menuju bagian depan bengkel Zhang Rui.

Memang betul Tuan Cai yang datang. Bersamanya ada seorang lelaki tinggi besar. Dia berdiri di samping Tuan Cai membelakangi Yingying dan Junqing. Pakaiannya terlihat bagus. Tangan kanannya menggenggam gagang pedang yang tersarung di pinggang.

“Ayah sedang pergi bersama ibu. Ada apa anda mencarinya, Tuan Cai?” tanya Yingying pada kepala desa.

Tuan Cai yang berumur enam puluhan dan rambut putih itu berkata dengan ramah, “Tuan Besar ini hendak bertemu dengan ayahmu.”
Yingying melihat ke lelaki tersebut. Pria itu berbalik ketika diperkenalkan Tuan Cai. Dan sejurus kemudian, Yingying terkejut.

Pria ini adalah jendral yang dilihat Yingying mengunjungi pondok bambu sewaktu ibunya masih berstatus sebagai Biarawati Huiqing!

Zheng Yun menatap Yingying dengan dingin. “Sebenarnya bukan hanya ayahmu yang ingin kutemui. Tapi juga kau dan ibumu!”

Bersambung

Senin, 03 Mei 2010

The Painter Lady (5): Dalam Pelarian


Musim Panas

Pada festival perahu naga tanggal lima bulan lima, sepasang suami-istri mengunjungi kuil usai melihat perlombaan perahu.

Mereka masih sangat muda. Si suami mungkin baru awal dua puluhan sementara istrinya barangkali masih enam belas tahun. Si suami bertubuh jangkung, berwajah bersih dengan rambut terikat rapi. Si istri sangat cantik – kecantikannya tak dapat disembunyikan oleh pakaian katunnya yang sederhana sehingga beberapa pengunjung kuil yang lain tak kuasa meliriknya.

Si suami tampak perhatian kepada istrinya. Dia mendengar istrinya bicara sambil mendekatkan wajahnya. Dia juga menggenggam tangan istrinya. Benar-benar pasangan yang mesra dan bahagia.

Zhang Rui dan Ziwei menikah dengan hanya disaksikan langit dan bumi. Sangat sederhana. Pernikahan Ziwei pastinya akan jauh lebih megah jika yang dia nikahi adalah Zheng Yun. Masalahnya, Ziwei telah memilih jalan yang ditawarkan Zhang Rui. Dan dia tidak pernah menyesalinya.

Konsekuensinya, mereka sekarang hidup dalam pelarian. Ziwei memutuskan tidak kembali ke istana karena seperti yang Zhang Rui katakana, takdirnya semestinya tidak ditentukan siapapun termasuk oleh Permaisuri Wu.

“Mari kita membeli dupa dan kertas persembahan untuk merayakan pernikahan kita barusan,” kata Zhang Rui ketika dia dan Ziwei berjalan di halaman kuil.

Ziwei mengangguk setuju. Zhang Rui lalu pergi ke tempat penjualan dupa dan kertas persembahan sementara Ziwei menunggunya di pintu masuk aula.

Seorang peramal yang biasa berpraktek dekat tempat penjualan dupa sejak tadi mengamati sepasang suami-istri itu. Ketika Zhang Rui datang membeli dupa, peramal itu menghampirinya dan bertanya,

“Wanita di depan pintu masuk itu – apakah istrimu?”

“Ya. Dia istriku,” jawab Zhang Rui bangga.

Peramal berjubah Tao itu mengelus janggutnya sambil manggut-manggut. “Hm, rupa Nyonya itu begitu agung. Tapi kenapa dia bisa menikah denganmu?”

“Maksud anda?” Zhang Rui mengernyitkan kening.

“Nyonya itu ditakdirkan menjadi istri seorang pangeran atau pejabat tinggi. Dan terus terang kau sedikitpun tak memiliki aura bangsawan, Tuan.”

Alih-alih merasa tersinggung, Zhang Rui justru mencibir peramal itu. “Tidak seorang pun bisa menentukan takdir orang lain! Takdir itu muncul akibat hal-hal yang mereka pilih sendiri. Wanita itu telah menikah denganku – yang meski bukan bangsawan, tapi membuatnya bahagia. Apakah menurutmu ada yang lebih penting daripada itu?”

Peramal itu menggeleng-geleng. “Kebersamaan kalian akan sangat singkat. Aku melihat luapan air mata dan perpisahan. Kerinduan yang menyakitkan serta penantian yang tak bertepi.”

Zhang Rui mendengar perkataan si peramal seperti kutukan bagi pernikahannya.

“Omong kosong!” tampik Zhang Rui. “Aku dan istriku akan baik-baik saja dan kami akan bersama selamanya…”

***
Musim Gugur

Di istana yang megah di Luoyang, Permaisuri Wu duduk di depan meja di ruang kerja pribadinya.

Lempengan emas tanda pengenal wanita istana tergolek di hadapannya. Pada lempengan emas itu terukir nama Zhao Ziwei. Permaisuri Wu sedari tadi telah menatap lempengan emas itu.

Pemberontakan Ikat Kepala Kuning di Gunung Qiu telah berhasil dipadamkan. Beberapa di antara anggotanya mungkin berhasil lolos dan melarikan diri jauh ke selatan. Akan tetapi jumlah mereka tidak seberapa dan tidak mungkin bisa menggalang kekuatan kembali dalam waktu singkat.

Sewaktu markas para pemberontak itu digeledah oleh tentara, mereka menemukan lempengan emas Pelukis Wanita Zhao di antara barang-barang jarahan. Para pemberontak yang masih hidup diinterogasi tentang Ziwei. Dua-tiga orang di antaranya merupakan pria-pria yang ikut menyergap Zhang Rui dan Ziwei di celah sempit itu.

