Welcome to my world

Segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China tertuang di sini.

Sabtu, 11 September 2010

Wanita Berbaju Hitam






Pada suatu hari yang dingin di bulan Januari 1902, seminggu sebelum tahun baru Imlek.

Di jalan sempit menuju Linqing, propinsi Shandong, China, sebuah kereta ditarik dua ekor kuda melintas. Kusirnya seorang pria bertubuh agak gemuk berusia tiga puluhan, menghela kedua kuda dengan kecepatan sedang. Pembantunya duduk di samping, pemuda berumur tujuh belas berperawakan ramping. Keduanya melilitkan kain di kepala agar rambut mereka tidak basah terkena salju. Masing-masing mengenakan jaket tebal dan sepatu bot hitam.

Di dalam kereta, udara lebih hangat daripada di luar. Sebuah tungku pemanas kecil ditaruh di bawah kursi penumpang. Seorang pembesar duduk di sana. Tubuhnya bergoyang-goyang mengikuti laju kereta. Dia bernama Zhu Yuanchang, petugas pajak berpangkat Jaksa dari propinsi Jiangsu.

Saat ini Yuanchang tengah dalam perjalanan menuju ibukota Beijing. Dia membawa uang dalam jumlah yang sangat besar menuju istana. Pemberontakan dalam negeri serta perang melawan invasi asing telah menelan biaya tidak sedikit. Kas kerajaan kehabisan dana. Bahkan pada pertempuran terakhir: Pemberontakan Boxer, pasukan kerajaan kalah telak dari gabungan beberapa kekuatan asing. Kaisar dan Ibusuri harus mengungsi keluar istana. Dan sebagai akibat dari kekalahan itu, sebuah pulau kecil yang menghadap Laut China Selatan disepakati untuk disewa Inggris selama seratus tahun. Pulau itu bernama Hongkong.

Kerajaan memiliki cara paling praktis untuk mengisi ulang kas mereka. Cara apalagi selain mengutip pajak dari rakyat masing-masing propinsi. Itulah yang dibawa Yuanchang sekarang. Sebuah peti kayu jati berukuran empat puluh kali dua puluh sentimeter. Tingginya sekitar limabelas sentimeter. Terbungkus kain beludru hitam. Sejak berangkat dari Jiangsu, Yuanchang tak hentinya menggenggam benda itu. Dia tak pernah berpisah dari benda itu barang sedetik pun. Isinya uang perak serta surat-surat berharga dengan total nilai sepuluh ribu tael perak.

Yuanchang tipikal pejabat jujur dan bersih. Dia baru melewati usianya yang ketiga puluh tujuh musim gugur tahun kemarin. Penampilannya sederhana. Jika tak memakai jubah pejabat beserta segala atributnya, orang hanya mengiranya seperti pria cendekia kebanyakan. Seperti pada perjalanannya yang sekarang. Meski membawa uang dalam jumlah besar, Yuanchang sengaja tidak memakai banyak pengawal agar tidak mencolok. Jarak antara Jiangsu dan Beijing cukup jauh. Dan tidak menutup kemungkinan jika melihat rombongan yang megah, para penjahat akan mengatur siasat untuk mencegat di tengah jalan.

Cara bepergian seperti ini sepertinya berhasil. Sudah lewat tiga hari sejak dia mulai berangkat dari rumah dinasnya di Jiangsu. Semuanya tampak lancar-lancar saja. Yuanchang memakai baju biasa dengan satu jubah panjang berwarna hujau di bagian luar. Jubah pejabatnya tersimpan di bagasi dan baru akan dikenakannya jika memasuki istana. Topi bepergiannya dihiasi sebutir giok hijau tepat di tengah-tengah.

Makin ke utara, udara semakin dingin. Yuanchang pun memakai mantel bulu hitam - hadiah dari salah seorang Pangeran Manchuria, kerabat Kaisar. Yuanchang menyembunyikan lencana pejabatnya yang terbuat dari lempengan emas di balik jubah luarnya. Tapi sebuah jam berantai perak tetap dipakainya untuk melihat waktu. Dengan penampilan seperti ini, orang-orang akan mengira Yuanchang hanya seorang sarjana yang sedang berpergian. Dan kotak berbungkus beludru yang dibawanya itu cuma berisi buku serta alat tulis-menulis.

Seandainya pun terjadi hal yang tidak diinginkan, A Fu, pemuda tujuh belas tahun yang menyamar jadi pembantu sais itu pasti bisa mengantisipasinya. A Fu adalah perwira kepercayaan Yuanchang yang berilmu silat tinggi. Selain A Fu, Yuanchang dan si kusir bertubuh gemuk, Wang Chao, juga menguasai beberapa teknik bela diri.

“Bruuuukkk!!!!” terdengar tubrukan keras. Kereta terperosok. Yuanchang jatuh dari kursinya dengan lutut menumpu dasar kereta.

“Tuan! Anda tak apa-apa?” seru A Fu. Yuanchang mendongakkan kepala dan merasa udara dingin berdesir. Rupanya A Fu membuka pintu kereta dan berdiri di hadapannya.

Bergegas Yuanchang meraba peti yang paling dilindunginya. Syukurlah kain beludru masih tersimpul rapi membungkus peti itu. “Apakah anda pusing?” tanya A Fu lagi. Perlahan-lahan Yuanchang bangkit. “Tidak,” jawabnya kemudian. “Aku tidak apa-apa.”

Dibantu A Fu, Yuanchang turun dari kereta. Rupanya kereta terperosok miring ke sebuah lubang yang tertutup salju. Mereka menghampiri Wang Chao yang tengah memeriksa roda.

"Tuan, roda ini tak bisa dipakai lagi. As-nya patah. Kita mesti menggantinya dengan roda cadangan,” kata Wang Chao.

“Baik. Gantilah kalau begitu.”

“Tapi…, jika aku mengganti roda ini, kita tak bisa melewati daerah Linqing malam ini.”

A Fu menimpali, “Tuan, daerah Linqing di itu sangat berbahaya. Sebaiknya kita jangan melintas di sana malam hari.”

Yuanchang merogoh jam perak dari balik jubahnya. Pukul lima sore. “Sepertinya tak ada pilihan lain. Roda itu mesti diganti dan malam ini kita bermalam di Linqing.”

Wang Chao menyanggupi dan dia mulai mengambil roda cadangan yang ditaruh di bawah kereta. A Fu memeriksa sekeliling. Setelah merasa tak ada orang lain di sekitar situ selain mereka bertiga, dia membantu Wang Chao mengganti roda.

