Welcome to my world

Segala cita-cita, impian dan gairah akan kisah-kisah China tertuang di sini.

Jumat, 16 April 2010

Di Men De Gu Se


Beberapa bulan beralu. Chen Deseng tak jua kembali ke Dimen. Apapun alasannya, Deseng telah ingkar janji.

Lianlian tak dapat menutupi perutnya yang membesar dari hari kehari. Jadi yang dilakukannya adalah bersembunyi. Dia tak pernah lagi muncul di kedai, atau pergi ke rumah Pemintal Bai. Ketiga Bersaudari Bai kadang-kadang datang menjenguknya. Mereka tak pernah berbincang soal ayah si janin, hanya menanyakan kesehatan Lianlian.

Meski berusaha dihindari, berita hamilnya Lianlian tetap menyebar ke seluruh Dimen. Ini mempengaruhi urusan pernikahan Jinlan juga. Jika sebelumnya pria tidak tertarik karena parasnya tidak secantik Lianlian, kini mereka mencap Jinlan murahan seperti sepupunya. Yang tertarik dengan Jinlan kini hanya seorang lelaki hidung belang. Dulu dia mengejar Lianlian tapi ditolak mentah-mentah. Kini, setelah mendengar Lianlian hamil, dia berpaling kepada Jinlan.

Lelaki itu telah mencegat Jinlan dua kali. Kali pertama, Jinlan berhasil meloloskan diri. Kali kedua, lelaki itu mencoleknya dan hampir berlaku tidak sopan jika Pemintal Bai tidak kebetulan lewat.

“Nona Jinlan, kau jangan jual mahal... Jika sepupumu bersedia dengan pemuda asing yang baru dikenalnya, mengapa kau tak mau denganku?”

Perkataan ini menjijikkan menurut Jinlan. Begitu piciknya pandangan orang-orang terhadap dirinya dan Lianlian. Jinlah ingin marah kepada orang-orang itu. “Pikirkanlah masalahmu dan jangan mengurus permasalahan orang lain!” Apakah hanya karena seorang wanita mengandung tanpa menikah, dia lantas dicap sebagai sampah dan wanita di sekelilingnya ikut tercemar?

“Sebaiknya kau jangan keluar sendirian. Lelaki seperti tadi bisa menghadangmu di jalan sepi,” ujar Bai Long yang berjalan di sisi Jinlan. “Adik-adikku takkan keberatan jika kau meminta mereka menemanimu.”

Jinlan hanya mengangguk pelan. “Terima kasih.”

Ketika telah sampai di depan rumahnya, Bai Long diminta Jinlan untuk berhenti mengantarnya. “Aku akan berjalan sampai ke rumahku sendirian saja. Terima kasih karena telah menolongku tadi, Pemintal Bai.”

Bai Long tidak segera masuk ke dalam rumahnya. Terlebih dahulu, dia melihat punggung Jinlan yang terus menghilang ke balik gerbang kedai. Bai Long mendesah. Apakah sekarang merupakan saat yang tepat untuk memberitahu Jinlan perasaannya yang sebenarnya? Bai Long tak pandai bicara. Jangan-jangan, Jinlan nanti justru merasa terhina oleh perkataanya.

Si Pemintal hanyut oleh pikirannya sehingga berdiri cukup lama di depan pagar. Dia tak tahu, dari dalam rumahnya, adik perempuannya - Dahong menyaksikan semuanya.

***
Tanpa terasa, bulan kedelapan datang. Para petani Dimen menuai panen sebelum datangnya musim dingin. Mereka memangkas lahan, mengemas hasil panen dan memasukkannya di bilik-bilik penyimpanan mereka.

Bulan kedelapan juga identik dengan festival pertengahan musim gugur. Di Dimen, orang-orang merayakannya dengan memberi persembahan kepada dewata. Mereka juga berpesta, menari, bernyanyi dan minum arak sebagai rasa syukur atas hasil panen yang baik.

Selain itu, festival pertengahan musim gugur juga ditunggu-tunggu oleh para muda-mudi. Di ajang ini seorang pemuda bisa mengutarakan perasaannya kepada gadis yang mereka sukai dengan memberinya selendang merah. Jika si gadis setuju, orang tua maupun keluarga si gadis tidak boleh menolak si pemuda. Mereka lalu dinikahkan secepatnya, sebelum bulan kedelapan itu berakhir.

Jinlan tak berkeinginan ikut perayaan. Tapi ketiga bersaudari Bai mendesaknya untuk pergi.

“Tahun ini aku tak punya baju baru untuk festival,” kata Jinlan. “Belakangan aku terlalu sibuk sehingga terlampau lelah menjahit baju baru.”

“Kau mencari-cari alasan,” sanggah Erhong. “Memangnya setiap kali ada festival kau harus memakai baju baru? Kenakan saja baju lamamu dan ikutlah berpesta!”

“Kau mungkin tak mau pergi karena bertenggang rasa dengan Lianlian. Tapi, kau juga harus memikirkan dirimu sendiri. Semenjak Lianlian hamil, kau cukup sibuk. Banyak pekerjaan yang dulu dilakukan Lianlian kini dialihkan padamu. Tak ada salahnya kau bersantai sejenak,” lanjut Dahong.

“Benar yang dikatakan kedua kakakku. Nah, begini saja, pada hari festival, kami akan kemari menjemputmu. Jika kau tak mau ikut….,” Xiaohong pura-pura mengancam. “Kami akan menyeretmu keluar!”

Pada hari festival, Jinlan berdandan dengan baju lamanya. Lianlian mengamatinya. Tahun-tahun sebelumnya, mereka berdua selalu menghadiri festival musim gugur. Seperti biasa, Lianlan paling populer. Dia selalu mendapat selendang merah. Tapi para pemuda pemberi selendang itu selalu dianggap kurang menarik oleh Lianlian. Lianlian menolak mereka satu-persatu dengan pongah. Tak peduli sikapnya melukai pria-pria tersebut.

Kini, Jinlan akan pergi bersama ketiga bersaudari Bai. Lianlian tak mungkin menghadiri perayaan dengan perut membusung seperti sekarang.

“Aku sebenarnya enggan pergi karena kau tak ikut,” Jinlan mendesah.

Lianlian menghiburnya. “Kau harus pergi. Seseorang harus bercerita padaku siapa-siapa yang mendapat selendang merah tahun ini.”

Ketiga saudari Bai datang menjemput Jinlan. Dari atas jendela kamarnya, Lianlian menatap kepergian mereka dan merasa sedih.

***
Pemintal Bai juga ikut larut dalam kegembiraan perayaan. Dia bergabung dengan kawan-kawan sebayanya. Minum arak perayaan sebagai ramah-tamah, ikut bernyanyi dan menari.

Jika ada kesempatan, Bai Long akan melihat Jinlan-yang tengah bersama dengan ketiga adik perempuannya. Entah karena suasana perayaan yang meriah atau arak yang diminumnya, kedua pipi Jinlan memerah. Dia terlihat segar, lebih baik dari terakhir kali Bai Long menolongnya dari si lelaki hidung belang.

Jinlan tertawa-tawa. Sepertinya, Ketiga adik Bai Long sedang menceritakan lelucon. Bai Long kembali ke teman-temannya. Berbincang-bincang dan bercanda. Lalu tiba-tiba bahunya ditepuk.

Dahong membungkuk di sampingnya sambil mengangsurkan sebuah selendang merah. Bai Long memandang adiknya dengan heran.

“Kakak, ambillah ini,” bisik Dahong. “Selama ini kau telah bertindak berani demi kami, adik-adikmu. Kini, lakukanlah satu tindakan berani bagi dirimu sendiri.”

Dahong mengedipkan sebelah matanya dan kembali ke Jinlan. Bai Long menatap selendang merah di tangannya dan memutuskan sudah saatnya bertindak.

***
Jinlan sempat terpingkal-pingkal dengan lelucon yang diceritakan Xiaohong. Dia tak menyadari kalau Dahong beranjak dari kelompok mereka.

Baru beberapa saat kemudian, Jinlan melihat Pemintal Bai bersama teman-temannya. Lalu Dahong muncul dan membungkuk di samping kakaknya seraya mengangsurkan selendang merah. Dahong membisiki Pemintal Bai sesuatu. Pemintal Bai menerima selendang merah tersebut dan mimik wajahnya berubah. Setelah itu Dahong kembali ke arah Jinlan dan adik-adiknya.

Jinlan kembali melihat ke arah Pemintal Bai. Pemuda itu kini bangkit berdiri. Selendang merah tergenggam di tangannya. Aha, jadi hari ini Jinlan akan menceritakan kepada Lianlian kalau salah satu pemuda pemberi selendang merah adalah Pemintal Bai!

Kawan-kawan si Pemintal bersorak dan bertepuk tangan. Orang-orang menunggu. Kira-kira gadis mana yang akan dipilih oleh Pemintal pemalu ini?

Jinlan juga penasaran. Dia terus mengawasi si Pemintal. Bai Long kini berjalan ke arahnya. Apa tidak salah? Jinlan merasa tak ada gadis lain yang sedang berdiri dekat sini selain dirinya dan ketiga saudari Bai.

Tiba-tiba Jinlan menyadari sesuatu. Dia tersentak. Pemintal Bai semakin dekat. Selendang merahnya melambai-lambai. “Tidak mungkin!” pekiknya. Jinlan melompat berdiri. Cawan araknya terjatuh.

Salah satu dari ketiga saudari Bai memegang tangannya. “Kau mau kemana?”

“Aku mau pulang!” Jinlan memberontak membebaskan tangannya. Setelah itu dia langsung lari.

Sorak-sorai dan tepuk tangan terdengar semakin keras. Jinlan mendengar orang-orang berteriak, “Kejar dia! Kejar dia!”

***
Jinlan berlari terus dan terus. Dia sampai di rumah, masuk gerbang dan mencoba menutup pintunya seperti orang kesetanan.

Tapi Pemintal Bai lebih cepat. Dia mendorong pintu yang sudah akan ditutup. Jinlan memekik. Akhirnya, Bai Long berhasil melangkah masuk.

Baik Jinlan maupun Bai Long, napas keduanya terengah-engah karena habis berlari. Di dalam rumah, Lianlian yang sedang sendirian di kamarnya mendengar kegaduhan di halaman segera turun untuk melihat. Tapi dia segera menghentikan langkahnya di depan pintu ketika dilihatnya Pemintal Bai dengan selendang merah di tangan, berdua saja dengan sepupunya.

Setelah agak tenang, Bai Long berkata pada Jinlan, “Aku bukan orang yang pandai bicara. Tapi aku ingin kau tahu perasaanku. Sejak dulu aku telah menyukaimu. Jika orang lain melihat Lianlian, aku sebaliknya hanya memandangmu.”

“Sekarang, tanpa bermaksud menghinamu seperti pria tempo hari… Maukah kau menerima selendangku ini, Nona Wu? Menemaniku hingga rambut kita masing-masing memutih?”

Bai Long mengangsurkan selendang merah kepada Jinlan penuh harap. Jinlan memandangnya lalu mulai menangis. Bai Long mungkin bukan pria yang bicaranya berbunga-bunga. Tapi ketulusan terpancar di matanya. Jinlan menutup wajah dengan kedua tangannya dan terus menangis hingga bahunya berguncang. Sesungguhnya, dia pun tak dapat berkata apa-apa dengan kebahagiaan ini.

Bai Long memegang bahu Jinlan. Gadis itu masih menangis tapi tak menghindarinya. Ini pertanda baik. Si Pemintal menarik Jinlan ke pelukannya dan membiarkan gadis itu menangis di bahunya. Setelah Jinlan tenang, Bai Long melingkarkan selendang merah ke leher gadis itu. Dan Jinlan mendongak tersenyum.

Lianlian bersandar di kusen pintu. Terharu dengan pemandangan di depannya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasa iri dengan Jinlan.

***
“Bagaimana, apa dandananku sudah baik?” tanya Jinlan cemas.

Lianlian yang duduk di samping ranjang menatapnya kagum. “Sempurna, sepupu. Kau pengantin tercantik yang pernah kulihat.”

Jinlan sedikit gugup di hari pernikahannya, tujuh hari usai menerima selendang merah si Pemintal. Dia menatap cermin. Memperbaiki topi pengantin yang dulunya merupakan milik Li Niang. Lianlian berdiri di sampingnya. Kedua gadis itu sama-sama menatap cermin. Melihat Jinlan menjadi pengantin, Lianlian dilanda kerinduan. Jika bukan karena wanita hamil dilarang menyentuh pengantin karena pamali, Lianlian pasti sudah memeluk Jinlan sekarang.

Lianlian mengingat Chen Deseng. Dan air matanya mulai jatuh. Dia buru-buru berpaling dari cermin. Jinlan melihatnya. Dia langsung memeluk Lianlian.

“Aku tak peduli dengan tahayul apapun soal pengantin dan wanita hamil yang tak bisa bersentuhan. Aku hanya ingin kau tahu, sepupuku sayang, aku selalu berdoa, agar kau juga bisa mengalami kebahagiaan yang kurasakan hari ini!”

Tangis kedua gadis itu pecah. Inilah mereka, dua sepupu yang sejak kecil selalu bersama – namun di tikungan hidup satu ini, jalan yang akan mereka lalui terpisah.

Lianlian melepaskan pelukan Jinlan dan buru-buru menghapus air mata di wajah sepupunya. “Jangan menangis, sepupu. Nanti bedakmu luntur…”

Jinlan mencoba tersenyum sementara Lianlian menghapus air mata dan meratakan bedaknya. Wu Xun memasuki kamar kedua gadis untuk menyampaikan kalau mempelai pria telah datang. Jinlan dan Lianlian berpegangan tangan erat. Sampai akhirnya dirasa cukup bagi Jinlan dan dia pun turun menyambut kehidupan barunya.

***
Sebulan setelah pernikahan Jinlan dan Pemintal Bai, Lianlian melahirkan. Bayinya laki-laki, diadopsi Wu Xun dan Li Niang, diberi nama Wu Shou.

***
Tiga bulan setelah melahirkan, Lianlian sudah mulai keluar rumah.

Namun, Lianlian belum siap menghadapi cibiran masyarakat mengenai dirinya. Di pasar, anak-anak bernyanyi jika melihatnya,

“Di Dimen ada sebuah keanehan. Seorang gadis yang tidak menikah mendadak punya anak. Setelah lahir, anaknya berubah jadi keponakannya.”

Para wanita usil dan pria-pria sok tahu juga menggosipkannya. Lianlian merasa tertusuk setiap kali ditanyai, “Lianlian, bagaimana kabar keponakan kecilmu?”

Kabar dari Chen Deseng tak pernah datang. Wu Xun mencoba menghubunginya lewat pemasok barang-barang keluarga Chen, tapi si pemasok telah pindah ke Yunnan.

Sementara di Guangzhou, pernikahan Chen Deseng dan Zhang Lijun yang sudah hampir setahun berjalan baik-baik saja. Mereka belum punya anak. Khawatir hal ini membebani pikiran Lijun, Deseng memintanya bersabar saja.

Setelah menikah Deseng baru menyadari, meski wajah Lijun dan Lianlian mirip, sifat keduanya sesungguhnya bertolak belakang. Mungkin karena Lijun dilahirkan dari keluarga berada – sejak kecil dididik dan terawat dengan baik. Sehingga sikapnya lembut dan cenderung berhati-hati. Deseng tidak pernah mengeluh soal istrinya. Zhang Lijun wanita baik dan merupakan teman yang paling cocok dalam pernikahannya.

Tapi bagaimanapun, Deseng masih memikirkan Wu Lianlian. Dia merindukan keriangan, spontanitas serta kepolosan ‘kekasih Dimen’-nya itu. Kenangan bersama Lianlian di Dimen senantiasa terlintas. Namun Deseng belum menemukan alasan tepat bagi keluarganya untuk pergi ke Dimen lagi.

***
Tahun baru datang lagi. Capgomeh tahun itu, Wu Lianlian tak lagi menjadi peri musim semi. Seorang gadis cantik - bunga desa baru, menjadi sang peri.

Harapan Lianlian untuk disunting Chen Deseng juga semakin tipis. Lianlian hanya bisa tersenyum kecut setiap kali mendengar satu-persatu teman sebayanya menikah. Setelah sepupunya, Jinlan, salah satu kawan mereka yang menikah tahun itu adalah Dahong, adik si Pemintal Bai.