“Wanita yang menyamar sebagai pria itu – bersama pria yang seperti pengawalnya berhasil lolos dari kepungan kami. Mereka lari dan di sebuah tebing, mereka meloncat ke dalam sungai.”

“Kami tidak melihat keduanya muncul di permukaan lagi. Mungkin mereka terseret arus. Kami rasa, keduanya tidak akan keluar hidup-hidup dari sungai itu.”

Jika Ziwei dan Zhang Rui tewas, maka jenazah keduanya pasti muncul di permukaan. Permaisuri Wu memerintahkan para penyidik kerajaan untuk menyisir daerah sekitar sungai tempat Ziwei jatuh. Jika ada penduduk yang menemukan jenazah mereka maka harus diketahui dimana lokasi kuburan keduanya.

Namun hasil penyisiran itu nihil. Tak seorang penduduk pun pernah melihat jenazah dua orang mengambang di sungai. Yang ada, seorang istri pembuat cermin perunggu mengaku pernah menerima tamu dua orang pria menginap di bengkelnya. Ketika ditanya lebih lanjut, Nyonya itu merasa kalau salah satu pria itu adalah wanita yang menyamar jadi pria.

Berita menghilangnya Ziwei merupakan pukulan yang amat berat bagi keluarga Zheng. Zheng Yi langsung jatuh sakit usai mendengar berita itu. Zheng Yun telah kembali dari Korea dengan harapan besar bisa langsung menikahi tunangannya setelah menunggu sekian tahun. Tapi dia juga sangat shock mendengar Ziwei menghilang.

Permaisuri Wu harus datang sendiri ke kediaman Zheng untuk minta maaf karena tidak bisa mengembalikan calon menantu mereka sesuai janjinya tiga tahun lalu. Kondisi Zheng Yi sangat buruk. Rasanya, umurnya tak akan melewati tahun ini jika Ziwei tak segera ditemukan dan dibawa ke hadapannya.

Meski tak berkata apa-apa karena dia hanya seorang abdi, Zheng Yun melempar tatapan dingin kepada Permaisuri Wu. Seolah menghilangnya Ziwei disebabkan oleh sang Permaisuri.

“Zhao Ziwei, kau telah membuatku terlihat kejam di mata keluarga Zheng,” gumam Permaisuri Wu. Dia teringat permintaan Ziwei untuk membatalkan pertunangannya dengan Zheng Yun. Semestinya, waktu itu sang Permaisuri tidak menyanggupinya.

Permaisuri Wu teringat perkataan terakhirnya kepada Ziwei sebelum gadis itu pergi. “Jika di perjalanan nanti kau patah semangat hendak membatalkan misi ini, ingatlah kunci ‘kebebasanmu’ berada di tanganku.”

Tapi sekarang Ziwei menghilang entah kemana. Jika memang dia masih hidup seperti gambaran istri pembuat cermin perunggu itu maka saat ini dia pasti telah kabur dari sang Permaisuri.

Permaisuri Wu geram mengingat kemungkinan itu. Tangannya terkepal di atas meja. “Pelukis Wanita Zhao,” desisnya. “Jika kau mencoba lari dariku, aku bersumpah akan mencarimu meski ke ujung dunia sekalipun!”

***
Musim Dingin

Di sebuah kota kecil, sepasang wanita paruh baya sedang bercakap-cakap suatu sore di depan rumah mereka.

Keduanya berkawan baik. Mereka suka saling mengunjungi satu sama lain untuk berbincang-bincang. Kebetulan rumah keduanya berdekatan. Sore itu, topik pembicaraan mereka adalah tentang tetangga baru depan rumah mereka.

“Suami-istri yang tinggal di depan sana itu masih muda ya?” celutuk wanita yang satu.

“Ya. Si suami sangat ramah dan pandai besi yang handal. Kemarin dia membuatkanku sebilah pisau dapur. Ngomong-ngomong, istrinya sangat cantik. Tapi agak pendiam dan tidak bergaul dengan tetangga sekitar,” sambung wanita satunya lagi.

“Keduanya sepertinya sudah tak memiliki orang tua. Kulihat si istri sedang hamil. Bagaimana kalau dia bersalin kelak tanpa didampingi ibu atau mertua perempuannya?”

“Kemarin sewaktu mengambil pisauku, aku sempat bicara dengan si istri. Kataku, kalau dia melahirkan kelak dan butuh bantuan, suaminya dapat memanggilku ke rumah mereka.”

Suami-istri itu, Zhang Rui dan Ziwei, baru seminggu tinggal di kota kecil itu. Setelah beberapa bulan berpindah-pindah mereka akhirnya memutuskan menetap. Ziwei sedang hamil enam bulan. Perutnya semakin membesar tak tentu tak nyaman jika harus berpindah-pindah.

Beberapa bulan terakhir merupakan masa-masa penuh kebahagiaan bagi Ziwei. Meski dia dan Zhang Rui hidup dalam pelarian. Ziwei yakin Permaisuri Wu pasti penasaran karena dia tak kembali ke istana. Tapi Ziwei sudah tak peduli. Dia kini memegang takdirnya sendiri. Dia bebas. Tanpa kungkungan permaisuri, keluarganya maupun keluarga Zheng.

Ziwei sadar, dia bisa memperoleh hidup demikian berkat Zhang Rui. Dan Ziwei tidak pernah menyesal telah mengambil keputusan itu. Dia makin mencintai suaminya dari hari ke hari.