Sambil menunggu pekerjaan Wang Chao selesai, Yuanchang mengamati daerah sekitarnya. Hutan pinus gundul tertutup hamparan salju di sisi kiri-kanan. Di depan, tak jauh dari lubang keretanya terperosok, sebuah jurang menganga lebar. Dan di seberang jurang, jauh di depan sana, ada dataran tandus tertutup salju. Berwarna putih diselingi bercak-bercak coklat. Itulah Linqing, yang terkenal sebagai markas para penyamun Shandong.

Roda baru dipasang memerlukan waktu sekurang-kurangnya setengah jam. Dan pada saat segalanya telah selesai, langit sudah mulai hitam.

“Tuan, apa anda sungguh yakin akan menginap di Linqing malam ini?” tanya Wang Chao. “Anda bepergian tidak mencolok seperti ini justru dengan harapan bisa melewati daerah Linqing dengan aman. Tapi rupanya saya telah berbuat kesalahan.”

“Jangan menyalahkan dirimu. Tak seorangpun yang bersalah di sini,” ujar Yuanchang.

“Desa sebelumnya berjarak setengah hari perjalanan dari sini. Terlalu jauh jika kita kembali ke sana. Sepertinya takdir kita harus menginap di Linqing malam ini. Kecelakaan tadi merupakan pertanda kalau Linqing sedang menunggu kita. Karenanya, mari kita ke sana!”

Wang Chao pun menghela keretanya menuju Linqing.

***

“Tuan, kandangnya sebelah sini!”

Yuanchang mendengar seorang pemuda berseru ketika mereka memasuki halaman sebuah penginapan di Linqing. Dan Wang Chao melambatkan laju kudanya mengikuti pemuda itu.

Begitu kereta memasuki kandang, barulah Yuanchang turun. Pemuda tadi bergegas mendekatinya. Melihat bungkusan beludru yang dibawa Yuanchang, pemuda itu mengulurkan tangan, “Tuan, mari aku yang bawakan barangmu.”

A Fu segera maju menghadang. Gagang pedangnya nyaris mengenai hidung pemuda itu. “Tidak perlu! Biar Tuanku sendiri yang membawanya!”

Pemuda itu terkejut dan mundur beberapa langkah. Yuanchang menilai pemuda itu berusia empat belas atau lima belas tahun. Bertubuh kurus dan bernyali kecil. Dia kemungkinan pesuruh di penginapan.

Pemuda itu pergi. Yuanchang berbisik pada A Fu, “Kau agak keras padanya. Dia jadi ketakutan.”

A Fu balas berbisik, “Kita tidak tahu apakah dia penjahat yang berlagak bodoh atau bukan, Tuan.”

Penginapan itu penginapan tua. Tembok luarnya sebagian tertutup salju. Pintu serta kusen-kusen jendela yang terbuat dari kayu mengelupas sana-sini. Pada bagian depan pintu utama terpampang nama penginapan itu. Tertulis pada sebuah papan usang dengan tulisan yang catnya mengabur: ‘Gerbang naga’.

Yuanchang, Wang Chao dan A Fu memasuki penginapan itu. Di dalam tercium bau lembab dari dinding-dinding tua. Di meja kasir, mereka disambut seorang wanita paruh baya. Dandanan wanita itu menor sekali. Bibir, pipi, pakaian serta saputangannya berwarna merah menyala. Sekuntum bunga merah besar terselip di sanggulnya. Penampilan wanita itu begitu mencolok. Beda jauh dengan bangunan penginapan yang yang ditungguinya.

“Selamat malam Tuan-Tuan,” wanita itu tersenyum genit sambil melambai-lambaikan saputangannya. “Ada yang bisa kubantu?”

“Kami butuh satu kamar untuk ditempati bertiga,” Yuanchang menjawab.

“Satu kamar saja?” wanita itu seolah tak percaya. “Tuan, kau tampak seperti seorang sarjana. Tak pantas berbagi kamar dengan pembantu-pembantumu.” Wanita itu melirik bungkusan Yuanchang. “Kau tentu ingin beristirahat dengan tenang di kamarmu sendiri. Kau semestinya menyewa dua kamar. Kami punya dua kamar yang bersebelahan jika kau mau.”

Jika Yuanchang bersikeras dia harus sekamar dengan Wang Chao dan A Fu, wanita itu pasti curiga dengan barang bawaannya. Maka, Yuanchang mengiyakan menyewa dua kamar yang saling bersebelahan.

Setelah urusan membayar selesai, wanita itu mengantar ketiga tamu menuju kamar mereka. Sambil menaiki tangga, dia berceloteh. Tentang sejarah penginapan yang panjang, tentang musim dingin yang membuat usahanya sepi karena musafir kurang melintas.

Sewaktu menaiki tangga mengikuti wanita itu, Yuanchang sekilas melihat ke arah belakang penginapan yang rupanya adalah dapur. Pemuda yang dibentak A Fu tadi ada di sana. Dia tengah bercakap-cakap dengan seorang wanita berbaju hitam. Wanita itu masih muda. Dia memberi si pemuda mantau. Pemuda itu memakannya lahap dengan tersenyum lebar. Wanita itu ikut tersenyum. Menepuk-nepuk kepala pemuda itu dengan rasa sayang.

Mereka seperti kakak-adik, pikir Yuanchang. Wanita berbaju hitam itu keluar dari dapur menuju ruang depan. Tatapan matanya bertemu dengan wanita berpenampilan menor. Gerak-gerik mereka tak luput dari pengamatan Yuanchang. Keduanya seperti tengah mengirim isyarat.

“Ah, budak perempuan itu kusuruh menyiapkan makanan,” jelas wanita berpenampilan menor. Yuanchang tersenyum. Dia tahu, isyarat tadi bukan sekedar soal menyiapkan makanan.

***

Yuanchang, Wang Chao dan A Fu memasuki kamar mereka masing-masing. Tak lama, ketiganya kembali berkumpul untuk makan malam di kamar Yuanchang.

Yuanchang telah melepas mantel bulunya. Dia duduk diapit Wang Chao dan A Fu di depan sebuah meja bundar. Di hadapan mereka tersaji tiga macam masakan yang terdiri dari tumis sayuran dan ayam. Ada pula tiga mangkuk nasi, beberapa botol arak serta cawan untuk minum.

Wanita berpenampilan menor itu berkata keras-keras, “Maaf Tuan-Tuan, karena sekarang sedang musim dingin, tak banyak pilihan makanan yang bisa kami tawarkan. Tapi, kami punya hiburan lain yang bisa membuat anda bertiga senang.”