Cibiran demi cibiran dari masyarakat tak kunjung juga berhenti. Kemanapun Lianlian pergi, bisik-bisik selalu menyertainya. Belakangan, Lianlian mendengar kalau orang-orang mencapnya sebagai aib di Dimen. Ini membuatnya tertekan. Akibatnya, ketika jatuh sakit, penyakitnya sulit sembuh.

Awalnya, Lianlian dikira batuk-pilek biasa. Tapi batuknya itu berlanjut hingga satu bulan kemudian. Dia kehilangan selera makan dan tubuhnya lemah. Belakangan, Lianlian lebih sering berbaring di ranjangnya. Li Niang pun akhirnya mengambil alih mengurus Wu Shou.

Suatu malam, pintu rumah pemintal Bai diketuk ketika semua orang sudah akan berangkat tidur. Ketika Bai Hu membuka pintu, tampak Wu Jie memegang lentera. Wajahnya cemas.

“Apakah Kakak Lian kemari?”

“Tidak,” jawab Bai Hu. “Kakak Lian tidak pernah kemari.”

Jinlan dan Bai Long menemui Wu Jie. “Mengapa malam-malam begini mencari Lianlian kemari?” tanya Jinlan.

“Kakak Lian, dia pergi dari rumah,” kata Wu Jie pada akhirnya. Jinlan, Bai Long dan Bai Hu terkejut. “Tak tahu kapan persisnya dia pergi. Kami baru tahu dia tak ada ketika Li Niang masuk kamarnya untuk menenangkan Wu Shou yang menangis terus.”

“Bagaimana bisa Lianlian keluar malam-malam begini? Bukankah dia sedang sakit? Kita harus mencarinya!” Jinlan berujar.

Bai Long mengerti kecemasan Jinlan. Maka dia menyarankan agar mereka ikut mencari Lianlian. Bai Long lalu menyiapkan sebatang obor dan lentera. Obor dipegangnya dan lentera diberikan pada Jinlan. Ketika hendak keluar, Bai Long berkata pada Wu Jie,

“Sebaiknya kita berpencar.”

“Setuju. Kakak Xun tadi telah mencari ke arah sana.”

“Kalau begitu, aku dan Jinlan akan menyisir daerah sini dan kau ke situ.”

Bai Long dan Jinlan mencari Lianlian hingga dekat perbatasan desa. Mereka memanggil-manggil nama Lianlian, berharap Lianlian mendengar dan menyahuti mereka.

Setengah jam lewat mencari, Lianlian masih juga tak kelihatan. Bai Long melihat Jinlan kelelahan. Bintik-bintik peluh muncul di keningnya. Belakangan Jinlan memang gampang lelah dan berkeringat. Khawatir istrinya mungkin sedang hamil, Bai Long menyuruh Jinlan beristirahat.

“Duduklah di sini dan tunggu aku. Aku akan mencari ke sebelah sana.”

Bai Long meninggalkan lentera sementara Jinlan duduk di sebuah batu. Ketika duduk dan menghapus peluhnya, sayup-sayup Jinlan mendengar seseorang bernyanyi. Awalnya, Jinlan mengira itu hanya perasaannya saja. Tapi nyanyian itu terus terdengar hingga mengusik Jinlan.

Dengan lentera yang ditinggalkan Bai Long, Jinlan mencari asal nyanyian itu. Nyanyian itu menuntunnya melewati gerbang perbatasan desa, menuju ke sebuah tanah lapang tempat dulu dimana dia, Lianlian dan Wu Jie bermain bersama para saudara Bai.

Dan pemandangan di tanah lapang itu, sungguh tak terduga oleh Jinlan. Sepupunya, Lianlian, tengah bernyanyi dan menari di tanah lapang itu – seperti setahun lalu ketika mereka bermain sandiwara ‘Kaisar Tang di Istana Bulan’ di sana. Lianlian bernyanyi seolah-olah Chen Deseng ada di sampingnya. Dia hanya mengenakan pakaian tidurnya dan rambutnya tergerai tak disisir.

Jinlan diam terpaku dan mulai terisak. Agak lama bagi Lianlian baru menyadari kehadiran sepupunya di tempat itu. Ketika melihat Jinlan, Lianlian berhenti sebentar. Lalu dia berkata, “Jinlan, kau datang tepat waktu. Lihatlah, bukankah Chen Deseng ini pantas memerankan Kaisar?”

Tangis Jinlan pecah. Lututnya lemas hingga dia jatuh berlutut. Lianlian buru-buru menghampirinya dengan panik. “Kau kenapa, sepupu?”

Jinlan memegang tangan Lianlian dan mendongakkan kepala melihatnya. Sinar bulan yang purnamanya tak sempurna memucatkan wajah Lianlian. Ini bukan lagi Wu Lianlian – si kembang desa Dimen yang dikenal Jinlan. Wu Lianlian ini lebih menyerupai hantu. Hantu wanita yang malam-malam menanti kekasihnya di tempat pertama kali mereka bertemu.

“Aku benci! Aku benci dengan lelaki yang menyebabkanmu menjadi begini, sepupu,” Jinlan berkata terisak-isak. “Aku benci Chen Deseng!”

Lianlian terdiam sesaat lalu bergumam, “Kau tak boleh membencinya. Dia sudah berjanji akan datang menjemputku. Apalagi aku telah memberinya Wu Shou kecil.” Kemudian Lianlian juga terisak. “Tapi aku sangat merindukannya. Begitu rindu sehingga aku datang kemari. Jinlan, mengapa Deseng belum datang menengokku? Padahal dia telah berjanji…”

Lianlian juga jatuh berlutut di hadapan Jinlan. Ketika Bai Long sampai di tempat itu, kedua wanita itu saling berpelukan dan menangis bersama.

***
Kondisi Lianlian terus menurun. Dia sering demam dan pada malam hari tidurnya tidak nyenyak serta selalu bermimpi. Tabib yang memeriksanya berkata pada Wu Xun, “Jika mau penyakitnya sembuh, sebaiknya pertemukan dia dengan orang yang dicarinya. Aku khawatir jika lewat sebulan ini, dia tak sanggup lagi bertahan.”

Wu Jie mendengar perkataan tabib. Setelah mempertimbangkan masak-masak, dia pun mengambil tindakan diam-diam pergi ke Guangzhou. Khawatir kakak-kakaknya tidak mengijinkan, Wu Jie pergi diam-diam. Dia hanya meninggalkan sepucuk surat berisi tulisan cakar ayamnya:

“Ke Guangzhou. Mencari Chen Deseng.
Wu Jie"

Wu Jie belum pernah ke Guangzhou. Dia hanya tahu kalau Guangzhou terletak di propinsi Guangdong di timur. Maka, Wu Jie berjalan ke arah timur. Sepanjang jalan dia bertanya kepada orang-orang, apakah Guangzhou sudah dekat? Beberapa menjawab masih jauh. Lainnya menjawab sama tapi juga menunjukkan jalan mana yang harus dilaluinya.

Wu Jie sampai di perbatasan Guangdong pada hari kelima perjalanannya. Tapi bekalnya mulai habis. Wu Jie terpaksa mengharapkan belas kasihan orang lain dengan cara meminta-minta. Suatu hari, dia lewat di sebuah desa. Salah seorang penduduk memberinya makan. Ketika melihat pakaian dan penutup kepala Wu Jie, orang itu bertanya.

“Kau berasal dari Dimen?”

“Ya,” jawab Wu Jie.

“Kudengar orang-orang di sana pandai bernyanyi dan menari. Apakah kau termasuk?”

“Ya…, aku bisa menyanyi dan menari sedikit,” Wu Jie merendah.

Orang itu tertawa. “Kalau begitu, sebagai ganti dari makanan yang kuberikan, maukah kau bernyanyi?”

Wu Jie berpikir sejenak. Orang ini sudah berbaik hati memberinya makan. Mengapa mengeluarkan sedikit suaranya saja dia tak sudi?

“Baiklah, aku akan bernyanyi untukmu. Sebenarnya lagu-lagu kami hanya berisi kisah-kisah pengalaman hidup sehari-hari. Seperti cerita. Apakah kau masih mau mendengarnya?”

Orang itu tak keberatan. Maka, Wu Jie mengeluarkan gendang kecil yang dibawanya dari Dimen. Dia memukul gendang itu sambil coba bernyanyi. Tapi tak ada cerita yang bisa dilagukannya. Tiba-tiba dia teringat kisah kakaknya, Lianlian.

Dung! Dung! Dung! Dung! Dung! Dung!

“Di Guangxi ada sebuah desa di ujung waktu – namanya Dimen, hei! Namanya Dimen.
Ada seorang gadis cantik rupawan tinggal di sana. Namanya Lianlian. Dia gadis paling cantik. Paling, paling cantik!”

Dung! Dung! Dung! Dung! Dung! Dung!

Wu Jie terus bernyanyi hingga kisahnya usai. Orang itu mendengarnya dengan seksama. Dia menyukainya. Belakangan, Wu Jie tahu kalau dia bisa bertahan hidup selama perjalanan dengan mengamen seperti itu. Jadi, jika bekalnya telah habis, dia akan bernyanyi di kumpulan orang dan orang-orang yang tertarik biasanya memberinya uang receh.

"Suatu hari Lianlian bertemu dengan pria dari Guangzhou. Namanya Chen Deseng. Dia putra pedagang. Katanya sangat kaya. Sangat, sangat kaya.
Keduanya jatuh cinta dan Chen Deseng merayunya. Dia berjanji akan menikahi Lianlian. Berjanji dan berjanji."

Wu Jie tiba di Guangzhou pada hari kesepuluh perjalanannya. Kota Guangzhou sangat ramai dan besar. Dan pastinya banyak orang bermarga Chen di sana. Mencari seorang bernama Chen Deseng pasti sulit di kota sebesar itu.

Tapi Wu Jie tak hilang akal. Dia terus mengamen. Di luar dugaan, orang-orang di Guangzhou menyukai nyayian dan kisahnya. Bagi mereka penampilan Wu Jie sungguh unik dengan pakaian khasnya.

Keuntungan lain dari mengamennya Wu Jie adalah kisah ini jadi cepat tersebar di seantero Guangzhou. Wu Jie yang sebelumnya mengamen di jalanan mulai dipanggil bernyanyi di kedai-kedai minum yang biasa didatangi orang-orang kaya. Dan tiap kali Wu Jie menuturkan kisahnya, para pendengarnya berbisik-bisik,

“Apakah Chen Deseng dalam kisah ini adalah putra Tuan Chen yang itu? Kudengar mereka pernah coba mengembangkan usaha ke Guangxi.”

“Kalau memang betul, sungguh tak terduga, anaknya bisa melakukan hal seburuk itu. Merayu seorang gadis desa sampai hamil lalu mencampakkannya. Bukankah sekarang dia telah menikah dengan putri pemilik kapal dari Macao?”

Bisik-bisik ini akhirnya suatu hari sampai ke Tuan Besar Chen. Seorang koleganya memberitahunya kalau di sebuah kedai minum elit, setiap sore ada pertunjukan nyayian Dimen. Penyanyinya seorang anak lelaki enam belas tahun. Nyanyiannya mengisahkan seorang gadis Dimen yang dicampakkan pria asal Guangzhou.

“Nama pria dalam nyanyian itu sama dengan putramu Tuan: Chen Deseng!”

Maka, untuk mengecek kebenarannya, Tuan Besar Chen mengunjungi kedai minum itu bersama keponakannya, Dehui. Pada sore hari seperti yang dibilang koleganya, si anak lelaki Dimen itu bernyanyi di tengah-tengah panggung sambil memukul genderangnya. Dehui ingat anak lelaki itu. Ketika anak itu mulai bernyanyi, Tuan Besar Chen menyimak. Sialnya, kata-kata koleganya tak salah. Syair lagu itu memang membeberkan aib percintaan putranya dengan ‘kekasih Dimen’-nya.

Usai bernyanyi, Tuan Besar Chen meminta si penyanyi menemuinya di ruang khusus. Wu Jie datang. Sewaktu melihat Dehui, Wu Jie mengenalinya. Dia langsung menghambur ke arah Dehui, bersujud-sujud memohon.

“Pertemukan aku dengan Chen Deseng, Tuan. Katakan aku mencarinya. Dia harus pergi ke Dimen menemui kakakku. Kakakku sakit keras karena memikirkannya setiap hari!”

Tuan Besar Chen tahu masalah ini sangat pelik. Apalagi, Wu Lianlian telah melahirkan anak lelaki keturunan Chen. Ini harus segera diselesaikan.

Pertama-tama, Tuan Besar Chen mempertemukan Wu Jie dengan Deseng dan Lijun. Lijun, yang tidak tahu-menahu masalah Lianlian sejak awal pernikahannya sampai sekarang menjadi sangat terpukul. Dia bahkan tak mau bicara dengan Deseng.

Tuan Besar Chen berunding dengan istrinya. “Karena Wu Lianlian telah melahirkan anak lelaki, maka kita tak boleh mengabaikan keberadaannya. Statusnya mesti diakui. Dia akan menjadi istri muda Deseng dan putra mereka akan menjadi cucu dalam pertama kita.”

Sementara Lijun, setelah seharian mendiamkan suaminya, akhirnya berkata,

“Terus terang aku kecewa. Ketika menikah denganmu, aku murni dan suci. Tapi kau tak pernah berterus terang padaku soal masa lalumu. Sebagai wanita aku merasa dibohongi dan cemburu. Apalagi, dia bahkan telah memberimu seorang putra.”

Lijun berusaha tegar. “Tapi nasi telah menjadi bubur. Yang bisa kita lakukan sekarang hanya memperbaiki keadaan agar tidak menjadi lebih buruk. Kudengar kemarin adiknya berkata kalau Lianlian sedang sakit. Jemputlah dia kemari. Sembuhkan sakitnya dan kita bersama-sama membina keluarga mulai lagi dari awal.”

“Kau akan menerima Lianlian?” tanya Deseng ragu-ragu.

Lijun mengangguk. “Dan aku berjanji padamu. Aku akan memperlakukan dia dan putranya dengan baik. Kau bisa memegang kata-kataku.”

Deseng menghela napas. Dia amat berterima kasih pada kebaikan Lijun. Istrinya merupakan sahabat wanita yang paling pengertian. Deseng berikrar pada dirinya: rasa sayangnya pada Lijun tak akan berkurang meski Lianlian telah berada di sini nanti.

***
Keputusan tentang Wu Lianlian telah diambil. Dehui diutus menjemput calon istri sepupunya di Dimen sambil membawa seserahan dan beberapa pelayan wanita.

Rombongan itu tiba di Dimen dan sungguh mencolok. Orang-orang mengikuti mereka sampai ke kedai Wu Xun.

Ketika mendengar kalau dia telah diterima menjadi calon menantu keluarga Chen, Lianlian sontak bangkit dari ranjangnya. Wajahnya langsung berseri. Dia memegang tangan Jinlan yang kebetulan berada di kamarnya, dan mereka berputar.

“Sudah kubilang Deseng pasti datang bukan? Dia menjemputku. Dia akan membawaku ke Guangzhou.”

Dengan terhuyung-huyung, Lianlian berdandan. Dia memoles bedak dan pemerah bibir di wajahnya. Para pelayan yang dibawa Dehui dari Guangzhou membantunya memakai cheongsam. Rambutnya ditata sedemikian rupa hingga serasi dengan cheongsamnya. Lianlian adalah wanita Dimen pertama yang memakai cheongsam.

Wu Xun berunding dengan Dehui. Karena Wu Shou kecil baru saja sakit, dia masih rentan dengan perjalanan jauh. Jadi sebaiknya, Wu Shou tetap tinggal di Dimen dulu.

Lianlian begitu bahagia. Akhirnya… dia bisa menegakkan kepalanya lagi bertemu orang-orang. Orang-orang yang dulu mencibirnya, menggosipkannya, kini berbaur dengan orang-orang lain mengelukan Lianlian.

Sewaktu perpisahan dengan seluruh keluarganya, Lianlian berurai air mata. Lianlian memeluk Jinlan terakhir kalinya. Dia berkata pada sepupunya itu, “Aku akhirnya mengambil jalanku sendiri. Meski demikian, ingatlah aku sepupu. Tulislah surat untukku dan jenguklah aku ke Guangzhou sesekali.”