Pada suatu malam di musim gugur itu, Ziwei tengah melukis. Sudah lama dia tidak melakukannya. Hari itu tiba-tiba Zhang Rui membawa selembar kertas, kuas, tinta hitam serta batu tinta.

“Ini bukan kertas terbaik. Tintanya juga bukan dari arang damar. Tapi siapa tahu kau mau memakainya untuk melukis.”

Maka Ziwei melukis malam itu. Dia berkonsentrasi. Janinnya yang biasa bergerak malam itu menjadi tenang. Mungkin dia tertidur sewaktu ibunya sedang melukis. Zhang Rui duduk di samping dan mengamatinya.

Anehnya, tidak seperti dulu ketika Zheng Yun mengamatinya. Ziwei tidak keberatan Zhang Rui memandangnya. Tepatnya, suaminya itu memujanya. Meski pertemuannya dengan Zhang Rui lebih singkat daripada perkenalannya dengan Zheng Yun, Zhang Rui ternyata bisa membuatnya nyaman. Dari segi penampilan, orang-orang akan menganggap Ziwei terlalu cantik bagi Zhang Rui. Dan dari segi intelektual, Zhang Rui bukan pula pasangan yang tepat.

Orang-orang bisa saja mencap pasangan ini serasi atau tidak. Tapi orang-orang itu tidak peduli apakah mereka berbahagia atau tidak.

“Aku berharap anak pertama kita kelak perempuan. Dia akan secantik dirimu dan juga pandai melukis sepertimu, istriku.”

“Kebanyakan lelaki selalu berharap anaknya-terutama yang pertama adalah lelaki. Kau berbeda ya? Bagaimana kalau dia lelaki? Aku sebenarnya berharap dia lelaki.”

“Kalau lelaki pun tidak apa-apa. Semoga dia tumbuh setampan aku dan pandai melukis seperti dirimu.”

Ziwei tertawa.

Musim semi

Musim semi datang terlambat tahun itu. Meski tahun baru telah lewat, salju masih membukit dan hujan es masih turun.

Ziwei melahirkan anaknya pada suatu subuh yang dingin di akhir bulan kedua. Perempuan, sesuai keinginan Zhang Rui. Bayi mungil itu menangis keras ketika pertama kali menghirup napas di luar rahim ibunya. Bidan yang membantu persalinan merasa lega.

Tapi Zhang Rui sempat linglung. Dia tiba-tiba tidak tahu mesti berbuat apa ketika Ziwei mulai mengejan beberapa jam sebelumnya. Si calon ayah baru mondar-mandir gelisah.

Ketika bayinya sudah lahir pun Zhang Rui masih gugup. Ketika si bayi telah dibersihkan, Bidan mengajar Zhang Rui menggendong bayinya. Zhang Rui menggendong dengan canggung dan kikuk. Tapi memandang wajah putrinya membuat hati Zhang Rui diliputi kebahagiaan.

“Aku takut menggendongnya…,” Zhang Rui berterus terang. “Aku biasa bekerja kasar sehingga kuatir akan meremukkannya…”

Senyum tersungging di wajah Ziwei yang pucat. “Kau sangat lembut kepada orang-orang yang kau cintai. Kau tak mungkin akan menyakiti mereka.”

Zhang Rui merasa kepercayaan dirinya sebagai ayah tumbuh. Dia membawa bayinya ke hadapan Ziwei. “Kau harus memberinya nama,” kata Zhang Rui. “Jangan yang susah hurufnya. Nanti aku tidak bisa menulisnya…,” dia tersipu.

Ziwei membelai wajah putrinya yang sedang menguap. Kulit bayi itu kemerahan. Matanya yang sipit mengamati Ziwei dan Zhang Rui tanpa berkedip seolah sedang menelaah.

“Yingying. Kita beri dia nama Yingying. Itu adalah nama sejenis burung yang berbulu indah. Hurufnya pun mudah sehingga dapat kau tulis, Suamiku.”

Zhang Rui tersenyum. Dia coba menimang putrinya seraya berujar, “Yingying, kau telah diberi nama. Kau menyukainya, bukan? Ibumu memang pintar. Itu sebabnya ayah mencintainya…”

***
Pada hari kelima belas usai melahirkan, Ziwei ke pasar.

Ziwei sudah akan pulang usai membeli sayuran dan tahu ketika dilihatnya orang-orang bergerombol pada sebuah dinding. Mereka berbicara sambil menunjuk dua buah kertas yang tertempel di tembok.

Ziwei mendekat. Aetelah berhasil menyeruak dari orang-orang, Ziwei pun melihat kedua buah kertas itu.

Astaga! Ziwei terkejut hingga membekap mulutnya sendiri. Di kedua kertas itu terpampang lukisan dirinya dan Zhang Rui. Huruf besar pada bagian atas kertas bertuliskan: ‘Dicari!’

“Apa kau tidak merasa, pria bernama Zhang Rui dalam lukisan ini mirip dengan si pandai besi itu?” seseorang yang tidak menyadari kehadiran Ziwei berkata pada rekannya. “Coba tambahkan kumis pada wajah si pandai besi, pasti mirip.”

“Lalu kau hendak mengatakan, wanita yang menyamar jadi pria itu adalah istrinya? Di sini tertulis wanita itu seorang pelukis. Istriku barusan membantunya bersalin dan dia tidak menemukan alat lukis atau lukisan apapun di rumah si pandai besi.”

Wajah Ziwei memucat. Sebelum orang-orang menyadari kehadirannya, dia memilih lekas pulang. Sesampainya di rumah, bak kesetanan Ziwei langsung berlari ke kamar mengemasi barang-barangnya. serta membungkus Yingying dengan selimut.