Wanita itu bertepuk tangan. Lima orang gadis muda berpenampilan menarik memasuki kamar. Mereka berpakaian warna-warni, berdandan tebal dan memakai parfum. Dua diantaranya membawa alat musik pipa-sejenis mandolin.

“Kalian temani tuan-tuan ini makan,” begitu instruksi dari si wanita menor. Rupanya dia juga seorang mucikari. “Bernyanyilah dengan suara paling merdu. Dan kalian,” katanya pada gadis-gadis yang tidak membawa alat musik. “Tuangkan arak bagi Tuan-Tuan ini.”

Gadis-gadis itu segera melakukan tugasnya. Dua orang duduk di depan meja makan dan mulai memainkan alat musik sambil menyanyi. Suara mereka lumayan merdu. Sementara tiga lainnya masing-masing mendampingi Yuanchang, Wang Chao dan A Fu. Tapi ketiga pria itu belum mau menyentuh makanan apapun.

Yuanchang melihat wanita berbaju hitam itu melintasi selasar. Wanita berpenampilan menor mengangguk ke arahnya. Dua lagu telah selesai, tapi ketiga pria itu belum juga menyantap makanan mereka. Wanita berpenampilan menor itu pun bertanya,

“Tuan-tuan, kenapa makanannya belum dimakan? Nanti keburu dingin.”

Yuanchang menjawab, “Setiap kali aku berpergian dan menginap di sebuah tempat, aku selalu makan dengan Tuan Rumah. Aku harap, di sini pun aku bisa makan bersamanya.”

Wanita berpenampilan menor itu terpengarah. “Oh, begitukah, Tuan? Baiklah, dimana-mana pelanggan adalah Raja. Permintaanmu akan kupenuhi. Akan kutemani kalian makan bersama.”

“Tapi bukan kau yang kuinginkan.”

“Tapi akulah majikan tempat ini.”

Dengan tenang Yuanchang berkata, “Penampilanmu tak menegaskan posisimu padaku, Nyonya. Kau orang suruhan – sama seperti gadis-gadis ini.”

Wanita itu tertawa mengejek, “Baiklah, kalau aku bujan majikan tempat ini, lantas siapa? Apa kau tahu, Tuan?”

“Wanita berbaju hitam itu. Yang kulihat sewaktu menaiki tangga. Aku ingin dia yang menemaniku.”

“Apa?”

Wanita berpenampilan menor itu kembali terpengarah. Bahkan kelima gadis saling pandang dengan gelisah.

“Dia cuma budak perempuan yang bekerja di dapur kami…,” kata wanita itu terbata-bata. “Akulah majikannya dan kelima gadis di sini jauh lebih baik daripada dia!”

Yuanchang tetap diam. Tanda dia tetap pada keputusannya. Wanita berpenampilan menor tidak punya pilihan lagi. Dia terpaksa bangkit dan keluar kamar. Berteriak di depan langkan,

“Da Niu! Panggil Jiejiemu – kakak perempuan, kemari!”

***

Wanita itu datang. Dia masih memakai qipao dan celana panjang hitamnya.

Ada perasaan senang dalam diri Yuanchang. Dia dapat melihat wajah wanita berbaju hitam itu dari dekat. Wajahnya memanjang berbentuk oval. Berdasarkan Shiang mien-ilmu meramal wajah, wajah seperti ini mencerminkan karakter orang yang berani berkorban demi hal-hal yang diyakininya. Sejak jaman negara-negara berperang di China, para jendral akan menaruh prajurit-prajuritnyanya dengan wajah oval seperti ini di garis depan untuk menjadi martir.

Alis wanita itu rapi dan tegas. Sepasang matanya berkilauan, menyiratkan kecerdasan tersembunyi. Untuk orang yang jeli seperti Yuanchang, wanita ini mustahil hanya seorang koki. Bibir wanita itu penuh. Hidungnya lurus dan tidak pesek. Rambutnya sehitam pakaian yang dikenakannya, tersisir rapi dan dikepang ke belakang.

Dia tidak mengenakan riasan apapun seperti kelima gadis. Yuanchang menebak usianya maksimal dua puluh tahun. Cara berjalannya tegak dan anggun. Tidak meliuk-liuk dan genit. Yuanchang yakin, dia bergaul akrab dengan kelima gadis penghibur. Tapi tingkah lakunya sama sekali tak terpengaruh oleh mereka.

“Apa Tuan memanggilku?” tanya wanita berbaju hitam itu.

"Ya. Aku ingin kau menemaniku makan,” jawab Yuanchang.

Wanita itu tersenyum. “Tapi kulihat kau sudah ditemani oleh banyak gadis. Mengapa masih memintaku menemanimu?”

Yuanchang tidak menjawab. Dia hanya menatap lurus wanita itu. Wanita berbaju hitam itu menghampiri sebuah kursi di depan Yuanchang. Lalu dia duduk.

“Masakan di sini mungkin tak seenak di tempat lain. Karena kami di gunung, kami kesulitan memperoleh garam apalagi di cuaca seperti ini.”

Yuanchang tetap diam.

“Atau Tuan khawatir makanannya beracun? Aku menaruh sesuatu pada masakan - kemudian anda memakannya dan terbius. Lalu aku akan memanggil orang untuk merampok anda?”

Yuanchang tersenyum dan memundurkan badan ke belakang kursi. Wanita berbaju hitam itu sepertinya terprovokasi. Dia mengambil sumpit cadangan lalu mulai mengambil masing-masing secuil dari tiga macam makanan yang terhidang di meja.

Yuanchang senang melihat cara wanita itu makan. Dia mengunyah makanannya dengan perlahan. Mulutnya masih tertutup rapat. Hanya kedua rahangnya yang bergerak-gerak.

Setelah wanita berbaju hitam itu menelan makanannya, semua orang menunggu. Beberapa saat berlalu. Tak terjadi apa-apa. Wanita berbaju hitam itu menantang Yuanchang, “Tuan, sekarang kau boleh makan. Masakannya tak beracun.”

Yuanchang kembali tersenyum. “Aku tak bilang makanannya beracun. Aku hanya ingin kau menamani kami makan. Itu saja.”

Wanita berbaju hitam itu terkecoh. Mungkin dia terlalu berlebihan tadi. Yuanchang, Wang Chao dan A Fu kini menyantap makanan itu dengan lahap. Wanita berbaju hitam itu hanya bisa mengisyaratkan para gadis untuk melanjutkan tugas mereka menghibur para tamu. Sementara dia tetap duduk di sana seperti permintaan Yuanchang.