***

Orang-orang mengantar Lianlian sampai ke gerbang desa. Lianlian bahagia sekali. Sepanjang perjalanan wajahnya berseri. Lianlian diberitahu Dehui, mereka mungkin akan tiba di Guangzhou dalam waktu lima hari.

Tapi lusanya Lianlian mulai merasa tak enak badan lagi. Dia gelisah terus di dalam tandu. Tidurnya juga tak lelap di malam hari. Dia kembali demam dan batuk. Pada hari keempat, rombongan terhadang badai – padahal jika tidak, mereka sudah akan tiba di Guangzhou besok pagi.

Dehui memutuskan agar perjalanan tidak dilanjutkan. Apalagi dia melihat wajah Lianlian begitu pucat. Karena tak menemukan penginapan, mereka lalu bermalam di sebuah kuil Dewi Guanyin.

Malamnya setelah badai berhenti, Lianlian pergi ke aula karena tak bisa tidur. Dia membakar dupa, berdoa kepada arca Guanyin yang dipoles warna keemasan.

“Dewi Welas Asih, kumohon tolonglah aku. Hatiku sedang gelisah. Aku dalam perjalanan menemui calon suamiku sementara putraku masih tertinggal di Dimen. Mungkin ajalku akan segera tiba. Karma baikku pun tak sanggup memperpanjang usiaku. Tapi kumohon, berilah aku satu kesempatan lagi untuk bertemu Chen Deseng.”

Air mata Lianlian menitik. Dia bersujud di hadapan arca Guanyin – sementara asap di pedupaan mengirim doanya.

***
Keesokan paginya Chen Deseng menanti dengan gelisah saat-saat kedatangan Dehui dan Lianlian. Dia dan Lijun telah bersiap menyambut Lianlian. Namun, tanda-tanda kedatangan rombongan tak juga terlihat hingga tengah hari.

Rombongan baru tiba menjelang sore hari. Dehui masuk lebih dulu. Deseng segera menghampiri sepupunya dan menanyai.

“Kami tertahan badai kemarin. Selain itu, Lianlian sepertinya tak terlalu sehat. Jadi kuputuskan tak melanjutkan perjalanan.”

Mendengar calon istrinya sakit, Deseng segera keluar menemui Lianlian. Di lluar gerbang rumahnya, Deseng melihat Lianlian turun dari tandu dibantu seorang pelayan. Deseng terlalu terkesima melihat Lianlian – yang memakai cheongsam putih.

Lianlian berpaling ke arah Deseng dan tersenyum padanya. Ah, meskipun Lianlian tak memakai baju dan topi Dimen-nya, senyumannya tetap seindah dulu.

Lianlian merasa dunia seperti terhenti saat ini. Sewaktu Deseng mengulurkan tangan hendak merangkulnya, semua yang dilihat Lianlian terasa berputar dan dia pun jatuh tersungkur.

“Lianlian!” Deseng berseru. “Lianlian! Bangunlah!”

Tapi Wu Lianlian tak pernah bangun lagi.

Yang dijenguk Jinlan bertahun-tahun kemudian di Guangzhou hanya pusara sepupunya.



Selesai.

A Tale Of Dimen


Keesokan pagi setelah permainan sandiwara ‘Kaisar Tang di Istana Bulan’, Chen Deseng kembali mencari sang peri musim semi.

Kali ini dia lebih siap. Deseng telah tahu nama sang peri adalah Wu Lianlian. Dia adik perempuan pemilik kedai minum dekat Jembatan Dua Phoenix. Lelaki yang memanggilnya pulang kemarin adalah kakaknya, si pemilik kedai. Anak lelaki yang mengolok Deseng adalah adiknya. Dan perempuan bertubuh jangkung yang pulang bersama ketiga bersaudara itu ialah sepupu mereka.

Deseng tahu pencariannya terhadap Wu Lianlian masih ditentang sepupunya, Dehui. Tapi Deseng tak ambil pusing. Toh sepupunya tak bicara dengannya dua hari belakangan. Deseng dan Dehui memang berbagi kamar di penginapan. Namun malam sejak Deseng menolak pulang telah membuat suatu pemisah tak kasat mata di antara keduanya.

Dehui sadar tak ada gunanya menasehati Deseng. Karena semua nasehat akan berubah menjadi debat. Dan Dehui pasti kalah berdebat dari Deseng. Deseng tengah dilanda asmara. Mati konyol sekarang pun, sepupunya tak akan menyesal.

Dehui menyelesaikan beberapa urusan penting. Di antaranya, masalah kepindahan pemasok barang-barangnya. Pria itu memang penduduk lokal Dimen. Tapi istrinya berasal dari sebuah desa kecil di Yunnan. Sebulan lalu, adik lelaki istrinya meninggal karena radang paru-paru. Sepeninggal sang adik, tak ada orang lain yang bisa menjaga Ayah mereka yang telah uzur - karena dia bersaudara cuma dua orang.

Maka kepada Dehui, si pemasok mengutarakan keinginannya untuk pindah ke desa asal istrinya itu. Desa tersebut terletak jauh di utara Dimen. Juga agak terpencil. Dehui tengah mempertimbangkan apakah dia akan mencari pemasok baru di Dimen atau menyurvei desa asal istri si pemasok. Prospek mana kira-kira paling menguntungkan?

Urusan ini selesai kira-kira dalam dua hari. Dan setelah itu Dehui akan langsung pulang ke Guangzhou. Tak peduli Deseng akan ikut atau tidak. Dehui tak gentar menghadapi kemurkaan paman dan bibinya karena kembali tanpa putra kesayangan mereka. Dia tak mau mengemongi sepupunya itu terus-menerus seperti pengasuh.

Kembali ke pencarian Chen Deseng. Pagi itu dia berjalan selama hampir sejam dari penginapan ke kedai-rumah tempat tinggal Wu Lianlian. Berjalan sedemikian lama merupakan pengalaman baru bagi Deseng. Di Guangzhou, untuk pergi ke tempat sejauh ini dia biasa naik rikshaw atau tandu. Maka, sesampainya di Jembatan Dua Phoenix, napasnya sudah terengah-engah dan peluh membasahi keningnya.

Gerbang kedai itu tertutup. Deseng ingat kalau kemarin kakak Lianlian berpesan agar adik-adiknya tak membuka kedai. Deseng menghampiri gerbang kedai setinggi dua meter dan ditempeli dua gambar dewa penjaga pintu. Pada saat bersamaan, pintu terbuka dan kepala Wu Jie terjulur keluar.

Wu Jie tengah menengok keluar kalau-kalau ada hal yang menarik perhatiannya pagi itu. Tapi yang ditemukannya justru orang yang merampas perannya kemarin sore.

“Hei kau! Mau apa kemari?” hardik Wu Jie. Dia tak menyangka si pemuda Han ini bisa menemukan rumahnya.

“Aku kebetulan lewat,” dusta Deseng. “Dan aku haus,” kali ini benar. “Adakah semangkuk teh yang bisa kau tawarkan padaku di kedaimu, anak muda?”

“Huh!” Wu Jie mencibir. “Apa kau tak lihat bendera kedai kami tidak dikerek? Itu artinya kami tak jualan hari ini!”

Deseng melihat tak ada bendera kedai di gerbang. Cuma tiangnya saja yang terbuat dari bambu. Wu Jie acuh tak acuh. Deseng meringis. Bocah lelaki di hadapannya ini senang melihatnya menderita rupanya.

Karena sudah sejauh ini, tak mungkin bagi Deseng untuk mundur kembali. Dia bertanya pada Wu Jie,

“Kakakmu, Nona Lianlian, apakah dia ada di dalam?”

Wu Jie membelalakkan mata sebesar-besarnya. “Dari mana kau tahu nama itu? Apa maksudmu mencarinya?”

“Maksudku baik,” timpal Deseng. “Aku hanya mau menemuinya.”

“Maksud baik bagaimana?” tantang Wu Jie. “Seorang pria asing mencari gadis yang belum menikah di rumahnya-memangnya punya maksud apa?!”

“Hei, hei, ada apa ribut-ribut?” seseorang mencoba melerai.

Deseng mendongakkan kepala. Lianlian berdiri di pintu. Mendengar adu mulut adiknya dengan seseorang, Lianlian lekas datang melihat.

Dan alangkah terkejutnya Lianlian sewaktu melihat Deseng. Bagaimana tidak? Pemuda yang hadir di mimpinya semalam, pagi ini muncul di depan pintu rumahnya! Lianlian sontak gugup. Kedua pipinya terasa hangat. Namun dia mencoba mengendalikan diri dan berkata tenang.

“Tuan, apa yang kau cari di sini?”

“Pagi ini aku telah berjalan jauh. Sekarang aku kehausan. Kulihat ada kedai di sini jadi hendak mampir untuk minum.”

“Tapi hari ini kami tidak buka. Tak ada teh yang bisa ditawarkan.”

“Semangkuk air putih pun tak mengapa…,” Deseng memelas.

Lianlian diam sejenak lalu berkata kepada Wu Jie. “Masuklah ke dalam dan ambilkan semangkuk air putih bagi Tuan ini.”

“Kau hendak memberi minum orang asing ini? Tapi Kak…”

“Jangan membantahku!” Lianlian menegaskan. Sambil menggerutu, Wu Jie masuk ke dalam rumah. Lianlian dan Deseng terdiam namun saling curi pandang. Lianlian merasa pipinya semakin panas.

Wu Jie muncul sambil membawa semangkuk air putih dalam mangkuk kayu. Disodorkannya mangkuk itu kepada Deseng dengan gerakan tak ramah. Deseng menebalkan muka. Menerima mangkuk itu dan meminum isinya sampai habis. Setelah itu dia terceguk puas.

“Kakak, dia sudah selesai minum, seharusnya dia sudah pergi!” Wu Jie berkata tak sabar kepada Lianlian karena dilihatnya kakaknya itu termenung.

Lianlian memaksa dirinya agar tidak gugup, “Benar, seharusnya kau pergi Tuan. Pemilik kedai sedang tak berada di rumah. Jadi sebaiknya kau kembali jika dia sudah pulang…”

Setelah berkata demikian, Lianlian segera berbalik dan menghilang di belakang gerbang. Deseng hendak menyusulnya tapi dirintangi Wu Jie.

“Hei, kau tak boleh masuk! Kau sudah diberi minum gratis, sekarang saatnya kau pergi! Sana!”

Wu Jie mendorong Deseng. Lalu masuk menutup gerbang. Deseng berniat menggedor. Tapi terhenti dan mendengar percakapan kedua bersaudara itu di balik gerbang.

“Kau tak seharusnya bersikap begitu,” protes Lianlian. “Bagaimanapun dia tamu!”

“Dia bukan tamu! Dia pembual!” balas Wu Jie sengit.

Deseng meninggalkan gerbang namun berdiri tak jauh dari sana. Dia terus mengawasi gerbang kedai yang tertutup. Berharap pintunya terbuka dan seseorang mengijinkannya masuk.

Kira-kira setengah jam kemudian, Lianlian muncul lagi. Dia melongokkan kepalanya keluar gerbang sambil mencari-cari. Deseng berjalan mendekat perlahan dan mengagetkan Lianlian dengan sebuah tepukan. Lianlian terlonjak.

“Kau belum pergi?” tanya Lianlian.

“Belum. Karena aku belum bicara denganmu…”

“Tapi tadi kan kita sudah bicara…”

“Ya, sambil diawasi oleh adikmu yang pemarah.”

Lianlian menunduk tersipu. Deseng tidak ragu-ragu menggenggam tangannya dan berkata, “Maukah kau berjalan-jalan bersamaku?”

Lianlian mengangkat kepalanya. Wajahnya berbinar. Dia menengok ke dalam rumah sekali lagi. Tak ada siapa pun di halaman. Wu Jie tengah asyik bermain dengan jengkrik-jengkriknya di kamar. Sementara Jinlan sedang berada di ‘kamar arak’. Itu adalah ruangan gelap dengan pencahayaan minim untuk memfermentasi arak.

Adik dan sepupunya pasti mengiranya pergi menemui ketiga Bersaudari Bai. Kalau begitu, ini saat yang tepat untuk kabur sejenak bersama pemuda Han rupawan ini!

***
Lianlian mengajak Deseng menyuri hutan-hutan di perbukitan Dimen. Juga menyisiri sungai. Bukit di Dimen sebagian tertutup oleh warna hijau pepohonan dan rumput. Tapi di tempat tertentu gundul dan hanya terdapat bebatuan berbentuk aneh.

Uniknya, masyarakat Dimen menamai batu-batu itu. Sepanjang jalan, Deseng telah diberitahu Lianlian beberapa nama seperti: bukit siput-karena bukit batu yang menjulang naik itu melingkar seperti cangkang keong, bukit lotus-karena batu-batu yang terpahat oleh alam di sana seperti kuncup-kuncup teratai.

“Dan itu Wang Fu Ya,” ujar Lianlian sambil menunjuk sebuah batu yang menjulang pada suatu bukit hijau.

“Batu Kepulangan Suami?” tanya Deseng. Wang Fu Ya secara harfiah berarti Batu Kepulangan Suami.

Lianlian mengangguk. “Dahulu, ada sepasang suami istri di Dimen. Si suami pergi merantau. Istrinya selalu naik ke bukit itu dan memandang jauh ke arah sana menanti kepulangan suaminya. Tahun-tahun berlalu dan sang suami tak kunjung pulang. Si istri jatuh sakit lalu meninggal, menjelma menjadi batu di atas bukit tersebut.”

“Ternyata, suaminya meninggal di perantauan. Rohnya menjelma menjadi awan dan ditiup angin sampai kemari. Jika awan itu datang, akan ada guntur dan hujan deras yang mengiringi.”

Deseng tertawa, “Istri jadi batu, suami jadi awan. Dongeng yang menyentuh.”

Lianlian tercenung menatap Deseng, “Mungkin bagimu ini lelucon. Tapi bagi masyarakat kami, kisah ini sangat berarti. Si istri begitu setia sampai akhir hayatnya. Dan si suami kembali dalam gumpalan awan. Bukankah mereka memang ditakdirkan untuk bertemu sekalipun telah mati?”
“Jadi, kalau aku kembali ke Guangzhou, apakah kau akan menungguku kembali di atas bukit sana?” goda Deseng seraya menggenggam kedua tangan Lianlian.

Lianlian tidak menjawab. Dia tersipu, buru-buru melepas tangannya. Didorongnya Deseng dengan manja lalu berlari. Deseng terumpan. Dia mengejar Lianlian, seperti mengejar kupu-kupu.

***
Wu Lianlian dan Chen Deseng berjalan-jalan hingga lupa waktu.

Mereka berkejaran di padang rumput, mendaki bukit-bukit. Sewaktu merasa lapar di siang hari, mereka memetik buah-buah liar yang tumbuh di hutan. Buah-buah itu terasa begitu lezat. Menghilangkan dahaga dan lapar sekaligus. Usai makan, Lianlian dan Deseng membuka sepatu dan mencelupkan kaki-kaki mereka di air sungai yang sejuk. Setelahnya, mereka lanjut berjalan-jalan lagi.

Lianlian baru sadar harus pulang ke rumah ketika matahari sudah condong ke barat. Dia bergegas kembali. Deseng mengikutinya. Ketika memasuki desa, hari sudah senja. Lianlian meminta Deseng berhenti mengikutinya dan kembali ke penginapan.

“Aku akan kembali lagi malam nanti,” Deseng berkata.

Lianlian tertawa. “Apakah kau sudah gila?”

“Mungkin,” jawab Deseng sungguh-sungguh. “Jika kau tak dapat tidur karena memikirkanku, kumohon temui aku. Aku akan menunggu di samping dinding gerbang rumahmu.”

Deseng menggenggam tangan Lianlian erat-erat sebelum gadis itu menuruni bukit terakhir menuju rumahnya.

Lianlian sampai di rumah dengan jantung berdebar-debar. Tangannya masih terasa hangat oleh genggaman Deseng. Dia memikirkan perkataan terakhir Deseng yang akan menemuinya malam nanti. Hal ini sungguh gila.