Zhang Rui keheranan melihat sikap Ziwei. “Istriku, ada apa?”

“Kita sedang dicari pihak istana. Lukisan kita terpampang di tembok dekat pasar. Aku yakin lukisan-lukisan yang sama juga terpampang di penjuru lain kota ini. Kita harus segera meninggalkan tempat ini!”

“Tapi bukankah kita sudah aman tinggal di sini? Aku sudah merubah nama. Kau juga tidak lagi berdandan seperti pria dan bersikap seperti wanita istana.”

“Kau tidak tahu cara kerja para intelejen istana, suamiku,” tukas Ziwei. “Tapi kau harus mendengar kata-kataku. Begitu malam tiba, kita harus pergi dari sini!”

Zhang Rui tidak membantah Ziwei. Bagaimanapun, Ziwei pernah tinggal di istana. Dia pasti tahu kebiasaan polisi istana.

***
Menjelang tengah malam, sekelompok orang mengintai rumah si pandai besi.

“Apa kau yakin ini rumahnya?” Kasim Wang bertanya kepada salah satu petugas polisi.

“Ya,” jawab polisi itu. “Menurut saksi mata, sepasang suami-istri yang kita curigai itu tinggal di situ.”

Kasim Wang kebetulan berada di sebuah tempat dekat dari kota kecil tersebut. Kemarin dia mendapat laporan ada dua orang yang dicurigai mirip Ziwei dan Zhang Rui tinggal di sana. Kasim Wang segera berangkat dan tiba di kota kecil itu senja tadi. Bersama sekelompok pasukan, mereka mulai mengawasi rumah tersebut begitu malam tiba.

Pintu rumah tersebut tertutup. Tak ada satu cahaya pun dari dalam rumah. Kasim Wang curiga jangan-jangan buruan yang mereka cari sudah melarikan diri.

“Saatnya bergerak!” katanya kepada polisi yang berdiri di sampingnya.

Polisi itu mengangguk. Bersama polisi yang lain mereka menghampiri rumah tersebut dengan golok yang siap terhunus. Salah satu polisi menggedor pintu. Tak ada jawaban. Kasim Wang mengangguk. Memberi tanda kalau si polisi bisa mendobrak pintunya.

Pintu terbuka disertai bunyi debum keras. Di dalam rumah gelap-gulita. Sambil membawa obor-obor, Kasim Wang dan anggotanya memasuki rumah tersebut. Tak ada siapapun di dalam rumah.

Para polisi menggeledah untuk mencari petunjuk. Kasim Wang berjalan pelan mengamati sekeliling rumah. Bagian depan rumah terdapat tungku untuk menempa besi. Tidak banyak perlengkapan tapi semuanya berjejer rapi. Rumah itu terlalu bersih bagi seorang pandai besi. Tanda-tanda kehadiran wanita yang terbiasa hidup di lingkungan kelas atas yang rapi dan bersih ada di setiap sudut.

Seorang polisi menemukan ampas ramuan obat di dapur. “Ini tonik bagi wanita yang usai melahirkan, Tuan,” katanya sambil memperlihatkannya ke Kasim Wang. “Aku tahu karena istriku baru melahirkan dan meminum tonik dengan ramuan serta bau yang sama dengan ini.”

Kasim Wang mengamati ampas tonik itu. Dia berpikir, “Apakah Pelukis Wanita Zhao sudah memiliki anak dengan gelandangan itu?”

Kasim Wang meneruskan penjelajahannya ke dalam kamar. Di sana, dilihatnya ranjang tertutup kain yang rapi. Selain ranjang, kamar itu hanya berisi sebuah lemari kecil yang sudah kosong. Tak ada apa-apa lagi.
Tapi ketika menarik pintu kamar, di baliknya, Kasim Wang merasakan sesuatu. Dia mengangkat obornya tinggi-tinggi dan mengamati bagian belakang pintu kamar itu dengan seksama.

“Ya…, ya….,” Kasim Wang bergumam sambil menyeringai.

Di belakang pintu kamar itu terpampang lukisan hitam putih panorama pegunungan yang goresan kuasnya amat dikenal Kasim Wang. Lukisan yang sama, sudah pernah dilihatnya pada salah satu dinding kamar pribadi Permaisuri Wu.

“Pelukis Wanita Zhao,” Kasim Wang berujar lirih. “Kau memang pernah tinggal di sini…”

***
Sambil menggendong Yinying, Ziwei berjalan di antara semak-semak. Zhang Rui di belakangnya. Sesekali mereka melihat ke belakang untuk memastikan keduanya tidak diikuti.

Udara malam itu cukup sejuk tapi keringat membasahi kening Ziwei. Wajahnya ketakutan dan napasnya terengah-engah. Zhang Rui akhirnya memutuskan agar mereka berhenti sejenak.

“Kita harus berhenti sebentar. Kau harus istirahat, istriku.”

Awalnya Ziwei menolak. Tapi Zhang Rui mendesak. Mereka lalu mencari tempat lalu duduk di antara semak dan rumput ilalang yang tinggi.

“Syukurlah Yingying tidak bangun sampai sekarang,” kata Ziwei sambil mengamati wajah Yingying. Bulan yang hampir purnama menyinari wajah mungil bayinya yang sedang tertidur lelap.

Ziwei dan Zhang Rui keluar rumah lewat pintu belakang begitu hari sudah gelap. Waktunya nyaris bersamaan dengan sekelompok polisi pimpinan Kasim Wang yang mengintai dari arah depan rumah. Ziwei memutuskan dia dan Zhang Rui harus pergi ke selatan. Semakin jauh ke selatan semakin baik. Kalau perlu, biar sampai harus menyeberangi sungai Yangzi.