***

Ketika santap malam selesai, wanita berpenampilan menor berkata pada Yuanchang.

“Apakah Tuan ingin salah satu dari gadis-gadisku menemani anda malam ini? Tenang, bayaran mereka lebih murah dari gadis-gadis di tempat lain.”

Tapi mereka bekerja sama dengan perampok. Dan menginformasikan kalau barusan mereka melayani tamu yang kaya, Yuanchang membatin.

“Aku menginginkan yang berbaju hitam. Yang lainnya, boleh pergi.”

Wanita berpenampilan menor dan gadis-gadis itu terkejut. Secara refleks gadis-gadis itu mengelilingi wanita berbaju hitam-seolah melindunginya. Wanita berpenampilan menor kembali meyakinkan Yuanchang.

“Aiya, apa bagusnya budak perempuan ini? Dia cuma pekerja kasar. Mana bisa dibandingkan dengan kelima gadisku yang cantik dan halus?”

Yuanchang menimpali, ”Wanita pekerja kasar tapi telapak tangannya sehalus gading?”

Wanita berbaju hitam terhenyak. Dia mengepalkan kedua tangannya yang putih rapat-rapat ke pangkuan. Rupanya Yuanchang mengamatinya dengan seksama sejak tadi.
Bahkan kedua tangannya pun tak luput dari pengamatan.

“Baiklah,” kata wanita berbaju hitam berat. “Malam ini aku setuju menemani anda, Tuan,”

“Jiejie!” kelima gadis berseru. Wanita berbaju hitam itu berdiri.

"Tuan tunggulah sebentar. Aku akan kembali dengan membawa selimut.”

***

“Tuan, tidakkah cukup berbahaya mengajak wanita itu bersama anda malam ini sekalipun dia berasal dari dapur?” Wang Chao bertanya ketika seluruh wanita telah pergi.

“Jangan salah,” jawab Yuanchang. “Aku justru meminta wanita itu kemari karena dia akan melindungi kita. Wanita itu bukan koki. Dialah pemilik tempat ini yang sesungguhnya. Dan jika aku bersama majikan mereka, para perampok itu akan berpikir sebelum mereka menyerang kita malam ini.”

Wang Chao dan A Fu mengerti. Seperti yang dikatakannya, wanita berbaju hitam itu kembali sambil membawa selimut. Selimut adalah tanda seorang wanita penghibur menemani tamu pria di daerah itu. Wang Chao dan A Fu undur diri. Pintu kamar tertutup. Yuanchang mempersilakan wanita itu duduk di hadapannya. Tapi dia sama sekali tidak menyentuhnya.

Sesungguhnya, Yuanchang hanya ingin bercakap-cakap dengan wanita itu. “Katakan, siapa namamu?” tanya Yuanchang

Wanita itu diam sejenak. Mungkin dia tengah mempertimbangkan apa yang harus dikatakannya. Pertanyaan Yuanchang ini bisa bermakna ganda. Wanita itu waspada.

“Kita sudah sedekat ini tapi belum mengetahui nama masing-masing. Baiklah, aku yang mulai lebih dulu. Namaku Yuanchang, margaku Zhu.”

Wanita itu menghela napas lega. “Namaku Xiaojie.”

“Xiaojie? Di selatan, itu panggilan bagi gadis-gadis yang belum menikah.”

“Benar. Tapi di sini gadis yang belum menikah dipanggil Guniang, jadi saya rasa nama Xiaojie tak masalah.”

“Pasti ada alasan kenapa sampai kau dinamakan demikian oleh orang tuamu.”

“Sebenarnya, saudara-saudara lelakikulah yang menamaiku demikian.”

“Oh, jadi kau punya saudara?”

“Ya, aku punya empat kakak dan seorang adik lelaki,” wanita itu tersenyum. “Kata mereka, sewaktu kecil aku sering menangis keras-keras dan susah berhenti sampai mereka ketakutan mendengarnya. Maka, meski berstatus sebagai adik, mereka segan padaku seperti kakak perempuan mereka. Itu sebabnya mereka menamaiku Xiaojie.”

“Lalu, kemana saudara-saudaramu itu? Apakah mereka juga berada di sini?”

“Tidak..,” Xiaojie mendadak gugup. “Kakak-kakakku…, mereka sedang pergi. Hanya adik lelakiku, Da Niu yang tinggal. Kurasa kau sudah bertemu dengannya tadi.”

“Ya, dia yang mengurus keretaku,” Yuanchang mengangguk. Keempat saudaranya pasti tengah bersembunyi di luar penginapan mengincar mangsa. Pintar sekali. Mereka perampok yang tidak pulang ke rumah ketika ada tamu. Dan menjadikan dua saudara lebih muda sebagai informan.”

“Mengapa kau berbaju hitam, Xiaojie?” tanya Yuanchang lagi. “Di tempat lain, bahkan gadis tukang cuci di rumah penginapan pun pakaiannya berwarna. Hitam itu sama dengan kesuraman. Jika terlihat tamu, mereka biasanya kurang suka.”

“Aku berpakaian seperti ini semenjak ibuku meninggal. Waktu itu usiaku dua belas tahun.”

“Kapan itu?”

"Sepuluh tahun lalu.”

“Artinya kau kini berusia dua puluh dua?” Yuanchang tertawa. “Sungguh… Kau lebih muda dari sangkaanku. Apakah kau akan berbaju hitam selamanya?”

“Tidak. Aku akan berbaju merah jika menikah kelak,” Xiaojie tersipu. “Anda sendiri, Tuan? Berapa usia anda?”

Yuanchang menghela napas, “Aku berumur tiga puluh tujuh tahun.”

“Anda juga lebih muda dari sangkaanku. Aku sempat mengira anda baru berumur tiga puluh,” Xiaojie memuji Yuanchang. “Anda pasti sudah menikah,” katanya sambil melirik dahi Yuanchang yang lebar dan hidungnya yang mancung. “Memiliki beberapa anak yang usia tertuanya mungkin tujuh belas tahun.”

Yuanchang menggeleng. Sebuah kalimat terlontar dari bibir tipisnya, “Aku belum menikah.”

Xiaojie menganga. Yuanchang menerawang. Seolah kembali ke masa silam.

“Aku pernah bertunangan sewaktu berumur dua puluh lima. Tunanganku gadis cantik delapan belas tahun. Kami hanya bertemu sekali. Tiga bulan sebelum pernikahan dia meninggal karena cacar.”