Lianlian seorang kembang desa. Dijuluki gadis tercantik Dimen. Puluhan pria Dimen menaruh hati padanya. Beberapa di antaranya bahkan telah melamar. Namun, Lianlian tidak pernah memilih satu pun. Kini, dia justru jatuh cinta dengan seorang pemuda asing yang baru ditemuinya dua kali. Yang berasal dari kota yang jauhnya beratus-ratus kilometer dari Dimen.

Mungkin Lianlian sendiri juga sudah tak waras.

Ketika memasuki rumah, Lianlian mendapati Jinlan dan Wu Jie tengah menunggunya. Jinlan duduk di depan meja kedai, termangu dan cemas. Wu Jie mondar-mandir gelisah.

Sewaktu melihat Lianlian, Jinlan sontak berdiri dan Wu Jie berhenti mondar-mandir.
“Lianlian, kau darimana saja?” tanya Jinlan.

“Aku…, aku dari rumah Pemintal Bai,” Lianlian berkata gugup.

“Wu Jie telah mencarimu ke sana. Kata ketiga bersaudari Bai, kau tak mengunjungi rumah mereka hari ini,” ujar Jinlan.

Lianlian menunduk. Ketahuan kalau dia berbohong. “Sebenarnya…, sebenarnya aku pergi dengan seseorang…”

“Dengan Pemuda Han kemarin sore itu?” Jinlan bertanya tepat mengenai sasaran.

“Ya…”

“Lianlian, kau berani keluar berdua saja dengan pria yang baru kau kenal?”

“Chen Deseng bukan pria yang baru kukenal, kami telah bertemu beberapa kali…”

“Tapi pertemuan kalian tidak lebih dari tiga kali…”

Lianlian terdiam. Jinlan melanjutkan lagi, “Kau berani melakukan hal begini ketika Kakak Xun tak berada di rumah. Jika terjadi sesuatu padamu, bagaimana aku dan Wu Jie bisa menjelaskannya pada Kakak Xun?”

“Chen Deseng pria baik. Dia tak mungkin mencelakakanku!” sanggah Lianlian.

“Lianlian, pemuda Han itu pria asing. Kita tak bisa menilai tabiatnya lewat satu atau dua kali pertemuan saja!”

Lianlian mulai mulai tak senang dengan kata-kata Jinlan. “Semua kata-katamu menandakan kecemburuan, sepupu,” katanya dingin. “Dan itu rupanya menguak tabirmu sendiri. Kau sesungguhnya iri padaku, bukan begitu?”

Terkejut, dengan tergagap-gagap Jinlan bergumam, “Apa…, apa maksudmu, Lianlian?”

Tanpa mengubah nada suaranya yang dingin, Lianlian berkata dengan benci, “Aku memiliki kecantikan yang tak kau miliki. Kau iri padaku karenanya. Sebab, sekalipun kau pintar, pria-pria tak melirikmu sepupu, melainkan memilihku.”

“Lianlian…aku tak pernah berpikir seperti itu…”

“Kau tak tahu nikmatnya kesombongan seorang wanita cantik dengan menampik perhatian pria-pria. Kau berharap bisa memilih pria terbaik diantara pria-pria yang mengejarmu. Tapi kau tak bisa memilih seperti aku - karena kau tak punya kesempatan itu!”

Lianlian tak peduli sekalipun kalimat terakhirnya melukai perasaan Jinlan. Dia membuang muka dan meninggalkan sepupu beserta adiknya dengan perasaan marah.

Malam itu ketika makan bersama, Wu Jie merasakan ketegangan di meja makan. Jinlan murung sementara Lianlian acuh tak acuh terhadap sekelilingnya. Kedua gadis itu makan sedikit membuat Wu Jie tak berselera juga. Lianlian tak bicara apapun dengan siapapun. Dia lekas tidur malam itu.

Usai menerima kata-kata pedas dari Lianlian, Jinlan jadi tak bersemangat. Dia tak menjahit serta kehilangan minat membaca. Ini merupakan percekcokan terhebatnya dengan Lianlian setelah sekian tahun bersama-sama. Jinlan tak habis pikir. Selama ini dia dan Lianlian telah saling menganggap saudara sekaligus sahabat. Mereka saling mempercayai dan mengasihi. Apa hanya karena asmara, keakraban ini akan rontok?

Pada malam-malam sebelumnya, Jinlan dan Lianlian masih saling berbincang sebelum tidur.Bahkan kemarin malam, Lianlian bercerita dengan geli lakon si pemuda Han itu. Jinlan tak menduga kalau ketertarikan Lianlian terhadap pemuda Han itu sedemikian besarnya hingga mengabaikan akal sehat.

Selama ini Jinlan telah menerima kenyataan kalau Lianlian lebih menarik bagi pria manapun sementara dia cenderung dianggap biasa-biasa saja. Apakah dia merasa iri seperti yang dikatakan Lianlian? Mungkin ya. Dua atau tiga kali. Tapi dia berhasil mengubur kedengkian itu dalam-dalam. Selanjutnya, salah satu hal bahagia bagi Jinlan adalah melihat sepupunya yang cantik itu menceritakan pengalamannya menampik pria-pria yang mengejarnya dengan penuh percaya diri.

***
Lianlian hanya pura-pura tidur malam itu. Sesungguhnya dia seperti gadis manapun yang sedang jatuh cinta. Melamun memikirkan kekasihnya.

Kata-kata Deseng sore tadi terngiang-ngiang di benaknya. Tapi Lianlian tak bisa langsung menemui Deseng. Dia harus menunggu sampai Jinlan benar-benar tertidur.

Malam itu Jinlan memang merebahkan diri di ranjangnya lebih awal. Kira-kira setengah jam kemudian, Lianlian melirik apakah sepupunya itu benar-benar sudah tidur? Dia mendekati ranjang Jinlan dan melihat mata sepupunya itu tengah terpejam. Ada sebuah garis di antara kedua alis Jinlan. Sepertinya dia tidur dalam keadaan gelisah. Perasaan Jinlan sangat peka. Dia tentu memikirkan terus kata-kata yang dikeluarkan Lianlian sampai tertidur.

Lianlian mengendap-endap keluar kamar. Dia menuruni tangga. Berusaha tanpa suara karena kamar Wu Jie terletak di bawah tangga kayu yang sedang dituruninya. Suasana gelap dan sepi. Selain suara jengkrik, samar-samar hanya terdengar dengkuran halus Wu Jie.

Lianlian membuka gerbang perlahan lalu keluar. Dia menengok kesana-kemari. Lalu dari arah belakang, Deseng muncul dan memeluknya.

“Akhirnya kau keluar,” kata Deseng. “Aku telah berada di sini cukup lama.”

Lianlian menaruh telunjuk di bibirnya untuk mengingatkan Deseng supaya tak bicara keras-keras. “Kita harus pergi dari sini. Jangan sampai ketahuan oleh para penjaga malam.”

Deseng setuju. Menggenggam tangan Lianlian di bawah purnama pucat malam ketujuh belas bulan pertama, sekali lagi, kedua sejoli ini menembus hutan.

***

Segenap akal sehat terhapus dari benak sepasang kekasih itu. Ketika asmara telah berkobar, tak ada lagi yang patut dipikirkan.

Malam itu Wu Lianlian berbisik pada Chen Deseng, “Aku akan jadi Wang Fu Ya kedua jika kau tak kembali…”

Chen Deseng hanya diam mendengarnya. Bahaya masih terlampau dini diprediksi. Bayangan musibah pun tak tampak sekarang.

***
Keesokan paginya, Jinlan bangun dan tidak mendapati Lianlian di atas ranjangnya.

Dia bergegas turun ke bawah, tapi Lianlian tak terlihat di kedai maupun di dapur. Ketika hendak keluar, dia berpapasan dengan Wu Jie yang akan masuk usai memberi makan ternak ayam mereka.

“Kau melihat Lianlian?”

“Tidak,” Wu Jie menggeleng. “Kukira kalian berdua masih tidur.”

”Aku agak terlambat bangun pagi ini,” ucap Jinlan sesal. “Dan ketika bangun, tak kulihat lagi Lianlian di ranjangnya.”

Kening Wu Jie berkerut. “Aku bangun sejak tadi tapi tak melihat Kakak Lian…”

Jinlan dan Wu Jie mencari Lianlian di seluruh rumah. Ketika mereka bertemu lagi, keduanya pun tahu kalau Lianlian tak mungkin berada di rumah.

“Dia juga tak mungkin berada di rumah Pemintal Bai…” batin Jinlan.

Tiba-tiba, gerbang terbuka dan Lianlian masuk. Jinlan dan Wu Jie langsung lega melihatnya. Tapi ini tak bertahan lama. Di belakang Lianlian ikut orang lain. Pemuda Han itu: Chen Deseng.

Jinlan langsung pucat melihat Lianlian masih dalam pakaian tidurnya, pagi-pagi memasuki rumah bersama seorang lelaki. Meski wajah Lianlian berseri, tapi Jinlan merasa seolah hal buruk telah terjadi.

“Kakak, mengapa kau membawa lelaki ini kemari?” Wu Jie bertanya ketus.

Lianlian melirik Deseng dan pria itu maju menggenggam tangan Lianlian.

“Karena aku akan menemui Kakak Tertua kalian untuk melamar Lianlian.”

“Apa?!” seru Wu Jie.

Jinlan juga terkejut. “Melamar?” gumamnya. “Kau mengucapkannya semudah kau memohon ikut permainan sandiwara kami kemarin dulu, Tuan!”

Deseng mencoba tersenyum mendengar sindiran itu. “Nona Jinlan, dari sepupumu aku tahu kalau kau wanita yang waspada. Tapi bisakah kau berhenti mencurigaiku dan memberiku kesempatan untuk membuktikan perkataanku?”

“Kesempatan?” sebelah alis Jinlan terangkat. “Aku memang tak berniat memberimu kesempatan, Tuan! Aku menentang hubunganmu dengan sepupuku bukan hanya karena kalian begitu berbeda dari segi asal-usul. Tapi juga kepada kemampuanmu membuat janji dengan begitu mudahnya. Janji itu seperti ludah - lebih mudah dilontarkan tapi tak dapat dijilat kembali. Terus terang aku ragu kau pria yang bisa memegang janji!”

“Jinlan…,” ujar Lianlian memelas. Jinlan berpaling menatapnya dengan sedih. Oh, sepupu, mengapa kau sampai melangkah sejauh ini?

Gerbang kembali terbuka dan kali ini yang masuk adalah Wu Xun. Dia masuk rumah sambil berkata - lebih kepada dirinya sendiri,

“Ah, embun pagi ini seperti gerimis yang membasahi bajuku.”

Kemudian mendadak, Wu Xun merasakan kelainan atmosfir rumahnya pagi itu. Wu Jie berdiri mematung dengan wajah keruh. Jinlan pucat ketakutan. Lianlian cemas dan gugup. Lalu, ada seorang lagi. Pemuda Han yang dibilangnya ‘orang asing’ kemarin dulu. Mengapa dia bisa sampai masuk kemari?

***
Wu Xun tak pernah menduga lamaran seperti ini datang pada saudara-saudara perempuannya. Meski dia hanya pemilik kedai minum sederhana, Wu Xun tetap berharap sebuah lamaran terhormat dari pria baik-baik ditujukan kepada adik serta sepupu perempuannya.

Tapi sepertinya nasi telah berubah jadi bubur. Wu Xun menggertakkan gigi mendengar kata demi kata yang diucapkan Chen Deseng. Pikirannya begitu ruwet pagi itu. Di antara sekian banyak pria yang memujanya, mengapa Lianlian justru memilih pria asing ini?

Pembicaraan Deseng mengenai lamarannya belum selesai dengan Wu Xun, pintu kedai diketuk lagi. Wu Jie membukanya. Semua orang berpaling ingin tahu siapa yang datang. Dan Deseng terkejut karena di depan pintu itu berdiri Dehui.

“A Hui? Buat apa kau kemari?”

Dehui tidak berkata apa-apa. Setelah melangkah masuk, Dehui melihat keluar lagi. Sepertinya Dehui tidak sendirian. Dan betul, tak lama kemudian muncul seorang pria dengan rambut dan janggut kelabu berusia enam puluhan. Dia masuk mengikuti Dehui. Deseng sontak gentar. Dia mengenali sosok pria itu sebagai Lao Chen, orang kepercayaan ayahnya.

Lao Chen telah puluhan tahun menjadi pegawai ayah Deseng. Dia terkenal karena kejujuran dan ketegasannya. Semua orang – termasuk Dehui dan Deseng segan padanya. Sekalipun dipercaya dan diberi kekuasaan besar oleh ayah Deseng, Lao Chen tidak pernah memanfaatkannya untuk hal-hal yang buruk. Dia orang yang sangat loyal serta berintegritas tinggi.

“Lao Chen, kenapa kau bisa ada di sini?” tanya Deseng gugup.

“Tuan Besar menduga kalau Tuan Muda Deseng terlalu senang di sini sehingga enggan lekas pulang ke rumah,” kata Lao Chen dengan suaranya yang dalam. Dia melirik Dehui. “Dan Tuan Muda Dehui tak sanggup memaksamu untuk pulang…,” selanjutnya dia memandangi Deseng lekat-lekat, “Maka dari itu saya diutus kemari untuk menjemputmu.”

Deseng gelisah. “Tapi jangan sekarang. Aku tengah membicarakan masalah lamaran.”

“Apa? Kau membicarakan masalah pernikahanmu di sini?” tanya Lao Chen dengan kening berkerut.

“Ya,” Deseng ragu-ragu. Dia menggamit Lianlian. “Ini Wu Lianlian, dia akan menjadi calon istriku.”

Lao Chen mengamati Lianlian dari atas hingga bawah tapi tak berkomentar apapun tentangnya. Sebaliknya, dia berkata pada Deseng,

“Kau putra tunggal keluarga Chen. Masalah pernikahanmu merupakan hal penting. Mana bisa kau mengambil keputusan sendiri dan mengabaikan keberadaan orang tuamu?”

Deseng mencoba berkelit. Tapi Lao Chen memotongnya.

“Kau harus ikut pulang denganku sekarang. Aku akan menunggu di luar dan memberimu waktu lima belas menit untuk mengurus sisa masalahmu di sini.”

Kesan orang lain, Lao Chen bicara dengan nada datar. Namun bagi Deseng, itu sudah sama dengan perintah. Lao Chen keluar rumah diikuti Dehui. Deseng serba salah.

Melihat Deseng akan meninggalkannya dan mengikuti kedua pria tadi membuat Lianlian sedih. Tiba-tiba dia merasakan penyesalan yang amat sangat seperti yang diramalkan oleh Jinlan. Apa yang terjadi jika Chen Deseng pergi ke Guangzhou dan tak pernah kembali lagi ke Dimen?

Lianlian lari ke atas kamarnya. Menangis. Deseng menyusulnya. Di dalam kamar Deseng mencoba menghibur Lianlian,

“Jangan bersedih. Jangan masukkan di hati kata-kata Lao Chen. Aku pasti akan kembali. Percayalah padaku.”

Lianlian menghapus air matanya dengan sebuah saputangan. Dipandangnya Deseng dengan mata berair. Ketika mereka tengah bersama-sama kemarin, perpisahan seperti ini tak pernah terbayangkan. Lianlian seolah tak sanggup menerima kenyataan begini. Dia terkejut karena semuanya terlalu mendadak.

Dengan suara gemetar, Lianlian mencoba bicara, “Baiklah, kembalilah ke Guangzhou. Bawalah saputangan ini bersamamu. Tapi ingatlah untuk kembali. Karena aku akan menunggumu-seperti istri yang menunggu suaminya di bukit Wang Fu Ya itu.”

Berat hati, Deseng menerima saputangan itu. Dia merasa seolah akan meninggalkan separuh dirinya di di Dimen ini.

“Aku janji akan kembali,” bisiknya. Lalu dia mengecup kening Lianlian.

***
Tiga minggu kemudian di Guangzhou….

“Nona Liu Wenjie, dua puluh tahun. Putri pengusaha bordir dari Meizhou.”

Tidak. Aku tak mungkin menikahi perempuan kerempeng ini.

“Nona Yang Sanjie, dua puluh satu tahun. Putri pemilik ekspedisi kapal laut ke Nanyang.”

Oh, ini tidak pula yang ini. Wajahnya seperti bola!”

“Nona Zhu Yinying, sebelas tahun. Putri pedagang emas dari Hongkong.”

Astaga! Aku disuruh menikahi anak-anak?