“Aku yang harus disalahkan karena menyebabkan kita hidup seperti ini. Sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah seperti buronan,” kata Zhang Rui.

“Tidak!” Ziwei menggenggam erat tangan Zhang Rui. Dia takut jika Zhang Rui diliputi rasa bersalah, maka semangatnya akan runtuh juga.

“Kalau ada yang mesti disalahkan, maka aku juga bersalah. Kita sama-sama telah menciptakan hal ini. Maka tidak boleh kau sendiri yang menanggungnya…”

Ziwei mendadak terdiam. Matanya membelalak menatap Zhang Rui.

Ziwei menelungkupkan punggung dan memeluk Yinying erat. Zhang Rui refleks memeluk keduanya. Mereka tak berani mengeluarkan suara. Tak lama, terdengar derap kuda dan suara langkah-langkah kaki di antara semak-semak.

Kasim Wang beserta rombongannya menapaki jalan setapak yang sempit. Beberapa pengawalnya memotong ilalang yang tumbuh tinggi menghalangi tepi jalan. Lalu salah satu petugas yang menyertainya menunjuk ke sebuah semak yang bergoyang. Kasim Wang mengangguk.

“Kau tadi mengikuti mereka sampai ke sini, bukan?” tanya Kasim Wang lirih.

Petugas itu mengangguk. Ketika Tuan membawa petugas mengintai mereka dari pintu depan, diam-diam saya melihat mereka kelluar dari pintu belakang dan mengikuti. Saya yakin mereka pasti berada di sekitar sini sekarang.”

Lalu salah seorang pengawal berteriak, “Ada orang di sana? Jika ya, lekas keluar dan tunjukkan dirimu!”

Tak seorang pun keluar. Pengawal itu mengulangi teriakannya.

“Siapa di sana? Lekaslah keluar! Jika kau keluar baik-baik, kami janji tidak akan bertindak kasar!”

Tetap tak seorang pun yang muncul. Kasim Wang akhirnya berseru,

“Pelukis Wanita Zhao! Aku tahu kau berada di sekitar sini! Keluarlah dan temui aku!”

Orang-orang yang bersembunyi itu tetap tak mau keluar rupanya. Kasim Wang kemudian berkata,

“Pelukis Wanita Zhao, jangan mendesakku untuk melakukan tindakan biadab. Kau ingin aku membakar seluruh semak dan ilalang ini agar kau keluar? Tapi bagaimana jika nanti kau terperangkap? Suami dan bayimu akan ikut mati terbakar bersamamu.”

Tak ada sahutan. Tak ada tanda-tanda seorang pun akan muncul. Kasim Wang turun dari kudanya dan mengambil obor dari salah satu petugas.

“Baiklah,” katanya sambil berjalan menyusuri semak. “Aku akan membakar mulai dari sini…”

Kasim Wang menaruh obor dekat dengan ilalang yang meninggi. Lidah api sudah akan menjilat ilalang itu sewaktu didengarnya seorang wanita berseru.

“Tunggu! Aku keluar!”

Kasim Wang berbalik. Di balik punggungnya dia melihat Ziwei yang menggendong bayi beserta suaminya berdiri. Dan inilah yang ingin dilihat Kasim Wang. Wajah sepasang kekasih pelarian yang tak berdaya.

***
Ziwei dan Zhang Rui ditahan di penjara bawah tanah kabupaten yang pengap. Sel mereka khusus tapi terpisah. Yingying bersama Ziwei.

Yingying merasa sesuatu tak beres menimpa orang tuanya. Dia mulai gelisah, menangis dan merengek. Ziwei berusaha menenangkannya meski dia sendiri kelelahan. Zhang Rui memandangnya dari sel terpisah dengan perasaan frustasi. Dia tak bisa berbuat apa-apa sehingga memukul dinding sebagai pelampiasan kekesalannya.

Beberapa jam usai ditahan, Kasim Wang mendatangi penjara bawah tanah tersebut. Ziwei dibawa keluar untuk duduk di hadapan Kasim Wang sambil masih menggendong Yingying. Kasim Wang berkata kepada Ziwei,

“Yang Mulia Permaisuri sangat kehilangan dirimu. Dia memerintahkan pencarimu ke mana-mana. Dia selalu ingat janjimu untuk melukis Gunung Qiu di perpustakaan istana.”

“Yang Mulia punya banyak pelukis lain yang handal. Dia bisa meminta pelukis lain untuk melakukannya – bukan hanya diriku,” Ziwei berkata dingin.

Kasim Wang berkata diplomatif, “Sekian tahun tinggal di istana, kau tentu sudah tahu sifat Yang Mulia Permaisuri. Di istana memang masih banyak pelukis handal lain. Tapi Yang Mulia menganggapmu sangat berharga. Dan Yanga Mulia tidak akan melepas sesuatu yang berharganya begitu saja. Itu sebabnya dia memerintahkan pencarianmu. Kau harus ditemukan dan dibawa kembali ke hadapan Yang Mulia sekalipun telah menjadi mayat!”

Ziwei memandang Kasim Wang tajam. Tapi Kasim Wang tidak terpengaruh. Dia mendekatkan wajah kea rah Ziwei lalu berbisik,

“Kau tidak memikirkan keluargamu? Almarhum kakekmu dulu dikenal sebagai penentang Yang Mulia Permaisuri. Apa kau tak khawatir karena dirimu, Yang Mulia bisa mengarang sebuah cerita dan menuduh keluargamu akan melakukan makar? Apalagi kau masih berstatus calon menantu keluarga Zheng, bukan? Kedua keluarga ini akan dituduh berkomplot untuk menggulingkan Yang Mulia.”