Xiaojie terkejut. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud mengungkit kenangan sedih Tuan.”

“Tidak apa-apa. Kau sendiri? Apakah kau sudah menikah?”

Xiaojie menggeleng. “Belum. Mana ada pria yang mau menikahi wanita yang bekerja di penginapan terpencil seperti ini? Setiap hari bersama wanita penghibur. Bahkan sekarang pun dia telah menjadi salah satu dari wanita penghibur itu.”

Yuanchang melihat Xiaojie dengan prihatin. “Kau pernah mendengar kisah Liang Hongyu?”

Xiaojie melirik Yuanchang. ”Aku gadis miskin yang tidak membaca banyak buku. Sejak kecil hidup terkurung di Linqing ini. Aku belum pernah mendengar nama itu.”

Jadi Yuanchang berkesempatan mendongeng, “Liang Hongyu adalah pahlawan wanita pada jaman Dinasti Song. Dia dijual ke rumah bordil ketika ayahnya kalah perang. Di sana dia menjadi wanita penghibur yang bertugas menyanyi bagi para tentara.”

“Liang Hongyu lalu bertemu dengan Han Shizhong-seorang perwira muda. Liang pernah menyelamatkan Han. Keduanya saling menyukai lalu menikah. Di kemudian hari Han Shizhong menjadi jendral besar. Liang Hongyu mendampinginya terus hingga akhir hayatnya.”

“Aku mengerti sedikit ucapanmu Tuan,” kata Xiaojie. “Maksudmu, wanita penghibur seperti aku juga punya peluang untuk menjadi pahlawan dan mendapat hidup yang layak. Tapi aku hanya gadis miskin yang dijual ke tempat memalukan ini untuk bertahan hidup. Tidak pandai melihat peluang seperti Liang Hongyu. Juga tidak punya kesempatan seperti itu.”

Yuanchang merasa Xiaojie merendah. Tapi perasaan gadis itu tergerak. Pertanda bagus. Tapi mendadak, Xiaojie bertanya, “Tuan Zhu… Sebenarnya siapa anda? Dari penampilan, anda bukan sarjana biasa. Dari percakapan, anda jelas lebih taktis dari pedagang. Apakah… anda seorang pejabat pemerintah?”

Yuanchang tidak menduga kalau Xiaojie bisa langsung menebak profesinya. Secara refleks, dia menyentuh peti berbungkus kain beludru di sampingnya.

“Kau tahu apa isinya ini?” pancing Yuanchang.

“Entahlah,” jawab Xiaojie, masih menatap Yuanchang lurus-lurus. “Bisa jadi itu hanya berisi gulungan lukisan. Atau kalau kau pejabat, mungkin peti itu berisi stempel.”

Yuanchang memutuskan saatnya mempercayai gadis itu. “Bukan keduanya. Isinya uang perak beserta sekumpulan surat berharga. Nilai keseluruhannya mencapai sepuluh ribu tael perak.”

Xiaojie terpana. Apakah Tuan Zhu ini cukup bodoh sehingga meceritakan rahasia sebesar itu padanya?

“Tuan, atas dasar apa anda menceritakan isi peti itu padaku?”

“Karena kau wanita yang cerdas dan baik hati. Aku percaya kau bukan wanita sejahat yang ingin ditampilkan tempat ini.”

Xiaojie menghela napas. Tubuhnya menggigil. Yuanchang baru sadar kalau pemanas di ruangan itu kehabisan batu bara. Dia lalu mengambil mantel bulunya dan memakaikannya ke pundak Xiaojie.

Percakapan pun berlanjut seperti dua orang teman dekat. Xiaojie bercerita tentang tiga saudara lelakinya yang merupakan anak adopsi – tapi mereka memperlakukan satu sama lain layaknya saudara kandung. Yuanchang bercerita kalau dia petugas pajak di Jiangsu. Di masa sulit ini berat baginya memungut pajak dari rakyat yang sedang kesusahan. Yuanchang mencemaskan kelangsungan Dinasti Qing. Di tengah serbuan negara asing dan pemberontakan dalam negeri, Yuanchang bimbang kalau Dinasti Qing mampu bertahan.

“Jika Dinasti Qing tumbang,” kata Xiaojie. “Para penyamun Linqing tak perlu takut keluar dari wilayah ini lagi.”

***

Tak terasa, subuh telah merekah. Sesuai peraturan, wanita penghibur harus keluar dari kamar tamu sebelum fajar menyingsing.

Xiaojie melepas mantel Yuanchang, bermaksud mengembalikannya.

“Tidak perlu dikembalikan. Ambillah,” kata Yuanchang. Dia juga memberi empat tael perak ke tangan Xiaojie.

“Saya tidak bisa menerima mantel atau uang anda,” Xiaojie mengembalikan uang itu. “Saya tidak melakukan apa-apa dengan anda. Jadi anda tidak pantas membayar saya.”

"Baiklah, kalau kau tidak mau menerima uang. Tapi kau harus menerima mantel itu. Di luar hawa sangat dingin. Lihat, salju mulai turun lagi. Kau akan membutuhkannya. Mantel ini aku berikan sebagai bentuk penghormatan. Kau adalah wanita yang istimewa, Xiaojie. Aku sangat menikmati perbincangan kita semalam.”

Xiaojie membungkuk untuk menghaturkan terima kasih. Dia lalu keluar dan menutup pintu. Hati Yuanchang tidak tenang. Meski telah semalaman bicara dengan gadis itu, Xiaojie belum gamblang mengakui siapa dirinya. Kira-kira sepuluh menit berlalu, pintu kamar Yuanchang kembali diketuk. Xiaojie muncul kembali.

“Aku akan jujur padamu, Tuan Zhu,” Xiaojie berkata sungguh-sungguh. Uap keluar dari mulutnya. “Aku sesungguhnya putri dari pemimpin perampok daerah sini. Keempat saudara lelakiku yang lebih tua, bersama anak buah mereka-berjaga di pos masing-masing untuk menjebak pelancong. Aku ditugaskan mengelola penginapan bersama adik kami, Da Niu. Kami menjadi mata-mata mereka.”

“Kadang-kadang jika terpaksa, aku juga turun tangan menemani tamu seperti semalam. Tapi aku bersumpah kalau aku masih suci. Aku menyembunyikan sebilah belati di balik lengan bajuku. Jika ada pria yang memaksa menyentuhku, aku tak segan-segan akan membunuhnya. Aku sangat menghargai ketertarikan anda padaku. Maka, nanti aku akan mengutus Da Niu membawa sebuah barang berharga kepada anda. Bawalah barang itu dan teruskanlah perjalanan anda sebelum salju mencair.”