Siang itu, terasa begitu menyesakkan bagi Chen Deseng. Dia tak bisa melarikan diri dari kamar ibunya. Setelah melewati perdebatan yang begitu banyak mengenai ‘mempelai dari Dimen’, puncaknya sebuah pertengkaran meletus menyebabkan ibunya jatuh pingsan.

Dan akhirnya, segala upaya untuk kembali ke Dimen mempersunting Wu Lianlian terhapus sudah. Keluarga menekan Deseng untuk bersikap benar. Mereka menganggap, ‘kekasih Dimen’ hanyalah salah satu bagian dari petualangan masa muda Deseng. Deseng merasa kakak-kakak perempuannya seolah mencekiknya dengan nasihat-nasihat agar melupakan ‘kekasih Dimen-nya’ dan memilih gadis tepat sebagai calon istri. Dia juga merasa digantung setiap kali Lao Chen menguliahinya tentang sikap yang mesti diambil Deseng selaku pria dewasa.

Maka, mak comblang pun dipanggil dengan membawa lusinan foto gadis-gadis. Semua berasal dari keluarga pilihan. Diapit ibunya dan mak comblang, Deseng tinggal memilih. Dengan wajah sebal Deseng membolak-balik album-album foto sambil mendengar celoteh mak comblang memperkenalkan profil gadis-gadis itu.

“Huang Limei, delapan belas tahun.”

Deseng tertegun sejenak. Ibunya mendekat dan berbisik, “Kau kenal dia bukan? Dia anak gadis Huang si pedagang farmasi yang tinggal di ujung jalan sana.”

Tentu saja Deseng kenal. Ketika kecil dia biasa melihat gadis itu. Dipukul dan dimarahi ayahnya yang frustasi karena tidak dikaruniai anak lelaki. Ibu gadis itu lemah dan sering sakit-sakitan sehingga hanya bisa memberi seorang putri yang gagap bagi suaminya. Kekerasan fisik yang dialami Nona Huang tergambar dari matanya yang sayu dan selalu memancarkan ketakutan. Dia juga sulit bergaul karena ketika berbicara akan terputus-putus oleh gagapnya.

Nyonya Chen menanti penuh harap. Akankah Deseng memilih Nona Huang yang lembut dan bermata sayu?

Sepertinya dia lebih cocok dengan A Hui!” pikir Deseng sambil tersenyum. Deseng ingat beberapa bulan lalu Dehui mengutarakan perasaan simpatinya tentang Nona Huang. Bertahun-tahun mengenal Dehui, baru kali itu Deseng mendengarnya menyebut nama seorang gadis.

Deseng membalikkan lembaran album fotonya lagi.

Tak ada siapapun yang menarik di sini. Yang kuinginkan hanya Wu Lianlian!

Lalu pandangannya berhenti pada sebuah foto. Seorang gadis berwajah bulat dengan mata bulat berbinar.

“Siapa dia?” tanya Deseng.

Mak combing tersentak. Baru kali ini Deseng bertanya.

“Oh, dia ini putri pengusaha kapal di Macao. Zhang Lijun. Umurnya tahun ini sembilan belas.”

Deseng mengangkat album foto itu dan melihat dengan seksama. Rambut gadis itu pendek berombak dan ditata seperti model wanita barat. Sekarang di Guangdong, rambut para wanita sedang trend bergaya seperti itu. Dia juga mengenakan cheongsam lengan pendek yang memperlihatkan kelangsingan lekuk tubuhnya. Meski foto itu sendiri cuma hitam-putih, Deseng dapat melihat jelas kecantikan yang terpancar dari gadis itu.

Deseng mengetuk-ngetuk meja. Ibunya mengetahui kebiasaan ini sebagai tanda Deseng tengah menimbang-nimbang. Dia lalu memberi kode kepada mak comblang.

“Dia sangat cantik, bukan?” tanya mak comblang setelah menerima kode dari Nyonya Huang. “Dia pernah bersekolah di sekolah putri Katolik di Macao. Dia juga pandai memainkan biola.”

Bibir Deseng mengerut. Dia tengah membuat keputusan pelik. Setelah beberapa saat, mak comblang menanyainya lagi,

“Bagaimana Tuan Muda? Jika kau masih ingin melihat lainnya, aku akan membuka album lain…”

“Tidak perlu!” sahut Deseng tegas. Dia menghela napas lalu melanjutkan, “Aku pilih dia!”

Nyonya Huang dan mak comblang begitu lega mendengarnya. Sebelum Deseng keluar dari kamar, Nyonya Huang menanyai putranya itu,

“Pilihanmu sungguh tepat. Kira-kira apa yang membuatmu sampai memilih Nona Zhang?”

Deseng memandang ibunya sambil berkata, “Karena dia mirip Wu Lianlian.”

***
Pernikahan Chen Deseng dengan Nona Zhang Lijun berlangsung dua minggu kemudian. Diselenggarakan dengan begitu megah dan mewah.

Pada saat yang sama, beratus-ratus kilometer dari Guangzhou, tepatnya di Dimen, seorang wanita terserang gejala penyakit aneh di pagi hari.

Wu Lianlian mendapati dirinya sering mual dan muntah. Kepalanya juga selalu pening.

Beberapa waktu kemudian, dia pun tahu kalau dirinya tengah hamil.

Bersambung

Dongeng dari Dimen




Di Guangxi, China, terdapat sebuah desa di ujung waktu. Dimen namanya.

Penduduknya gemar bernyanyi dan menari. Sedari kecil, mereka belajar bernyanyi dari para za – wanita sepuh. Ketika beranjak dewasa, beberapa di antaranya bahkan mampu menciptakan lagu-lagu mereka sendiri. Darah biduan ini merupakan warisan turun-temurun dari para leluhur mereka.

Nah, sekarang aku akan menceritakan sebuah kisah lama dari Dimen. Sebut saja, Dongeng Dari Dimen. Di sebuah tempat dekat jembatan dua phoenix yang merintangi sungai di Dimen, terdapat kedai minum. Pemiliknya seorang pria bermarga Wu, bernama Xun. Usianya ketika kisah ini pertama kali ditulis adalah dua puluh lima tahun.

Wu Xun mempunyai seorang istri bernama Li Niang. Mereka telah beberapa tahun menikah tapi belum dikaruniai anak. Beberapa kenalan menyarankan agar sepasang suami-istri itu menemui dukun atau membuat kaul kepada dewata. Namun baik Wu Xun maupun Li Niang menolak. Keduanya percaya meski belum memiliki anak, Langit pasti punya rencana baik lain bagi mereka.

Selain Li Niang, Wu Xun juga punya adik-adik yang membantunya mengurus kedai. Adik bungsunya, Wu Jie berusia lima belas tahun. Perawakannya kekar dan kuat. Di atas Wu Jie ada satu saudara perempuan. Namanya Lianlian, usianya tujuh belas tahun.

Selain Lianlian, di kedai minum Wu tinggal gadis lain. Sepupu ketiga bersaudara itu: Jinlan. Jinlan adalah putri paman ketiga bersaudara Wu dari pihak Ayah. Dia yatim-piatu pada usia sepuluh dan sejak itu tinggal di bersama ketiga bersaudara Wu. Jinlan hanya setahun lebih tua dari Lianlian. Tahun ini usianya delapan belas.

Wu Lianlian terkenal sebagai gadis paling cantik di Dimen. Dia kembang desa. Banyak pria yang langsung jatuh hati padanya hanya pada pandangan pertama. Bagaimana tidak? Lianlian sungguh gadis yang amat elok. Wajah bulat dengan bibir mungil kemerahan. Hidung bangir. Alis melengkung bak bulan sabit. Kedua matanya bulat, bersinar ekspresif.

Lianlian periang. Suaranya merdu dan pandai bernyanyi. Dia juga pintar menari. Setiap kali menari, tubuhnya meliuk dengan luwes. Hiasan rumbai-rumbai di topinya pun ikut bergoyang seirama dengan tariannya. Lianlian seperti kembang api. Penuh vitalitas dan meletup-letup. Bercahaya dan dikagumi.

Sepupunya, Wu Jinlan, bertubuh jangkung dan langsing. Di Dimen para wanita memakai topi berhias di kepala mereka. Topi membuat Jinlan semakin tinggi dan tampak menonjol diantara teman-teman sebayanya, termasuk sepupunya, Lianlian. Namun hal ini tidak membuatnya dipuja banyak pria seperti Lianlian.

Jinlan cantik dengan cirinya tersendiri. Dia mungkin kurang menyadarinya. Wajahnya lonjong. Tulang pipinya tinggi dan mata lebar. Jari-jari tangannya lentik. Jinlan mahir menjahit dan menyulam. Tapi minat terbesarnya sebenarnya bukan itu.

Setiap malam, sebelum tidur, Jinlan akan menyempatkan waktu membaca selama satu jam. Dia gemar membaca buku-buku yang tersimpan di dalam peti di bawah ranjangnya. Buku-buku itu diperolehnya dari pedagang-pedagang dari Guangdong. Jinlan satu dari sedikit wanita yang dapat membaca dan menulis di Dimen pada masa itu. Dia gemar membaca kisah-kisah klasik. Kisah-kisah klasik itu, berpadu dengan keindahan alam Dimen, menginspirasi Jinlan menciptakan syair lagu-lagu baru.

Jinlan selalu membaca dengan cahaya pelita di malam hari. Lianlian yang sekamar dengannya biasa meledeknya, “Kau masih juga membaca ketika orang-orang sudah tidur. Apakah kau tak takut matamu akan buta jika kau membaca terus setiap malam?”

Sambil tersenyum Jinlan menjawab, “Kau bermaksud menakut-nakutiku. Kau lupa. Kau biasa memintaku menciptakan syair lagu baru untuk kau nyanyikan usai aku membaca.”

Lianlian memandangi Jinlan sambil tersenyum simpul.

Kedua gadis ini, satu cantik dan satunya bijak-merupakan anugerah bagi keluarga Wu. Seseorang pernah berkata kepada Wu Xun, “Langit belum memberimu anak karena masih mengijinkan dua gadis cantik-rupawan untuk tinggal di rumahmu.”

***
Tak jauh dari kedai minum Wu, terdapat keluarga penenun yang terdiri dari tujuh orang bersaudara.

Si sulung lelaki, bernama Bai Long. Dia mempunyai peternakan ulat sutra kecil di belakang rumahnya. Jika sedang tidak mengurus ulat-ulat sutranya, Bai Long memintal benang. Sehingga dia biasa juga disebut Pemintal Bai.

Tiga adik setelah Bai Long perempuan. Dahong, Erhong dan Xiaohong, usianya masing-masing hanya terpaut setahun. Ketiganya memiliki keahlian memintal dan menenun. Mereka juga terkenal dengan sebutan ‘Tiga Bersaudari Bai’

Setelah Xiaohong, tiga adik berikutnya adalah lelaki. Bai Hu, adik kelima, usianya lima belas tahun. Adik kelima dan keenam kembar. Masing-masing bernama Daowa dan Xiaowa. Tahun ini usia keduanya tiga belas tahun.

Semenjak kedua orang tua mereka meninggal akibat wabah penyakit yang melanda Dimen beberapa tahun silam, praktis Bai Long menjadi kepala keluarga dan mengurus adik-adiknya. Ketujuh bersaudara itu sangat kompak dan rukun. Jarang terdengar perselisihan di antara mereka. Para kakak mengayomi. Para adik menghormati. Masing-masing saling menyayangi.

Bai Long telah berusia dua puluh satu. Saudara-saudarinya mulai mencemaskan calon kakak ipar mereka. Apakah Bai Long telah menentukan pilihan? Dia tak pernah menunjukkan kalau tengah menaruh perhatian kepada gadis tertentu. Atau jangan-jangan Bai Long diam-diam telah naksir seorang gadis? Tak ada yang tahu pasti karena Bai Long tidak pernah membahasnya.

Mereka mengira si pemintal, seperti kebanyakan pemuda lain di Dimen, menyukai bunga desa mereka, Wu Lianlian. Perkiraan mereka tidak sepenuhnya keliru. Bai Long memang telah lama menyukai seorang gadis. Dan gadis itu ada hubungannya dengan Wu Lianlian. Keduanya selalu terlihat bersama.

Jika para pemuda lain lebih tertarik pada Lianlian, maka Bai Long lebih senang memandang gadis di sebelah Lianlian yang bertubuh jangkung, berwajah lonjong dengan tulang pipi tinggi. Sebuah penjepit bunga anggrek emas selalu ada di kepala gadis itu. Konon, jepit rambut itu dibuat oleh Ayahnya sebelum meninggal-sesuai dengan namanya yang berarti anggrek emas: Jinlan.

Karena rumah mereka berdekatan dan saudari-saudarinya sebaya dengan kedua sepupu Wu itu, Jinlan dan Lianlian sering bertandang ke rumah si pemintal. Bai Long telah lama menyukai Jinlan. Jinlan lebih pendiam daripada Lianlian. Tapi bukan berarti dalam diri gadis itu tak berkecamuk kata-kata. Bai Long tahu Jinlan sering mencurahkan perasaanya pada syair-syair lagu ciptaannya yang dinyanyikan Lianlian. Lianlian mungkin bisa menyanyikan lagu-lagu itu dengan merdu. Tapi dalam bayangan Bai Long, gadis yang duduk di tengah padang bunga mengagumi sungai, pegunungan dan awan seperti dalam kebanyakan syair lagu itu bukan Lianlian.

Dengan keahlian seperti itu, Bai Long yakin kelak Jinlan akan menjadi seorang za di masa tuanya. Seorang za menempati posisi terhormat di masyarakat Dimen. Dia mengajar generasi-generasi penerus tentang adat istiadat Dimen lewat syair-syair lagu. Bai Long yakin, Jinlan akan menjadi za berbeda dengan za lainnya. Za lainnya hanya menurunkan lagu-lagu lama, tapi Jinlan melakukan lebih dari itu: dia akan menciptakan banyak lagu baru.

Jinlan tidak pernah berusaha menarik perhatian pria manapun. Dia agaknya menyadari kalau pria lebih tertarik kepada sepupunya daripada dirinya. Bagi Bai Long, Jinlan memukau dengan gayanya sendiri. Dia lebih mirip bunga teratai. Mekar menjulang dari tangkainya yang kecil. Tak peduli air kolam sekitarnya bening atau keruh, teratai selalu mekar dengan indah.

Meski telah cukup lama memendam perasaan terhadap Jinlan, Bai Long belum punya keberanian untuk mengungkapkannya kepada siapa pun. Meski bukan wanita tercantik, ada hal-hal dalam diri Jinlan yang bisa membuat Bai Long kehilangan kepercayaan diri. Kelembutannya, kecerdasannya serta keanggunannya.

Kadang-kadang, Bai Long bisa mendadak gugup jika berhadapan dengan Jinlan. Seperti pada suatu hari, ketika kedua saudari sepupu Wu itu mendatangi rumahnya untuk membeli benang sutra merah. Bai Long sempat melongo beberapa saat sebelum menyadari kalau Jinlan meminta uang kembaliannya yang kelebihan.

“Pemintal Bai menyukaimu, sepupu!” bisik Lianlian kepada Jinlan ketika Bai Long berbalik. “Entah sudah berapa kali kulihat dia terpaku diam jika memandangmu.”

“Kurasa kau mengada-ada, sepupu. Pemintal Bai memang seperti itu karena jarang bergaul dengan wanita selain ketiga adik perempuannya,” sanggah Jinlan.

“Tapi dia tidak pernah begitu jika melihatku,” balas Lianlian lalu tertawa cekikikan.

Bai Long mendengar percakapan itu. Duh, betapa malunya dia.

Jinlan tak menggubris perkataan terakhir Lianlian. Ketika Bai Long berbalik kembali untuk memberikan uangnya, Jinlan hanya mengucapkan terima kasih dengan sopan lalu berlalu bersama Lianlian. Bai Long menatap punggung gadis itu dengan kecewa. Sepertinya Jinlan memang tidak pernah peduli padanya. Dia bahkan mangabaikan tanda-tanda yang coba dikirim Bai Long padanya.

***
Tahun itu, tepat ketika festival pertengahan bulan pertama berlangsung di Dimen, dua orang pria tampak di jalan tempat perayaan.