“Kasim Wang, apakah dirimu atau Yang Mulia Permaisuri bermaksud mengancamku?”

“Aku mewakili Yang Mulia Permaisuri menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya,” ujar Kasim Wang tenang – dibarengi senyum licik. “Aku pengenal watak Yang Mulia paling baik dari abdi manapun. Aku sudah sering melihat Yang Mulia Permasiuri ‘memakan anaknya sendiri’ jika itu memang dianggap perlu untuk memuaskan rasa egonya yang tinggi. Tidak terkecuali keluarga Zheng yang merupakan pendukungnya.”

Ziwei tetap tak bergeming. Melihatnya demikian, Kasim Wang mengisyaratkan kepada dua pengawalnya agar merampas bayi Yingying.

Ziwei memekik dan mencoba mempertahankan Yingying. Zhang Rui yang menyaksikan dari selnya turut berteriak. Yingying yang terkejut karena ditarik paksa menjerit dan menangis keras.

Seorang pengawal menyergap Ziwei sedang yang satunya menyerahkan Yingying kepada Kasim Wang. Dari selnya, Zhang Rui memukul jeruji berkali-kali.

Kasim Wang menggendong Yingying sejenak sebelum meletakkannya ke atas meja. “Bayi yang cantik,” gumamnya. “Kelak dia akan menyerupaimu, Pelukis Wanita Zhao, kecuali sepasang matanya – sipit seperti ayahnya.”

“Kasim Wang, apa yang akan kau lakukan?” tanya Ziwei cemas.

“Kupikir jika kau tak memikirkan keselamatan keluargamu maupun keluarga Zheng, kau peduli pada nyawa putrimu.”

Kasim Wang membelai leher Yingying dengan tangan kanannya. Setelah mengelus beberapa kali, dia bersiap mencekiknya.

“Tidak!” Ziwei dan Zhang Rui berseru bersamaan.

Kasim Wang menatap Ziwei tanpa belas kasihan. “Aku sudah berpengalaman membunuh bayi. Dulu aku pernah melakukannya dengan bayi perempuan Permaisuri Wu sewaktu hendak menjatuhkan Permaisuri Wang. Cepat sekali. Bayi itu hanya mengejang sesaat. Mulutnya terbuka tapi dia tidak sempat menangis - nyawanya sudah melayang.”

“Tidak!” Ziwei berteriak sekuat tenaga. “Jangan lakukan itu, kumohon!”

“Tuan, kumohon bunuhlah aku!” teriak Zhang Rui dari selnya. “Tapi jangan sakiti putriku!”

Kasim Wang melihat tajam ke arah Zhang Rui. “Jangan khawatir. Kau yang berikutnya setelah bayimu jika Pelukis Wanita Zhao tidak setuju ikut pulang bersamaku ke istana!”
Kasim Wang menekan tangannya. Yingying mulai bergerak-gerak gelisah.

“Hentikan! Hentikan!” Ziwei melolong. “Baik! Aku turuti maumu! Aku pulang! Aku akan kembali ke istana bersamamu!”

Tangan Kasim Wang belum terlepas dari Yingying. “Coba ulangi kata-katamu barusan. Kamu yakin akan kembali ke istana?”

“Ya…,” Ziwei menjawab lirih. Lututnya melorot lemas ke lantai. “Ya…,” akhirnya dia kalah. “Asal kalian jangan sakiti bayiku… Jangan sakiti suamiku…”

Kasim Wang melepaskan tangannya dari Yingying. Tangis Yingying pecah. Sewaktu Ziwei hendak mengambil bayinya, Kasim Wang menghalanginya.

“Kau telah berjanji akan kembali ke istana bersamaku. Kau tak boleh menyentuh bayimu lagi.”

Ziwei menatap Kasim Wang seolah tak percaya.

“Yang Mulia Permaisuri hanya ingin melihatmu – tidak gelandangan itu maupun bayimu!”

“Tapi aku tak mungkin berpisah dari mereka! Bayiku, aku baru melahirkannya belum genap sebulan!”

“Kau boleh memilih: kembali ke istana tanpa bayi dan suamimu. Atau menyentuh kembali bayimu dalam bentuk jenazah!” Kasim Wang mengancam sambil mencengkeram erat siku Ziwei. “Tadi itu aku sudah setengah mencekiknya, Pelukis Wanita Zhao. Berikutnya aku pastikan tidak setengah-setengah lagi.”

Seumur hidup, Ziwei sama sekali belum pernah dihadapkan pada pilihan yang begitu sulit. Saking sulitnya mengambil keputusan itu, amarah berkobar dalam diri Ziwei.

“Kasim Wang,” Ziwei mengucapkannya dengan gigi gemelutuk menahan marah. “Kuturuti maumu. Lepaskan suami dan anakku. Aku akan ikut denganmu ke istana.”

Kasim Wang tersenyum puas. Dia melepaskan cengkeramannya dan Ziwei terhempas ke lantai. “Bagus, Pelukis Wanita Zhao. Begitu baru disebut wanita bijak.”

Ziwei menatap Zhang Rui di selnya. Zhang Rui menggeleng-gelengkan kepala. Dia menangis. Akhirnya, Ziwei menyerah memperjuangkan kebebasannya.

***
Malam itu, Zhang Rui dan Ziwei saling berhadapan untuk yang terakhir kalinya. Tapi pertemuan terakhir ini dibatasi oleh jeruji.

Zhang Rui menggendong Yingying. Bayi itu tengah tertidur di pelukannya.