Yuanchang terpana mendengarnya. Dia membungkuk dan mengucapkan terima kasih. Xiaojie kembali berlalu dari Yuanchang. Dia berlalu setelah memberi seulas senyum yang indah.

***

Setengah jam setelah Xiaojie berlalu, Da Niu muncul di depan pintu kamar Yuanchang. Dia membawa bungkusan kecil.

“Ini dari Jiejie. Pasanglah di kereta anda. Ini sangat berguna jika anda bertemu dengan para pencegat sampai di Yangliuqing.”

“Jika aku sudah memakainya, bagaimana cara mengembalikannya?” Yuanchang berpikir dia baru kembali ke Jiangsu selepas tahun baru dan akan melewati rute lain-bukan Linqing.

“Anda berikan saja pada pejabat di pos perbatasan Yangliuqing. Dia akan menyimpannya sampai salah satu dari kami menjemputnya.”

Yuanchang mengucapkan terima kasih. Dia hendak memberi uang satu tael perak kepada Da Niu. Tapi Da Niu menolaknya.

“Jiejie melarangku menerima uang.”

Setelah Da Niu pergi, Wang Chao dan A Fu mendatangi kamar tuan mereka. Yuanchang membuka bungkusan dari Xiaojie. Isinya bendera segitiga berwarna kuning. Sebuah bunga plum tersulam di tengah-tengah bendera dengan benang merah. Bendera itu panjangnya empat puluh sentimeter, lebarnya sekitar dua puluh lima dan tongkatnya setinggi lima puluh sentimeter.

“Dari mana Tuan mendapatkan ini?” tanya Wang Chao seolah tidak percaya. “Mari berangkat segera! Kita aman melintasi wilayah ini sekarang!”

Wang Chao mengikat bendera itu di sebelah kanan depan kereta. Setelah itu dia duduk di kursi sais didampingi A Fu. Sambil membawa petinya, Yuanchang pun berangkat.

Kira-kira dalam jarak sepuluh mil dari penginapan Gerbang Naga, kereta mereka dihadang oleh sekelompok pria berkuda. Pria-pria tersebut menutup separuh wajah dengan kain. Mereka bersenjata dan mengepung kereta itu. Yuanchang mengepalkan tangan, bersiaga seandainya bendera itu tak membantu.

Tapi kemudian dia mendengar percakapan dua pria yang wajahnya separuh tertutup itu.

“Kita tidak boleh menyentuh kereta ini. Ada bendera Xiaojie terpasang di atasnya.”

“Tapi dari informasi yang dibawa pengintai, semalam hanya ada tiga orang pria dalam satu rombongan yang menginap di Gerbang Naga. Pasti mereka inilah orangnya!”

“Kita harus menghormati keputusan Xiaojie. Benderanya terpasang – berarti dia melindungi orang-orang ini! Ayo pergi!”

Sekelompok pria berkuda itu bubar. Yuanchang merasa lega. Selanjutnya, berturut-turut empat kali keretanya dihadang rombongan pria berkuda memakai topeng dan bersenjata. Tapi semuanya tidak mengganggunya berkat bendera segitiga itu. Akhirnya, Yuanchang sampai dengan selamat di Yangliuqing.

Di pos perbatasan Yangliuqing dan Linqing, seorang petugas bernama Tuan Ding menyambut Yuanchang. Setelah saling berkenalan dan bertukar salam, Tuan Ding berkata,

“Anda adalah pejabat pertama dari selatan yang sampai di sini. Apakah anda melewati Linqing?”

“Ya. di musim dingin seperti ini tidak ada jalur lain lebih cepat menuju Ibukota selain lewat Linqing.”

Tuan Ding terbelalak. “Anda cukup nekat melalui daerah itu.”

“Kami bahkan bermalam semalam di sana.”

Mata Tuan Ding semakin terbelalak. “Anda sungguh berani. Apakah… anda bisa melalui daerah itu dengan aman?”

“Ya. Berkat itu…,” Yuanchang menunjuk bendera segitiga yang sedang dilepas Wang Chao. “Kata orang yang memberi bendera ini padaku, sesampainya di Yangliuqing, bendera ini harus kuserahkan pada petugas di pos perbatasan. Itu berarti anda, Tuan Ding.”

Tuan Ding terkesima menerima bendera itu. “Bendera ini… Apakah anda memperolehnya dari wanita berbaju hitam?”

“Ya…”

Tuan Ding tersenyum. “Ini pemberian yang sangat berharga. Biasanya wanita itu hanya memberikannya kepada rombongan yang berisi wanita dan anak-anak. Sepertinya dia menyukaimu, Tuan.”

Yuanchang teringat pada senyum manis Xiaojie dan wajah ovalnya. Hatinya terasa hangat.

***

Sementara itu di Gerbang Naga, keempat saudara lelaki Xiaojie berkumpul. Tahun baru sebentar lagi tiba. Mereka sepakat libur dari aksi merampok mereka dan kembali ke rumah.

Ayah mereka, pemimpin para perampok daerah Linqing juga ada di Gerbang Naga. Dia sudah berumur enam puluh lima tahun. Tapi masih kuat menunggang kuda dan mengangkat tombak yang beratnya lebih sepuluh kilogram dengan satu tangan.

Saudara-saudara Xiaojie bersantai. Mereka berkumpul di sebuah meja sambil makan kacang dan minum arak. Da Niu sibuk sana-sini memenuhi permintaan kakak-kakaknya. Ayah mereka baru muncul di ruangan itu, duduk di sebuah meja terpisah. Wanita berpenampilan menor menghampirinya dan bertanya, “Tuan Besar, kau mau minum apa? Makan apa?”

Alih-alih mendapat jawaban, pemimpin perampok itu malah bertanya, “Mana Xiaojie? Sejak tadi aku tidak melihatnya.”

Wanita berpenampilan menor itu cemberut. “Huh! Jauh-jauh pulang kemari yang pertama dicari adalah putrinya!” omelnya. “Dia sedang di kamar!” jawabnya asal-asalan.

Tidak lama, Xiaojie muncul di ruangan itu. Kehadirannya langsung membuat seisi ruangan senyap. Semua mata tertuju padanya. Xiaojie berjalan pelan, melewati meja saudara-saudaranya - menuju ayah mereka.