Festival pertengahan bulan pertama di Dimen jatuh pada tanggal lima belas. Seluruh penduduk berkumpul bersukacita. Mereka mengadakan karnaval. Para gadis dan pemuda menari serta bernyanyi. Semua orang mengenakan pakaian terbaik mereka-lengkap dengan pernak-perniknya. Beberapa mengenakan kostum dan topeng dewa kepercayaan Dimen untuk karnaval. Puncak karnaval, yang paling ditunggu-tunggu adalah munculnya peri musim semi. Dia gadis cantik yang didandani serupa dewi. Gadis ini lalu diarak. Dari atas tandunya, si gadis akan bernyanyi dan menebarkan kelopak bunga keberuntungan kepada penonton.

Kedua pria yang sedang berjalan itu, dari penampilan mereka, jelaslah bukan penduduk Dimen. Baju mereka berpola suku Han. Rambut mereka terpotong pendek dan mereka tidak mengenakan kain putih penutup kepala seperti semua lelaki di Dimen. Yang berbaju biru, wajahnya sangat tampan dan tampak ceria. Sedangkan satunya yang berbaju coklat tua, sebenarnya tak kalah tampannya. Hanya saja, wajah keruhnya membuatnya terlihat lebih tua dan kurang bersemangat.

Pria berbaju biru menerobos kerumunan orang-orang dan mencari tempat terbaik untuk menonton karnaval. Si baju coklat agak tertinggal di belakang sehingga melayangkan protes.

“Sepupu, jangan berjalan terlalu cepat. Aku tak bisa menyusulmu.”

“Kau harus cepat A Hui! Aku tak mungkin menunggumu terus!” sahut si baju biru. Akhirnya dia menemukan tempat strategis untuk menonton karnaval dan si baju coklat berhasil menyusulnya.

“Aku tak mengerti, mengapa kau begitu antusias melihat festival ini sehingga kita harus tinggal lebih lama di sini? Padahal di Guangzhou, festival Capgomeh serupa ini juga tengah berlangsung dan pasti lebih meriah.”

“Hei, kau tak tahu. Setiap daerah merayakan Capgomeh berbeda-beda. Contohnya di Dimen ini. Mumpung kita sudah berada di sini, mengapa tak sekaligus melihat-lihat?”

Pria berbaju coklat itu melempar pandangan mencemooh kepada rekannya. Beginilah jika menghadapi putra tunggal seorang hartawan yang terbiasa dimanja. Nasihat apapun takkan digubris. Ketika dia sudah membuat keputusan, keputusannyalah yang harus diikuti.

Kedua pria itu, yang berbaju biru bernama Chen Deseng. Sedang yang baju coklat adalah sepupunya, Chen Dehui. Keduanya berasal dari Guangzhou, Guangdong. Keduanya pedagang. Dehui telah beberapa kali ke Dimen. Dia membawa barang-barang kelontong yang tak ada di Dimen-di antaranya buku-buku, untuk dijual. Dehui punya pemasok penduduk lokal. Dan dua bulan sekali, Dehui datang mengecek sekaligus membawa stok barang-barang baru. Untuk kunjungannya kali ini dia tinggal agak lama karena sepupunya, Deseng juga ikut bersamanya.

Deseng adalah putra satu-satunya paman Dehui. Ketiga kakak Deseng adalah perempuan-maka, jadilah Deseng anak yang dimanja sejak kecil. Hampir semua keinginannya mesti dituruti. Contohnya seperti kunjungan ke Dimen ini. Sebetulnya, ibunya melarang Deseng ikut karena dia tak terbiasa melakukan perjalanan jauh ke daerah terpencil. Akan tetapi karena rengekannya tiada henti, akhirnya sang ibu mengijinkan.

Dehui dan Deseng lahir pada tahun yang sama. Hanya saja, Dehui lebih tua beberapa bulan dari Deseng. Tahun ini keduanya dua puluh tahun. Sejak kecil, Dehui terbiasa dengan kehidupan keras sehingga membentuk garis-garis wajahnya yang membuatnya terlihat lebih tua beberapa tahun dari usia sebenarnya. Sebaliknya Deseng, hampir setiap hari dilalui dengan riang gembira. Kesulitan seolah tak pernah menghampirinya. Wajahnya selalu terlihat segar dan yang dipikirkannya hanya kesenangan semata.

Deseng menyadari, dari segi kepandaian, Dehui jelas mengunggulinya. Meski dulunya Dehui hanya bocah nelayan miskin, watak sesungguhnya adalah pekerja keras. Karena kegigihannya, Dehui sanggup melaksanakan tugas yang tak mungkin menjadi mungkin. Banyak orang yang memuji Dehui dan meramalnya akan menjadi pria sukses. Termasuk ayah Deseng sendiri.

Deseng merasa sedikit iri pada Dehui. Lalu disadarinya kenyataan bahwa, meski Dehui berbakat, dia tentunya harus memiliki modal materi untuk bisa memulai bisnis sendiri. Dehui tak memilikinya. Tapi itu dimiliki Deseng. Sebagai putra satu-satunya, cepat atau lambat seluruh harta milik keluarga Chen yang sekarang akan menjadi warisannya. Jadi buat apa dia harus bersusah payah seperti Dehui?

Kembali ke karnaval, kegembiraan Deseng begitu meluap-luap sewaktu melihat baris demi baris pengisi acara melewatinya. Tarian dan nyanyian di Dimen begitu meriah. Para pesertanya berbalut pakaian warna-warni seperti pelangi. Kemudian, muncullah orang-orang yang mengarak tandu.

Diatasnya, peri musim semi berdiri dengan anggun serta tak henti-hentinya tersenyum. Dia memegang keranjang anyaman di tangan kiri. Tangan kanannya meraup kelopak-kelopak bunga dalam keranjang lalu ditebarnya ke kerumunan penonton. Peri musim semi bernyanyi,

Tahun penuh keberuntungan telah datang. Aku menyebar bunga keberuntungan kepada mereka yang penuh cinta kasih.”

Sungguh pemandangan yang amat memukau mata. Chen Deseng seolah terhipnotis. Gadis itu, yang sesungguhnya adalah Wu Lianlian, disangkanya bidadari betulan. Deseng juga terpukau oleh suaranya. Belum pernah dia melihat seseorang yang amat cantik dengan suara begitu merdu. Kalaupun dulu dia mendengar ada wanita semacam itu, semuanya pasti hanya dalam dongeng.

Tapi ini bukan dongeng. Sepupunya, Dehui juga berada di sini. Dia bersama orang-orang lainnya juga melihat sang peri musim semi. Dehui yang biasanya serius bahkan terhenyak. Dia terus memandangi sang bidadari sama seperti Deseng.

Kelopak-kelopak bunga yang wangi mengenai wajah Deseng sewaktu peri musim semi melewatinya. Dengan sigap, Deseng meraup kelopak-kelopak itu dan menyimpannya. Dia begitu terpesona dengan sang peri hingga berjalan mengikuti rombongan arak-arakan. Tapi Deseng tak dapat mengikutinya lebih jauh. Setelah beberapa langkah, kerumunan orang membentenginya. Mereka berebut hendak mengambil kelopak bunga yang dilempar sang peri.

Malam hari di kamarnya, Deseng memandangi kelopak bunga yang tersebar di atas meja.
Dirangkainya kelopak-kelopak itu menjadi bunga-bunga kecil sambil membayangkan sang peri musim semi.

Dehui masuk kamar dan menggeleng menyaksikan keasyikan sepupunya. Dia duduk di sisi ranjang, berdehem sebentar lalu berkata,

“Nah sepupu, pestanya telah usai. Kau harus berkemas karena kita akan pulang ke Guangzhou besok.”

“Aku belum mau pulang,” sahut Deseng tanpa berpaling dari kelopak-kelopak bunganya.

Dehui terpengarah. “Kau bilang apa?”

Deseng mengangkat kepalanya dan memandangi Dehui. Ujarnya kalem, “Kubiang aku belum mau pulang. Aku masih mau tinggal di sini mencari gadis yang menjadi peri musim semi siang tadi. Kalau kau mau kembali, pulanglah duluan. Biar aku sendirian saja di sini.”

“Sepupu, kau jangan bertindak konyol!” suara Dehui meninggi. “Ayahmu akan memancungku jika tak melihatmu kembali bersamaku! Cukup sudah main-mainnya!”

“Kubilang tak mau, ya tak mau!” seru Deseng keras kepala. “Kan sudah kubilang, kalau kau mau pulang, pulang saja duluan!”

Dehui menggertakkan gigi. Kemarin-kemarin dia berhasil meredam segala alasan yang diberikan Deseng. Kini kekesalannya sudah naik hingga ke ubun-ubun. Dengan marah, Dehui mengepalkan tangan dan meninju sisi tempat tidur hingga berdebum. Deseng acuh tak acuh. Dia sama sekali tak merespons, tetap sibuk dengan untaian kelopak bunganya.

Dehui merebahkan tubuhnya di ranjang dengan kesal. Lao Tian, ingin sekali ia meninggalkan sepupu manja ini. Biar dia tahu rasa yang namanya sendirian di tempat asing. Tapi Dehui tak bisa melakukannya. Dalam kekesalannya, Dehui pun tertidur.

***
Sore sehari setelah festival pertengahan bulan pertama, Jinlan, Lianlian dan Wu Jie berkumpul di sebuah tanah lapang di luar gerbang desa.

Mereka bersama keenam bersaudara Bai. Di tanah lapang itu, keenam saudara Bai tengah menjemur kain-kain yang mereka celup dengan pewarna tiga hari sebelumnya.

Sekitar pukul tiga sore, kain-kain itu telah kering dan mereka menurunkannya dari jemuran. Namun masih terlalu dini untuk pulang. Matahari masih bersinar terang dan pepohonan di sisi tanah lapang itu melambatkan laju angin menjadi sejuk sepoi-sepoi. Lianlian mengusulkan agar mereka bermain sandiwara ‘Kaisar Tang di Istana Bulan’ –sebuah cerita yang pernah didengarnya dari Jinlan.

Yang lainnya setuju. Lianlian berperan sebagai Selir Yang Guifei yang cantik. Sedangkan adiknya, Wu Jie, menjadi Kaisar Tang Minghuang. Ketiga bersaudari Bai menjadi dayang-dayang dan si kembar Bai menjadi prajurit. Bai Hu tak ikut berperan, duduk di bawah pepohonan sambil menyiapkan genderang kecil. Dia akan menabuh genderang itu sebagai musik pengiring sandiwara. Sementara Jinlan, dia tak diijinkan ikut bermain oleh Lainlian. “Kau jadi penonton saja. Dan beri komentar usai melihat sandiwara ini!”

Jinlan tertawa. “Baik, baik. Aku akan menonton saja.”

Lalu mendadak terdengar Bai Long menyelutuk. “Hei, ada hiburan di sini rupanya. Mengapa aku tak diajak?”

Bai Long datang dari arah hutan sambil memanggul keranjang bambu penuh daun murbei. Dia baru kembali dari memetik daun murbei untuk pakan ulat-ulat sutranya.

“Kakak Tertua, kemarilah dan ikut menonton bersamaku dan Kakak Jinlan,” Bai Hu menarik tangan Bai Long supaya duduk. Bai Long melepas keranjangnya dan meletakkannya di satu sisi. Setelah itu dia duduk di samping kanan Bai Hu.

Setelah duduk, Bai Long menyempatkan diri melihat ke arah Jinlan yang duduk di sisi kiri Bai Hu. Jinlan tengah menunduk. Sepertinya hari ini Jinlan mencuci rambutnya. Dia tidak mengenakan topi dan rambutnya dibiarkan tergerai hingga ke punggung. Angin meniup rambutnya sehingga melambai-lambai. Jinlan cantik sekali jika seperti ini. Rambutnya yang tergerai melembutkan kedua tulang pipinya yang tinggi, membuat wajah lonjongnya terlihat semakin panjang.

Jinlan mengenakan celana pendek sebatas lutut yang tepinya penuh sulaman bunga-bunga. Kedua kakinya terlihat jenjang jika direntangkan. Mendadak, Jinlan mengangkat kepalanya. Takut ketahuan kalau dia tengah mengamati gadis itu, Bai Long buru-buru memalingkan wajah. Kalau dia terlambat sedikit saja, Jinlan pasti sudah memergoki wajahnya memerah.

Adegan sandiwara itu awalnya berjalan mulus diiringi tetabuhan gendang Bai Hu. Lianlian memerankan Selir Yang dengan anggun. Begitu pula dengan dayang-dayang dan kedua pengawal kembarnya. Peran Wu Jie pun sebenarnya cukup bagus-meski dia agak pendek dari Lianlian.

Tapi semuanya mulai kacau sewaktu Wu Jie bersin.

“Aih, Wu Jie! Kau bodoh sekali! Mana ada Kaisar bersin ketika berjalan?” maki Lianlian.

“Memangnya kenapa Kaisar tak boleh bersin sewaktu berjalan? Kaisar kan juga manusia!” sanggah Wu Jie. “Lagipula aku bersin karena alergi dengan janggut palsu ini. Sudah kubilang tadi aku tak sudi mengenakan janggut konyol begini-tapi kau tetap memaksa!” Wu Jie melepaskan janggut palsu yang terbuat dari rambut jagung dari wajahnya dan dibuangnya ke tanah.

“Tapi semua Kaisar itu berjanggut!” seru Lianlian kesal sambil memungut janggut palsu itu. “Bukan begitu, Jinlan?” Lianlian melihat ke arah Jinlan meminta persetujuan. Jinlan telah membaca banyak buku. Dia tentu tahu gambaran kaisar-kaisar yang dulu bertahta.

Jinlan tertawa. “Yaah, sebetulnya tak semua Kaisar berjanggut.”

“Nah, kalau begitu aku akan bermain tanpa janggut!” Wu Jie bersorak.

“Tidak bisa! Tanpa janggut kau terlihat seperti Kaisar serampangan!” pekik Lianlian.

Kedua bersaudara itu bertengkar gara-gara janggut, membuat yang lain-lainnya tertawa. Tiba-tiba terdengar suara tawa dari arah lain. Tawa muda-mudi itu terhenti dan mereka berpaling ke arah suara tawa yang lain itu.

Seorang pemuda Han berusia dua puluhan tengah melihat mereka. Entah sejak kapan dia berdiri di situ. Tapi sepertinya dia mengikuti pertengkaran soal janggut tadi sehingga ikut tertawa. Baju pemuda itu bercorak Han dan tampak bagus. Sepertinya dia pedagang dari Guangzhou.

Dia pemuda paling tampan yang pernah Lianlian lihat. Lianlian menghampirinya. Sambil berkacak pinggang dia berkata kepada pemuda itu,

“Hei, kau mau ikut main sandiwara ‘Kaisar Tang di Istana Bulan’ bersama kami?”

Pemuda itu tersenyum. “Aku mau asal aku yang menjadi Kaisarnya,” sahutnya.

Lianlian memiringkan kepalanya. Mengamati si pemuda dengan seksama. “Baiklah, kau yang jadi Kaisar.”

Wu Jie serta-merta protes. “Dia hendak merampas peranku? Aku tak sudi!” Wu Jie merapat ke Jinlan. “Lihat dia baik-baik. Dari segi mana dia mirip Kaisar?”

Lianlian menghentakkan kaki. “Kau sudah terbukti tak bisa berperan dengan baik. Sedang Pemintal Bai terlalu pemalu untuk menjadi Kaisar.”

Bai Long mengangguk. “Benar. Jangan minta aku bermain sebagai Kaisar.” Lalu dia terkekeh.

“Baik, sudah kuputuskan,” Lianlian berkata. “Orang asing, kau yang menjadi Kaisar. Apakah kau tahu cara berjalan seorang Kaisar?”

Si pemuda Han itu, Chen Deseng, begitu gembira diterima bermain oleh sang peri musim semi. Sedari pagi dia telah mencari dimana sang peri tinggal. Deseng bertanya kesana-kemari. Namun sepertinya orang-orang memelonconya dengan memberikan alamat-alamat salah sehingga dia beberapa kali tersesat.

Deseng sudah sering melihat opera sejak kecil. Kaisar Tang Minhuang dari Dinasti Tang hanya salah satu dari sekian banyak lakon Kaisar dalam opera. Deseng tentu bisa memainkannya. Rata-rata dalam opera, Kaisar digambarkan tegap dan berwibawa. Dia berjalan dengan langkah lebar namun tak tergesa-gesa. Wajahnya menatap lurus ke depan dengan kesan angkuh, bermartabat.