“Bagaimana nasib Yingying kelak? Aku tak yakin bisa membesarkannya sendirian tanpa dirimu, Istriku,” Zhang Rui berkata sedih.
“Aku tak bisa membaca ataupun menulis banyak huruf. Sementara kau bisa. Aku juga ingin kelak dia bisa melukis sepertimu. Siapa yang kelak mengajarinya semua itu jika bukan dirimu?”

“Dia bisa mengenal huruf atau tidak, melukis atau tidak, itu tidak penting. Yang paling penting didiklah dia dengan kebajikan yang kau miliki, Suamiku.”

“Kebaikan apa yang kumiliki untuk mendidiknya kelak? Kau tahu aku yatim-piatu sejak kecil. Hidup menggelandang nyaris separuh umurku dan hanya mengenal rumah beberapa tahun saja…”

Zhang Rui berkata dengan penuh emosi. Ziwei terdiam sesaat. Berpikir.

“Pertama-tama, kalian harus mencari tempat baru untuk menetap. Carilah sebuah desa terpencil untuk memulai hidup baru,” Ziwei kemudian berkata. “Kau juga kuijinkan menikah lagi asal wanita itu memperlakukan Yingying dengan baik...”

Mendengar kalimat terakhir Ziwei, Zhang Rui memotong, “Aku bersumpah tidak pernah menikah sementara kau masih hidup, Istriku! Aku tak akan melakukannya meskipun kau memaksaku!”

Ziwei menghela napas. “Aku tahu hidup kalian nanti tidaklah mudah. Jika kau tak mau menikah lagi, berusahalah sebisanya untuk tidak bergantung pada orang lain. Jangan mengandalkan belas kasihan mereka. Ini baik untuk mendidik Yingying agar dia mandiri.”

“Jangan manjakan Yingying – jangan pula keras padanya. Karena dia akan tumbuh tanpa ibu. Satu hal yang penting. Jangan jodohkan Yingying dengan siapapun – terlebih ketika dia masih kecil. Agar kejadian yang sama denganku tidak terulang olehnya. Biarkan kelak dia memilih calon suaminya sendiri lalu diperkenalkan padamu.”

Zhang Rui menyimak setiap perkataan istrinya. Lalu dia berbisik,

“Jika kelak Yingying bertanya tentangmu, apa yang harus kukatakan?”

Ziwei menjawab, “Katakan saja aku sudah mati.”

“Tidak,” Zhang Rui menggeleng. “Aku tidak bisa menjawab begitu padahal kenyataannya kau masih hidup.”

“Kalau kau mengatakan aku sudah mati, selanjutnya dia pasti tak akan bertanya-tanya lagi tentangku.”

“Lalu Istriku, bagaimana nasibmu sekembalinya di istana?”

“Aku belum tahu,” jawab Ziwei mengambang. “Mungkin Yang Mulia Permaisuri akan mengampuniku dan semuanya kembali seperti semula seolah tak pernah terjadi apa-apa. Namun, berdekatan dengan penguasa bukan berarti kita mengetahui seluruh jalan pikiran mereka. Aku mungkin pula akan dihukum. Jika harus dieksekusi pun, aku sudah siap.”

“Jangan berkata tentang kematian, Istriku! Aku tak ingin kau mati!” Zhang Rui mengulurkan tangannya ke dalam jeruji berusaha menggapai wajah Ziwei. “Kumohon berjanjilah padaku. Berusahalah sebisanya untuk terus hidup. Jika kesempatan telah terbuka kembali, ingatlah untuk mencari kami. Kami selalu menunggumu.”

Ziwei menggenggam erat tangan Zhang Rui dan mengusapnya di pipinya. Dia mulai menangis. Dia mengangguk lemah.

Ya… Jika kesempatan itu ada. Aku akan kembali pada kalian…”

Ziwei dan Zhang Rui mendekatkan dahi mereka di antara jeruji. Begitu beratnya perpisahan di antara keduanya…

***
Begitu keluar dari penjara bawah tanah itu sambil menggendong Yingying, Zhang Rui yang dulu sudah tak ada lagi. Seluruh keceriaan serta sifat periangnya lenyap - digantikan sikap pendiam, tertutup dan protektif. Masa penantian serta rindu-rindu yang tak bertepi telah dimulai.

Sambil menggendong Yingying, Zhang Rui berjalan tak tentu arah. Dia tak peduli kemana akan melangkah. Saat hari terang dia terus berjalan. Saat hari gelap dia berhenti pada sembarang tempat untuk beristirahat malam itu.

Zhang Rui tak mempedulikan penampilannya lagi. Zhang Rui mencoba bertahan demi Yinying. Dia tak mau berpisah dari Yingying. Tapi kesedihannya membuatnya enggan makan atau minum.

Yingying diberi makanan seadanya yang menurut Zhang Rui mudah dicerna bagi bayi. Zhang Rui tak menyadari, dalam kesedihannya, dia telah menjadikan Yingying bayi tak terawat selama beberapa waktu.

Untunglah itu tak berlangsung terlalu lama. Langkah-langkah kaki membawa Zhang Rui ke sebuah dusun terpencil di kaki Pegunungan Qinling. Dusun itu berpanorama indah dan penduduknya ramah. Zhang Rui teringat pesan Ziwei untuk memulai kehidupannya bersama Yingying di desa terpencil. Dia pun memutuskan menetap di tempat itu.

Nama desa itu adalah Dusun Wei.

***
Ziwei kembali ke istana bersama Kasim Wang.

Sewaktu bertemu Permaisuri Wu, sang permaisuri sama sekali tidak menyinggung soal menghilangnya Ziwei. Dia hanya meminta Ziwei melukis sketsa panorama Gunung Qiu yang dilihatnya setahun lalu.