Pemimpin perampok menggelengkan kepala karena mengira istrinya hidup kembali. Tapi kemudian disadarinya, Xiaojie-lah yang berdiri di hadapannya. Putrinya memakai gaun pengantin istrinya.

“Xiaojie, kau berbaju merah?” abang tertua Xiaojie bertanya.

Xiaojie menatap ayahnya dan berkata, “Ketika ibu meninggal, aku bersumpah memakai pakaian hitam-hitam. Aku berikrar baru akan menggantinya dengan pakaian berwarna ketika menikah.”

“Dan ayah juga berjanji padaku. Bahwa jika suatu hari aku menyukai seorang pria, siapapun dia, ayah akan merestui kami dan mengijinkanku pergi dengannya.”

Xiaojie kini tepat di hadapan ayahnya. “Sekarang, aku telah menemukan pria itu. Dia adalah Tuan Zhu Yuanchang dari Jiangsu. Maka aku mengganti pakaian hitamku dengan gaun pengantin ibu. Memohon restu ayah untuk melepasku.”

Pemimpin perampok terhenyak dengan ucapan putrinya. Xiaojie telah berusia dua puluh dua tahun. Untuk ukuran gadis di tempat lain, dia sudah termasuk perawan tua. Tapi si kepala perampok selama ini tidak pernah keberatan putrinya tinggal terus bersamanya. Dia menyayanginya - melebihi kelima putranya.

Karena rasa sayang itulah, si pemimpin perampok mengijinkan putrinya memilih sendiri calon suaminya. Sekian tahun, putrinya tidak pernah memilih pria manapun. Lalu tiba-tiba, hari ini dia tiba-tiba mendengar putrinya telah menentukan pilihan.

“Apakah Tuan Zhu yang kau maksud adalah tamu yang barusan menginap di sini beberapa hari lalu?” tanya abang kedua Xiaojie. “Kau memberinya bendera segitiga untuk dipasang di keretanya. Pasti itu orangnya, bukan?”

Abang ketiga Xiaojie bergegas menghampiri Xiaojie. “Apa pilihanmu tidak salah? Dia seorang pejabat negara! Apa kau bisa bersuamikan seorang pejabat sementara ayah dan saudara-saudaramu adalah perampok?”

Xiaojie melihat kembali ayahnya. “Tuan Zhu pria baik. Dia sangat perhatian serta menghormatiku. Aku tak menyesal memilihnya.”

Ayah Xiaojie tidak kuasa menatap wajah putrinya. Dia buru-buru berbalik dari kursinya.

“Jika kau memang memilih pria itu sebagai pendampingmu, aku merestuimu.”

"Ayah? Tapi pria itu pejabat Kerajaan!” seru saudara-saudara Xiaojie.

“Meski aku penjahat,” kata si ayah sambil menahan isak. “Aku tidak akan ingkar janji pada putriku sendiri. Tapi kau harus ingat, selepas dari sini kau bukan putriku lagi. Kau adalah istri lelaki itu. Dan kami tidak akan pernah memanfaatkan posisimu sebagai istri pejabat untuk melindungi kami. Di masa mendatang, kami juga tidak mau ada sangkut-paut denganmu lagi.”

Si pemimpin perampok berbalik kembali dan melihat putrinya dengan wajah tegar. "Pergilah… Sarang penyamun ini memang tidak layak bagimu.”

Da Niu, yang sedari tadi diam tiba-tiba berseru, “Jika Jiejie pergi, aku akan ikut bersamanya!”

Semua orang terkejut. Termasuk Xiaojie sendiri. “Da Niu?”

Da Niu berlutut di hadapan Xiaojie. “Kumohon, bawalah aku bersamamu. Sejak kedua orang tuaku tewas dan aku dibawa kemari, kaulah yang paling perhatian denganku. Kau mengasihiku seperti adikmu sendiri. Karenanya, kemanapun kau pergi, aku ingin bersamamu. Sekalipun menjadi pembantumu, aku mau…”

"Da Niu, mana mungkin aku menganggapmu sebagai pembantu? Kau sudah belasan tahun bersama kami. Kau adalah saudara kami semua,” ujar Xiaojie.

Abang keempat Xiaojie berkata, “Sudahlah, bawa saja Da Niu bersamamu. Sejak kecil dia paling dekat denganmu. Lagipula bisa apa dia di sini? Badannya terlalu lemah untuk jadi perampok seperti kami. Mungkin dia tidak ditakdirkan menjadi garong di Linqing. Takdir anak ini ada di tempat lain dan kaulah yang membawanya ke tempat itu.”

Xiaojie menatap ayahnya. Dan pria tua itu mengangguk lembut, “Kalian berdua, pergilah dari Linqing.”

Sebutir air mata haru mengalir dari pipi Xiaojie. Dia dan Da Niu berlutut dan berkowtow hingga kepala menyentuh tanah.

“Terima kasih, Ayah. Terima kasih…”

***
Istana Kekaisaran, Kota Terlarang, Beijing, tiga hari setelah Zhu Yuanchang meninggalkan Yangliuqing..

Yuanchang kini berada di balairung Aula Keselarasan Agung-aula terbesar di Kota Terlarang. Aula itu begitu megah, luas dan tinggi. Puluhan tiang warna merah menyangga aula itu. Dekorasi langit-langitnya berwarna emas. Berukir lilitan-lilitan naga. Lantainya berubin hijau. Tidak akan roboh sekalipun seribu orang melompat sekaligus di tempat itu.

Yuanchang berpakaian resmi menghadap Kaisar. Sebuah jubah hitam yang bagian dadanya bersulamkan awan-awan. Pada tepi jubah itu terjahit tunik warna-warni. Yuanchang mengenakan topi pejabat yang dihiasi bulu merak. Sebutir batu rubi bertengger di atasnya. Dia juga memakai sepatu but mengilap. Ketika berjalan memasuki aula, kepalanya tertunduk ke bawah.

Seorang kasim memegang peti yang dibawa Yuanchang dari Jiangsu. Sesampainya di hadapan Kaisar, tanpa mengangkat kepala, Yuanchang mengayunkan tangan kanannya dan berlutut mengucapkan salam, “Hamba, Zhu Yuanchang menghadap Yang Mulia. Semoga Yang Mulia panjang umur. Wan Sui! Wan, Wan Sui!”

“Jaksa Zhu, silakan berdiri….”

Suara perempuan? Yuanchang membatin. Dia terpaksa mendongakkan kepalanya dengan hati-hati untuk mencari tahu. Kaisar Guangxu duduk kaku di tahtanya. Di belakangnya, di balik tirai sutra merah muda duduk sesosok lain. Seorang wanita yang semua orang tahu-kekuasaannya lebih besar daripada Kaisar itu sendiri. Bibi Kaisar, Ibusuri Cixi!