Lianlian terpesona dengan cara Deseng berperan sebagai Kaisar. Sementara Wu Jie memandang dengan jengkel. Ketika tanpa sengaja Deseng terpeleset, Wu Jie langsung terbahak. “Kalau begini, jadi lebih mirip…,” dia bertanya kepada Jinlan, “Apa istilah untuk pria kebiri yang tinggal di istana?”

“Kasim…,” bisik Jinlan pelan.

“Aha!” Wu Jie menunjuk Deseng sambil setengah bernyanyi, “Jadi seorang kasim baru cocok!”

“Wu Jie! Jaga mulutmu!” tegur Lianlian.

Terdengar suara tawa tertahan. Deseng tak terlalu menyadari kalau dia menjadi sasaran olok-olok Wu Jie. Perhatiannya hanya terpusat pada Lianlian. Melihat senyum gadis itu, hal lainnya tak penting lagi.

“Jinlan! Lianlian! Wu Jie!” terdengar seseorang memanggil dari jauh.

Wu Xun berjalan mendekat. Melihat kedatangannya, Jinlan, Lianlian dan Wu Jie langsung bangkit menghampirinya.

“Kalian sebaiknya pulang sekarang. Aku akan mengantar Li Niang pulang ke rumah orang tuanya. Ayahnya sakit. Aku baru kembali lusa. Kalian tak perlu membuka kedai. Jaga rumah baik-baik dan…,” Wu Xun berhenti sambil melirik Deseng. “Jangan biarkan orang asing memasuki rumah…”

Dengan kedatangan Wu Xun, praktis permainan sandiwara ‘Kaisar Tang di Istana Bulan’ terhenti. Ketujuh bersaudara Bai berkemas. Jinlan, Lianlian dan Wu Jie mengikuti Wu Xun pulang.

Deseng ditinggal sendiri. Tapi dia tak terlalu sakit hati. Karena sebelum berlalu, sang peri musim semi masih berbalik dan memberikan senyum termanisnya pada Deseng.

Bersambung…

Kisah Cinta Si Nona Anggrek (2-End)

Musim Gugur

Musim gugur bunga teratai mewangi
Nona Anggrek setiap malam bermimpi memegang dupa
Siang hari tak berani melihat wajah Ayah dan Ibu

“Sudahlah, Ibu. Lekas masukkan barang itu kembali ke kotaknya dan kembalikan!” sahut Yulan kesal. Sejak tadi Nyonya Chen tak henti-hentinya memandang dengan takjub sebuah jepit rambut giok berbentuk bunga anggrek pemberian Zhao Erlang.
“Yulan, sayang sekali kalau kau mengembalikan jepit rambut ini. Lihatlah. Cantik sekali. Ukirannya sangat halus. Tuan Zhao memang perhatian. Dia memberi sesuatu yang sesuai dengan namamu.”

Yulan tak tahan lagi. Dia meraih jepit rambut tersebut dari Nyonya Chen, memasukkannya ke dalam kotak lalu menutupnya.

“Jepit rambut ini bisa saja terbuat dari giok palsu. Apalagi hati pemberinya-mungkin juga palsu.”

Nyonya Chen terperanjat. “Yulan! Teganya kau berkata seperti itu tentang Tuan Zhao.”

Yulan menyerahkan kotak berisi jepit rambut tersebut kepada mak comblang utusan Zhao Erlang. Mak comblang itu sudah sebulan gigih memanas-manasi Tuan dan Nyonya Chen. Kata-katanya begitu manis tentang Zhao Erlang, nama si tetangga baru di belakang rumah keluarga Chen. Bahwa dia putra kedua sebuah keluarga kaya di Xi’an. Bahwa tahun ini usianya dua puluh lima, masih lajang dan seorang wirausahawan sukses.

Yulan meyakinkan diri tidak akan pernah terhasut kata-kata mak comblang atau siapapun mengenai Zhao Erlang. Sejak pertama kali bertemu, Yulan sudah tak menyukainya. Akan tetapi, belakangan ini Ayah-Ibunya sudah mulai terpengaruh. Sepertinya kata-kata Ibunya mengenai ‘terlalu pemilih sehingga mendapat menantu lelaki yang buruk’, bisa menjadi kenyataan.

Mak comblang protes dengan sikap Yulan. Mulutnya yang lincah mencoba meyakinkan, “Haiya… Nona. Tuan Zhao akan memarahiku kalau jepit rambut ini dikembalikan padanya.”

“Kalau begitu untukmu saja!” Yulan berkata ketus. Setelah itu dia keluar ruangan dan berlari ke bagian samping rumahnya. Tempat separuh dahan-dahan kedua pohon pir keluarga Lin merambat.

Sesampainya di sana, mendadak amarah Yulan mereda. Angin sepoi-sepoi mendinginkan kepalanya. Yulan bersandar pada salah satu batang pohon pir. Daun-daun pohon itu telah menguning sesuai musim. Warna kuning sinar mentari beradu dengan daun-daun yang akan gugur. Indah sekali. Yulan merasa damai. Dia memejamkan mata hingga suara seseorang mengejutkannya.

“Seekor rusa meloloskan diri dari jaring para pemburu. Dia lari ke taman pir, berubah wujud menjadi gadis cantik. Tak ada seorang pun-hanya aku, yang tahu kalau dia jelmaan peri rusa.”

Juxiong berdiri sambil tersenyum malas di jendela kamar belajarnya. Sebelah tangannya memangku dagu.

“Dari mana kau memperoleh syair barusan?” Yulan bertanya heran.”Aku belum pernah mendengarnya.”

“Aku mengarangnya sendiri,” jawab Juxiong. Dia mengamati Yulan dari atas hingga bawah. “Kau seperti baru lolos dari perangkap. Itu mengilhamiku.”

“Kau mengejek!” semburat hangat menjalar di pipinya. Yulan buru-buru memalingkan wajah. Juxiong melompat keluar jendela. Menghampiri tempat Yulan berdiri. Mereka hanya dipisahkan sebuah pagar bambu setinggi dada orang dewasa.

“Katakan padaku Nona Anggrek,” ujar Juxiong menirukan suara mak comblang. “Apa yang membuatmu menolak Tuan Zhao yang tampan, kaya serta baik hati?”

“Hentikan!” Yulan berseru setengah geli. “Kau tampak menyebalkan dengan gaya seperti itu!”

“Dia sangat murah hati, memberimu ini dan itu. Tapi mengapa kau masih belum mau menerima cintanya?” suara Juxiong semakin menjadi-jadi.

Yulan terdiam sesaat sebelum dia berkata, “Hatiku tak bisa dibeli. Hatiku mengatakan sejak awal kalau cintanya itu palsu.”

Juxiong terdiam sesaat. “Tapi kau anak perempuan yang harus menikah. Orang tuamu pasti senang kalau yang menikahimu kelak seorang pria mapan.”

“Tapi aku…,” Yulan tidak melanjutkan kata-katanya. Juxiong tengah memandanginya. Keduanya saling pandang dan diam. Dalam hati Yulan, kata-kata lain mendesak keluar, “Lin Juxiong, bawalah aku pergi. Aku hanya mau bersamamu.”

Yulan malu saat mendengar suara hatinya sendiri. Di masa itu mana ada gadis yang berani menyatakan cinta terhadap pemuda yang dikasihinya? Jika Yulan benar-benar mengucapkan kata-kata dalam hatinya, apa anggapan Lin Juxiong? Jika ternyata Juxiong tak berperasaan sama dengannya, pemuda itu pasti menganggapnya gadis tidak tahu malu. Dan untuk seterusnya, Yulan akan menanggung beban malu itu seumur hidupnya.

“Aku juga memikirkan masa depanku,” ujar Juxiong tiba-tiba. “Tinggal aku satu-satunya anak lelaki. Ibuku semakin tua dan aku khawatir tidak bisa lulus ujian Kerajaan sesuai harapan mendiang Ayahku.”

Yulan lega karena Juxiong tidak lagi membicarakan masalah pernikahannya. Akan tetapi, melihat kekhawatiran Juxiong ketika membicarakan masa depannya, Yulan ikut resah. Kalau kau merasa cemas, Yulan membatin, lebih-lebih aku.

***

Tanggal lima belas bulan delapan merupakan pertengahan musim gugur. Orang-orang di Baisha saling mengunjungi untuk bertukar kue bulan di siang hari. Lalu menikmati bulan purnama di malam hari.

Siang itu Yulan membawa sekeranjang kue bulan ke rumah Lin. “Bibi,” sapanya sewaktu Nyonya Lin yang membuka pintu. “Ibuku membawa bingkisan untukmu.”

“Ibumu baik sekali,” ujar Nyonya Lin ramah. “Masuklah, aku akan menukar isi keranjangmu.”

Yulan masuk ke pekarangan rumah dan melihat sekitarnya sepi.

“Juxiong sedang pergi ke kantor desa untuk membayar pajak,” kata Nyonya Lin seolah mengetahui Yulan mencari-cari Juxiong. Yulan tersipu. Dia mengikuti Nyonya Lin terus masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di ruang tamu, Nyonya Lin terus menuju dapur sementara Yulan tetap tinggal. Pandangan Yulan berkeliling-sampai dia menemukan pintu kamar belajar yang menghadap kebun tempat kedua pohon pir tumbuh, terbuka.

Tergelitik rasa ingin tahu, Yulan masuk ke sana. Ruang belajar itu bersih dan segar. Jendela yang menghadap kebun terbuka sedikit. Samar-samar ada aroma dupa cendana. Dua buah lukisan pemandangan karya almarhum Jumeng terpajang di dinding. Pada satu sisi, sebuah rak dipenuhi buku-buku yang berjajar rapi.

Tapi kemudian, perhatian Yulan tertuju pada selembar kertas memanjang di atas meja belajar. Sebuah lukisan. Yulan menghampiri meja tersebut dan mendapati lukisan itu terbentang menunggu catnya kering. Beberapa perlengkapan melukis seperti kuas dan tempat tinta tergeletak di samping lukisan.

Lukisan itu berupa setangkai anggrek berwarna merah keunguan-tertanam pada sebuah pot giok hijau. Anggrek beserta potnya ada di atas meja menghadap jendela. Di luar jendela, bulan purnama bersinar kuning terang.

Lukisan itu dilukis dan diwarnai dengan gaya amat halus. Pada bagian kanan, terdapat dua baris puisi:

‘Anggrek dalam wadah giok mendambakan sinar rembulan.
Dia mengagumi cahayanya. Dia mengagumi keindahannya.’

Anggrek dan wadah giok. Lan dan Yu. Yulan terperanjat. Lukisan itu, puisi itu, samar-samar menyebut namanya.

“Sedang apa kau di sini?”

Yulan segera berpaling. Wajah Lin Juxiong perlahan-lahan berubah pucat. Dia menghambur ke meja, menghalangi pandangan Yulan terhadap lukisan dengan tubuhnya.

Kebingungan, Yulan melangkah mundur. Wajah Juxiong kini merah-padam.

“Keluar dari sini…”

“Juxiong….”

“Keluar!”

Begitu Yulan keluar dari ruang belajar, Juxiong langsung menutup pintu dan menahannya dengan punggungnya.

“Juxiong! Juxiong!” seru Yulan sambil menggedor-gedor pintu. Tapi Juxiong tidak peduli dan tetap tak membuka pintu. Dalam hati, dia memaki dirinya sendiri.

“Sial! Setelah sekian lama kusembunyikan, yang paling pertama tahu justru Yulan!”

***
Pada malam perayaan musim gugur, semua orang semestinya bergembira. Tapi tidak dengan Yulan. Sepulang dari rumah Lin, Yulan selalu merasa resah. Kalau memang Juxiong juga menyukainya, kenapa pemuda itu tak ingin dia tahu?

Pada malam perayaan musim gugur, orang-orang keluar rumah melihat bulan purnama sambil menikmati kue bulan dan minum teh. Tapi Yulan tinggal di kamarnya dengan alasan tidak enak badan. Saat sendirian di kamar itu dia menengok ke rumah sebelah. Kamar belajar Juxiong gelap. Yulan menerka-nerka apakah pemuda itu keluar mengikuti perayaan-atau karena peristiwa sore tadi telah membuatnya tidak berkeinginan untuk belajar malam itu.

Keesokan harinya, ditemani pelayannya Yanhong, Yulan pergi ke pabrik pemintalan Ayahnya untuk mengambil beberapa stok benang dan kain. Di perjalanan pulang dia melihat Lin Juxiong, yang sepertinya telah menunggunya di tempat itu sejak tadi. Juxiong memegang segulung kertas putih. Pasti lukisan itu, pikir Yulan.

Yulan menyuruh Yanhong pulang lebih dulu. Setelah mereka tinggal berdua saja, Juxiong menyerahkan gulungan kertas tersebut kepada Yulan.

“Ambillah. Aku memang membuatkan ini untukmu.”

Yulan menerimanya dengan ragu-ragu.

Juxiong menatap Yulan dalam. Sejurus kemudian dia mencelos. “Kamu tahu?” katanya. “Sejak dulu aku mengagumimu tapi aku hanya bisa memandangmu dari jauh.”

“Meski kau sesungguhnya begitu dekat, aku merasa dirimu tak mudah dijangkau. Aku tak berani bermimpi bersanding denganmu. Keluargaku dulunya mantan pejabat-tapi aku hanya petani. Meski sekarang aku berusaha meniti karir menjadi pria mandiri, aku tidak berani memintamu menunggu hingga aku sukses dan melamarmu pada Ayahmu. Jadi Nona Anggrek, kau cukup tahu tentang perasaanku hingga peristiwa kemarin saja. Setelah lukisan ini kuserahkan padamu, aku akan melupakanmu. Aku mendoakanmu. Siapa pun kelak suamimu, kalian berdua akan bahagia sampai tua.”

Ingin rasanya Yulan menangis mendengar perkataan Juxiong. “Kamu tahu?” suara Yulan tercekat. Dia berseru, “Kamu tak melukis ini pun, aku tetap selalu mengasihimu.”

“Kau tak bicara panjang lebar seperti tadi pun, aku tetap mengasihimu!”

Bulir-bulir air mata mulai mengalir di kedua pipi Yulan. Hatinya diliputi emosi campuran antara kecewa, marah dan sedih. Tak tahan berdiri lebih lama di situ, Yulan berlari meninggalkan Juxiong. Bersembunyi di antara semak dan pepohonan. Menangis lalu mengeringkan air mata. Juxiong mencarinya namun tak berhasil menemukannya. Bukankah pemuda itu bilang akan melupakannya? Jadi mengapa repot-repot mencarinya?

Setelah perasaannya lebih tenang, Yulan berjalan pulang ke rumahnya dengan lunglai. Dia tak tahu. Kejutan besar hari itu bukanlah pengakuan Lin Juxiong.

Sesampainya di rumah, Yulan melihat banyak orang yang sedang bertamu. Rupanya mereka adalah para tetua adat Baisha. Yulan masuk lewat pintu samping. Di dalam rumah, dilihatnya beberapa pelayan wanita sedang berkumpul dekat tirai ruang tamu mendengar pembicaraan para tetua dengan Tuan Chen.

Sewaktu melihat Yulan, para pelayan itu tampak senang. “Ah, Nona. Selamat untukmu!” mereka menyambut Yulan. “Sebentar lagi kabar baik menghampirimu!”

“Kabar baik apa?” Yulan keheranan.

Salah satu pelayan menjawab,”Para Tetua Adat datang mewakili Tuan Zhao untuk melamarmu. Dan Tuan Besar baru saja menyetujui pertunanganmu dengan Tuan Zhao!”

Gulungan lukisan terjatuh. Yulan terkejut bukan kepalang-bak disambar petir siang hari.

***
Sisa hari itu Yulan menangis di kamarnya. Lukisan Juxiong tergeletak di atas meja. Yulan tak memedulikannya. Kini dia hanya bisa meratapi nasibnya. Keputusan Ayahnya sudah tak bisa dirubah. Ayah yang dulu dianggap paling pengertian oleh Yulan, kini seolah menjerumuskannya.

Malam itu tidur Yulan tak nyenyak. Maka ketika dia tetap di kamarnya pagi keesokan harinya, seisi rumah memaklumi. Akan tetapi sekitar pukul sepuluh pagi, pelayannya, Yanhong tergesa-gesa masuk kamar.