Kini Ziwei seperti patung. Digeser ke sana-sini, dia menurut saja. Semangatnya telah melayang jauh. Dan ini mempengaruhi lukisannya. Permaisuri Wu sangat marah ketika melihat sketsanya.

“Lukisan macam apa ini?” Permaisuri Wu membolak-balik sketsa-sketsa Ziwei tentang panorama Gunung Qiu. “Semuanya tak tampak seperti Gunung Suci. Semua ini malah tampak seperti batang kayu lapuk!”

Dipenuhi emosi, Permaisuri Wu melempar semua gulungan lukisan ke lantai.

“Pelukis Wanita Zhao, kau sungguh tak tahu berterima kasih!” seru Permaisuri Wu.

Ziwei tidak berkata apapun. Kepalanya terus tertunduk. Melihatnya tetap diam, Permaisuri Wu semakin terbakar amarah.

“Kau telah mengkhianati kepercayaanku dan kini kau tak berusaha untuk memperbaikinya?”

Ziwei bersujud di hadapan Permaisuri Wu. “Hamba mengaku bersalah. Hukumlah hamba jika Yang Mulia memang menginginkan. Hamba siap menerimanya – sekalipun itu adalah hukuman mati.”

“Kau ingin mati?” dengus Permaisuri Wu. “Huh! Hukuman itu terlalu mudah bagimu!”

Permaisuri Wu membalikkan tubuh membelakangi Ziwei. Beberapa saat kemudian baru dia bicara lagi dengan nada lebih tenang.

“Pelukis Wanita Zhao, sesungguhnya aku iri padamu. Kau mengambil suatu tindakan berani dengan melarikan diri bersama pria pilihanmu. Sementara aku, terlalu pengecut untuk menanggalkan semua kekuasaan serta harta di istana ini demi mengejar cinta sejatiku.”

“Kau sungguh bernyali menentang kakekmu, Keluarga Zheng dan aku sendiri. Sedang aku yang kelihatan punya segalanya, terlalu penakut untuk melawan diriku sendiri.”

Permaisuri Wu terdiam sesaat. Lalu, dengan suara dingin dan kejam, dia berkata,.

“Tapi aku benci ada wanita yang kehidupan cintanya lebih bahagia daripada diriku. Aku tidak suka pada wanita yang mencintai kekasihnya sedemikian rupa hingga dia rela meninggalkan segalanya. Karena aku tidak demikian. Aku tidak bisa melakukan hal demikian. Itu sebabnya aku menginginkan wanita-wanita sepertimu sama menderitanya denganku – kalau perlu, merasa lebih merana melebihi aku!”

Permaisuri memutar tubuhnya dan menatap Ziwei yang masih bersujud dengan kepala menunduk ke lantai.

“Kau tadi bicara soal hukuman, Pelukis Wanita Zhao?” tanya Permaisuri Wu. Bibirnya tersungging senyuman. Seulas senyum culas. “Aku telah menemukan hukuman tepat buatmu…”

Permaisuri Wu menghela napas. Dia seperti sedang bertitah, “Aku akan mengembalikanmu ke keluarga Zheng!”

Ziwei terkejut. Dia mendongakkan kepala menatap Permaisuri Wu - seolah tak percaya.

“Yang Mulia! Yang Mulia tidak bisa mengembalikanku ke keluarga Zheng!” seru Ziwei.

“Kenapa?” Permaisuri Wu tersenyum licik - senang melihat kepanikan Ziwei. “Aku hanya melaksanakan janjiku kepada mendiang Zheng Yi empat tahun lalu.”

“Tidak…” Ziwei bergumam. “Tidak…,” dia merangkak ke Permaisuri Wu dan menarik tepi jubahnya. “Yang Mulia tak boleh mengembalikanku kepada keluarga Zheng. Bagaimanapun aku telah mengkhianati Zheng Yun. Bagaimana aku bisa punya muka lagi menemuinya? Aku lebih baik mati daripada menemui mereka…”

Permaisuri Wu menatap Ziwei tanpa belas kasihan sedikitpun.

“Kau tidak boleh cepat mati. Aku tak mau kau cepat mati. Aku selalu menyukai kematian yang perlahan-lahan… Seperti yang dialami Permaisuri Wang dan Selir Xiao dulu. Kukurung mereka dalam ketidakpastian. Lalu, setelah mereka putus asa, aku baru menganugerahkan kematian kepada mereka.”

“Untuk wanita semacam dirimu, Pelukis Wanita Zhao - aku tak perlu membunuhmu dengan tanganku sendiri. Aku akan meminjam istilah Jendral Cao Cao dari jaman Tiga Negara: ‘Membunuh melalui tangan orang lain’. Jika kelak kau mati di keluarga Zheng, orang-orang tak akan menuduhku sebagai penyebab kematianmu. Aku malah dipuji karena telah menepati janji kepada keluarga Zheng. Keluarga Zheng-lah yang dianggap sebagai pembunuhmu yang sebenarnya…”

Tubuh Ziwei terkulai lemas. Tiba-tiba disadarinya, Permaisuri Wu yang dulu begitu dikaguminya, kini menunjukkan sisi lainnya yang asli: menjadi wanita paling kejam yang pernah ditemui Ziwei.

Permaisuri Wu melihat Ziwei tercengang dan mulai tertawa. Dia terus tertawa sewaktu meninggalkan Ziwei yang tersungkur. Suara tawanya menggema di sepanjang lorong-lorong koridor istana seperti siluman wanita yang baru saja mengalahkan seorang dewi.

Bersambung