Yuanchang segera menundukkan kepala dan menghaturkan salam hormat lagi. “Maafkan kelancangan hamba yang tidak tahu kalau Yang Mulia Ibusuri juga berada di sini! Terimalah salam sejahtera dari hamba, Zhu Yuanchang. Semoga Yang Mulia Ibusuri panjang umur! Wan Sui! Wan, Wan Sui!”

“Kaulah pejabat pertama yang tiba di Ibukota,” kata Ibusuri Cixi. “Semalam, aku mendapat kabar kalau pajak dari Guangdong tertahan di Shandong. Kurasa, mereka dicegat perampok Linqing. Seandainya saja pasukan kerajaan tidak selemah sekarang karena usai bertempur dengan pasukan asing, aku pasti sudah memerintahkan mereka untuk menumpas gerombolan perampok itu!”

Yuanchang bergidik mendengar rencana Ibusuri. Dia teringat Xiaojie.

“Kau telah melaksanakan tugasmu dengan amat baik, Jaksa Zhu. Karenanya kau akan diberi imbalan yang pantas,” lanjut Ibusuri Cixi. Setelah itu, dia beserta dayang-dayangnya undur diri dari aula.

Setelah kepergian bibinya, Kaisar Guangxu turun dari tahta dan menghampiri Yuanchang.

“Jjj…aksa Zhu. Sss.. selama perjalanan kk.. kau pasti t.. telah b.. banyak menderita. Aa..ku seccara pribadi.. mm.. engucapkan tterima kasih pp..padamu.”

“Terima kasih, Yang Mulia,” jawab Yuanchang. Kaisar Guangxu terlihat senang dan menepuk pundak kirinya. Keduanya lalu berjalan bersama keluar aula.

Kaisar Guangxu adalah keponakan almarhum Kaisar Xianfeng, suami Ibusuri Cixi. Setelah putra mereka Kaisar Tongzhi meninggal lima belas tahun lalu, Ibusuri mengangkat salah satu keponakan suaminya yang berumur tujuh tahun sebagai kaisar baru. Ibusuri Cixi senang mengangkat kaisar bocah agar dapat menjadi wali mengontrol jalannya pemerintahan.

Kini Kaisar Guangxu berumur dua puluh dua. Bertahun-tahun tinggal di istana dengan gerak-gerik yang diawasi dan dikontrol oleh bibinya membuatnya jadi gagap. Kaisar Guangxu sangat takut pada bibinya. Ini bisa dirasakan semua orang jika mereka berada dalam satu ruangan. Kaisar akan mengkerut duduk di kursinya sementara bibinya yang mengambil alih.

Kini tanpa kehadiran Ibusuri, Kaisar tampak rileks di samping Yuanchang. Gagapnya pun sedikit berkurang.

“D.. dua hari lagi tahun baru. Jaksa Zhu, tinggallah lebih lama di Beijing. Dd..dan bertahun barulah di istana bersama kk.. kami…”

Yuanchang menghaturkan terima kasih. Setelah menemani Kaisar berkeliling di taman istana, Yuanchang keluar dari Kota Terlarang dan kembali ke wisma negara, tempatnya menginap.

Begitu memasuki wisma negara, Tuan Li, petugas pencatat tamu yang berdiri dekat pintu segera mencegat Yuanchang.

“Jaksa Zhu, ada sepasang pria dan wanita yang ingin menemuimu. Mereka kini berada di ruang tamu khusus.”

Kening Yuanchang berkerut. Sepasang pria dan wanita? Siapa?

Dengan langkah lebar, Yuanchang menuju ruang tamu khusus. Begitu memasuki ruangan, seorang pemuda lima belas tahun tengah duduk dan seorang wanita bermantel bulu hitam berdiri membelakanginya. Yuanchang langsung teringat, dia kenal sekali dengan mantel itu…

Pemuda yang duduk itu langsung berdiri begitu melihat Yuanchang. “Tuan Zhu!” sapa pemuda itu. Yuanchang menghampirinya dan mereka-reka.

“Kau…, kau Da Niu dari penginapan Gerbang Naga itu?”

“Ya! Aku orangnya!” sahut Da Niu bersemangat. “Aku kemari bersama Jiejieku!”

Yuanchang segera berpaling ke arah wanita bermantel hitam. Wanita itu juga sudah berbalik menghadap Yuanchang. Dia tersenyum. Wajah ovalnya tak pernah dilupakan Yuanchang sejak malam percakapan mereka di Gerbang Naga itu.

“Tuan Zhu, apa kabar?” Xiaojie memberi salam dengan menekuk lututnya.

Yuanchang nyaris tidak percaya. “Xiaojie… Bagaimana mungkin kau bisa berada di sini?”

Xiaojie tersenyum penuh arti pada Yuanchang. “Karena kisah Liang Hongyu anda. Kisah itu menyadarkanku kalau aku juga bisa seperti wanita-wanita itu. Dan aku memillih mengabdikan hidupku kepada anda.”

Xiaojie mengulurkan tangan. “Dengan ini aku bersedia menyerahkan seluruh masa depanku ke tangan anda, Tuan.”

Yuanchang terpana. Rasanya mustahil. Tiga hari yang lalu dia terperangkap di Linqing dan bertemu wanita ini. Berbincang-bincang dengannya dan wanita itu menolongnya. Sekarang, wanita itu hadir di sini dan mengatakan akan menyerahkan masa depannya kepada Yuanchang.

Kehangatan menjalar di seluruh tubuh Yuanchang. Perasaan yang telah terkubur tiga belas tahun silam muncul kembali. Yuanchang memastikan dirinya kembali jatuh cinta. Yang kini bahkan perasaannya lebih dalam dari belasan tahun lalu.

Xiaojie menunggu. “Jika anda tak menerima uluran tangan ini, Tuan, maka aku dan adikku tak punya tempat lagi untuk kembali.”

Yuanchang tertawa. Dia menyambut tangan Xiaojie. Menggenggamnya. Erat dan hangat.

2 komentar:

  1. Btw, ini cerita fiksi Oen Merlin sendiri ya? kereennn imajinasinya hebat, saluut oen :)

    BalasHapus
  2. kereeeeeeeeeeeeeeeeeen... aku suka cerita ini... detil pkaianny, detil suasananaya... pikiranku mengembra persis kalo baca novel2 hahaha

    BalasHapus