“Nona, bangun!” Yanhong mengguncang bahu Yulan. “Di bawah terjadi sesuatu!”

Yulan membuka mata dengan enggan. “Ada apa?”

“Di bawah…, ada tamu…,” ucap Yanhong tak sabar. “Pria, wanita serta sepasang anak lelaki dan perempuan.”

“Siapa mereka?” Yulan mulai berminat.

Yanhong menggeleng. “Aku hanya tahu yang wanita… Katanya… dia istri Tuan Zhao!”

Yulan sontak bangkit. “Apa kau bilang? Istri Zhao Erlang?”

Yanhong mengangguk. Yulan bergegas turun dari tempat tidurnya hendak berganti pakaian.

“Lekas bantu aku berdandan. Aku harus menemuinya. Semuanya pasti hadir. Zhao Erlang, Ayah, Para Tetua… Akan kukatakan kepada mereka kalau aku tak mungkin menikahi pria beristri!”

Yanhong lekas-lekas menyiapkan air untuk membasuh wajah Yulan. Dia juga menyiapkan sebuah kain yang telah dicelup dalam air hangat untuk mengompres mata Yulan yang bengkak sehabis menangis semalaman. Setelah berdandan rapi, bergegas Yulan turun ke bawah. Dari balik tirai pembatas ruang tamu, Yulan melihat keempat tamu itu: seorang pria usia tiga puluhan, sepasang anak perempuan dan lelaki berusia lima dan empat tahun serta seorang wanita. Usia wanita itu mungkin dua puluh tiga atau dua puluh satu. Cantik dan langsing. Keempat-empatnya mengenakan pakaian berkabung putih-putih.

Seperti dugaan Yulan, ruang tamu rumahnya kini dipenuhi orang-orang. Ayah-Ibunya, yang kemarin berseri-seri, kini muram. Juga Para Tetua. Tidak lama, muncullah Zhao Erlang. Dia masuk ke dalam rumah dengan sikap congkaknya yang khas. Wajah menengadah ke atas dan kipasnya terbentang. Tapi ketika melihat keempat orang tamu tersebut, Zhao Erlang terkejut bukan main.

“Ayah!” kedua anak lelaki dan perempuan kecil itu berseru memanggilnya. Mereka menghambur menyambutnya tapi mundur sejurus kemudian karena tatapan tajam Zhao.

“Kalian! Kenapa bisa kemari?” bentaknya.

Pria yang bersama wanita dan kedua anak itu maju. “Kau sungguh tak berbudi! Di saat Ayah kita meregang nyawa, kau malah merencanakan pernikahanmu lagi di sini!”

Pria itu adalah kakak Zhao Erlang yang bernama Dalang. Zhao Dalang merengkuh kedua keponakannya mundur dari Ayah mereka sambil berkata, “Kau melupakan keluargamu di Xi’an. Kau beralasan hendak berdagang di tempat jauh tapi ternyata hanya menghambur-hamburkan harta istrimu!”

Para Tetua terkesima. Mereka menanyai Zhao Dalang. “Nyonya yang bersama Anda. Dia ini….”

“Dia ini adik iparku, Nyonya Shi,” jawab Dalang. “Keluarga Zhao kami sebenarnya hanya keluarga pekerja biasa di Xi’an. Suatu keberuntungan, adikku Erlang bisa menikahi Nona Shi-putri tunggal keluarga Shi yang kaya-raya. Keluarga Shi memperlakukan adikku seperti putra mereka sendiri. Dia bahkan mempercayakannya mengelola usahanya.”

“Nyonya Shi wanita baik. Meski berasal dari keluarga kaya, dia memperlakukan kedua orang tua kami dengan amat berbakti. Beberapa bulan lalu, adikku mohon pamit dengan alasan dia akan pergi berbisnis ke selatan. Mertuanya memberinya sejumlah besar uang. Tapi sejak itu dia menghilang tanpa kabar-berita.”

“Ayah kami yang sudah tua, jatuh sakit tak lama setelah kepergiannya. Sakitnya parah dan menjelang ajalnya selalu menyebut nama Erlang. Dia meninggal sebulan lalu. Tapi peti matinya tak bisa diangkat menuju kuburan. Para cenayang memberi tahu kalau Ayah menunggu Erlang. Kami lalu mencarinya. Setelah sekian lama, akhirnya kami menemukannya di Baisha.”

Para Tetua bergumam. Mereka mengangguk lalu saling berbisik-bisik. Nyonya Shi yang semula duduk diam perlahan berjalan menghampiri Zhao Erlang.

“Suamiku,” kata Nyonya Shi dengan suara bergetar. “Pulanglah. Jenazah Ayah tak bisa dikuburkan sebelum kau tiba. Aku berjanji padamu, setelah pemakaman, kau bisa kembali kesini dan menikahi gadis pilihanmu… Aku tak keberatan…”

“Tunggu sebentar!” Yulan mendadak muncul di ruangan itu. “Kalau kau tidak keberatan, akulah yang keberatan.”

Yulan berjalan menghampiri Nyonya Shi. Setelah berhadapan, dia menggenggam tangannya dan berkata, “Kau wanita yang begitu baik, mana mungkin aku tega menjadi pengacau rumah tanggamu? Kau telah menempuh perjalaan demikian jauh dari Xi’an ke Baisha. Kau pasti bisa membawa suamimu pulang untuk menguburkan Ayahnya.”
“Dan setelah pemakaman pun aku berjanji dia tetap menjadi suamimu,” Yulan berkata sungguh-sungguh. Dia lalu berputar ke arah Zhao Erlang, “Tuan Zhao, pria sejati tak mengabaikan keluarganya. Pria sejati berbakti kepada orang tuanya. Pulanglah ke Xi’an. Makamkan Ayahmu dan hidup rukun dengan keluargamu. Kau adalah pria beruntung karena mendapat seorang istri berjiwa besar seperti Nyonya Shi.”

Zhao Erlang tidak berkata apa pun. Kepalanya tertunduk malu.

Yulan menghampiri Tuan dan Nyonya Chen. “Ayah, Ibu. Kalian tentunya tak mau mempermalukan putrimu ini. Aku lebih rela tidak menikah seumur hidup asal tidak dicap sebagai pengganggu rumah tangga orang lain.”

Tuan Chen yang dari tadi berwajah keruh kini angkat bicara. “Tuan Zhao, jangan bilang aku tidak memegang janji. Kaulah yang semula menipu kami dengan statusmu yang masih lajang itu. Baiklah, aku putuskan untuk membatalkan perjodohan ini. Sebaiknya sekarang, kau lekas kembali ke Xi’an bersama keluargamu.”

Yulan lega sekali. Dalam hati tak henti-hentinya dia bersyukur kepada Lao Tian.

***
Tapi kelegaan Yulan tidak lama bertahan. Setelah Zhao Erlang beserta keluarganya berlalu, Para Tetua berkata kepada Tuan Zhao.

“Putrimu akan bertunangan dan mendadak dibatalkan. Hal ini kurang baik. Kau harus segera mencarikannya calon suami lain sebelum aib menimpa keluargamu.”

“Benar,” kata yang lain. “Kali ini jangan ditunda. Kau harus menikahkan putrimu secepatnya, Tuan Chen. Baisha ini desa kecil. Kau boleh percaya atau tidak, aib sekecil ini bisa membuat dewata menurunkan bencana besar bagi seluruh desa kita.”

“Menikahkan putriku secepatnya?” Tuan Chen bertanya. “Tapi dengan siapa? Aku tak bisa mencarikannya calon suami lain lagi dalam waktu singkat.”

Salah satu Tetua berkata, “Mengapa kau tidak menyerahkan urusan ini kepada Langit?”

Seluruh mata tertuju kepada pria tua tersebut. “Maksudmu, saudaraku? Apa kau punya cara?”

“Cara ini dulu biasa dipakai. Mungkin kau bisa menggunakannya juga sekarang, Tuan Chen. Kumpulkan semua pemuda yang belum menikah di Baisha. Kau bisa menentukan batas usia mereka, Tuan Chen. Lalu, putrimu bisa melempar bola bersulam. Pemuda mana yang mendapatkan bola itu akan menjadi suaminya.”

“Apakah ini tidak terlalu beresiko? Bagaimana kalau pria itu tidak cocok dengan putriku?”

“Jika kau percaya padanya, Langit tak mungkin salah memilihkan calon suami bagi putrimu.”

Para Tetua lain menyetujui pendapat rekan mereka. Meski agak enggan, Tuan Chen akhirnya menyetujui usul itu. Tapi bagi Yulan, ini menimbulkan kecemasan baru. Ibarat baru lepas dari sarang harimau yang satu, terlempar ke sarang harimau lain. Bagaimana kalau ternyata bola bersulam itu jatuh ke pria yang lebih buruk dari Zhao Erlang?

Sayang sekali Tuan Chen tidak mengindahkan protes Yulan. “Cepat atau lambat kamu pasti akan menikah. Aku dan Ibumu nyaris memutuskan calon yang salah buatmu. Kali ini, biarlah Langit yang memilihkannya untukmu.”

Semuanya diputuskan cepat. Acara pelemparan bola bersulam akan berlangsung besok pagi disambung dengan upacara pernikahan. Nyonya Chen dan beberapa pelayan wanita lekas-lekas membuat bola. Mereka menjahit kain berbentuk lingkaran yang kemudian diisi dengan jerami. Bagian luarnya, disulam beberapa motif bunga dan dijahit rumbai-rumbai hingga tampak semarak.

Malam itu Yulan tidak tidur. Dia terjaga sepanjang malam. Setiap kali melihat bola bersulam yang ditaruh di atas meja, Yulan merasa tertekan. Dia hanya sekali berjalan ke arah jendela menengok rumah sebelah. Akan tetapi seperti kemarin, ruang belajar Juxiong malam itu kembali gelap.

Yan Hong memasuki kamar Yulan pukul tujuh keesokan harinya. Didapatinya nonanya itu duduk di atas ranjang, tepekur dengan lingkaran gelap sama-samar pada kedua matanya.

Yanhong mengambil sebuah gaun merah yang paling elok dari peti. Gaun itu dibuat Yulan berbulan-bulan lalu sebagai gaun pernikahannya kelak. Kini, gaun itu dibawa ke hadapannya.

“Nona,” ujar Yanhong. “Saatnya hampir tiba…”

***
Di ruang tamu rumah keluarga Chen telah dipasang altar merah untuk menghormati Langit. Tuan Chen dan Para Tetua bersembahyang di sana, memohon yang terbaik bagi si Nona Anggrek. Sebuah pengumuman di kertas besar tertempel di dinding rumah keluarga Chen memberitahukan khalayak ramai tentang peristiwa ini. Dalam waktu tidak kurang dari dua jam, orang-orang telah ramai berkerumun di sana.

Menjelang acara pelemparan bola bersulam, sekelompok pria pendatang tengah berjalan-jalan di Baisha. Mereka keheranan melihat rombongan-rombongan orang berjalan ke sebuah rumah.
Di antara mereka, terdapat seorang pemuda berusia dua puluh tahun. Parasnya sangat tampan. Dia bertanya keheranan, “Orang-orang itu hendak kemana? Mengapa mereka begitu tergesa-gesa?”

Salah satu pria di kelompok itu mencegat seseorang. “Tuan, aku lihat kau dan orang-orang itu terburu-buru ke suatu tempat. Kalian akan kemana?”

Orang yang dicegat itu menatap mereka. Sejurus kemudian dia berkata, “Kalian pasti bukan orang Baisha. Hari ini, Tuan Besar Chen si pedagang sutra itu akan melaksanakan acara pelemparan bola bersulam untuk mencarikan suami bagi putrinya.”

“Tuan Chen akan langsung menikahkan putrinya dengan pemuda yang berhasil menangkap bola bersulam itu,” kata orang itu sebelum dia buru-buru mohon pamit.

“Melempar bola untuk mencari suami? Aku belum pernah melihat yang seperti itu di Beijing,” ujar pria lain di kelompok itu.

“Ya, aku juga…,” sahut yang lain.

“Kita harus melihat acara itu. Ini hal langka.”

“Tapi di sana banyak orang. Terlalu beresiko bagi keselamatan Tuan Besar.”

“Tapi bukankah Tuan Besar keluar untuk melihat-lihat kehidupan rakyat jelata? Dan ini merupakan hal yang belum pernah Beliau lihat sebelumnya.”

Satu pria di tengah-tengah kelompok itu, yang berpakaian paling bagus dan mengenakan topi sutra hitam-dari tadi hanya diam saja. Tapi dia menyimak pembicaraan dan perdebatan orang-orangnya sambil merentangkan kipas lipatnya. Pria itu berusia pertengahan lima puluhan. Punggungnya tegak dan tampanganya berwibawa.

Akhirnya, pemuda yang paling tampan dan pertama kali berbicara itu menanyai pria tersebut.

“Tuan Besar, apakah Anda mau melihat keramaian itu?”

Pria mengipas pelan sambil berpikir. Sesaat kemudian dia tersenyum. “Hidup hanya sekali. Mengapa kita harus melewatkan hal semenarik ini?”

Maka kelompok itu pun berjalan menuju rumah keluarga Chen.

***
Menjelang pukul sepuluh, orang-orang ramai berkerumun di depan rumah keluarga Chen. Tidak terkecuali sekelompok pria pendatang itu. Meski tidak bermaksud ikut ambil bagian dalam pelemparan bola, mereka berdiri di sebuah tempat yang bisa melihat acara itu dengan jelas.

Sekitar pukul sepuluh pagi, Tuan Besar Chen muncul di depan pintu rumahnya dan mengumumkan, “Saudara-saudaraku, hari ini putriku, Chen Yulan akan melempar bola bersulam untuk mencari suami. Siapa pun pemuda bujangan berumur delapan belas hingga dua puluh lima tahun boleh mengikuti acara ini. Tapi jika bola jatuh kepada pria yang sudah beristri atau usianya tidak memenuhi syarat, putriku berhak melempar bola sekali lagi.”

Tidak lema kemudian, Yulan muncul di atas loteng depan rumahnya. Dia tampak cantik sekali dalam balutan gaun merah dan dandanan apiknya hari itu. Tangannya memegang bola bersulam.

Meski sapuan bedak dan pemerah pipi menghiasi, Yulan tetap tak mampu menghilangkan kecemasan yang timbul di wajahnya. Dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Ada begitu banyak orang. Sebagian besar begitu antuasias dengan melompat-lompat dan menyeru-nyerukan namanya. Namun di tengah kerumunan orang banyak itu, sesuatu seperti magnet berhasil menarik pandangan Yulan. Lin Juxiong berdiri di antara kerumunan, dekat dengan sekelompok pria yang sepertinya pendatang. Ekspresi wajahnya datar dan kedua tangannya terlipat ke dada.

Yulan segera mengarahkan bolanya ke Juxiong. Tahu maksud Yulan, dengan ragu-ragu Juxiong malah mundur selangkah. Awalnya, Yulan agak kecewa. Tapi kemudian dia berpikir, “aku tahu perasaanmu yang sesungguhnya. Jika bola bersulam ini betul jatuh ke tanganmu, kau pasti tak bisa menolakku lagi.”

Diangkatnya kedua tangannya. Bola bersulam siap dilempar. Dalam hati Yulan berdoa, “Lao Tian, jika Engkau bermurah hati kepada hamba, ijinkanlah bola ini jatuh kepada Lin Juxiong.”

Bola terlempar, bergelinding jatuh ke arah keramaian. Orang-orang bersorak-sorak. Ada yang berusaha menangkap bola, ada pula yang menepuk atau melempar bola ke arah lain sehingga menjadikan acara ini lebih seru. Bola bersulam ditepuk beberapa kali, menggelinding berkali-kali hingga akhirnya…

Lin Juxiong berusaha mengelak ketika sebuah bayangan datang hendak mengenainya. Dengan sigap dia menangkap bayangan itu, memeluknya erat hingga terjatuh. Ketika hendak berdiri, barulah Juxiong sadar kalau bayangan itu merupakan sebuah benda. Orang-orang sekitarnya mendadak berhenti berteriak. Pandangan mereka berpusat pada Juxiong. Dan Juxiong terpengarah-ketika merasakan benda yang dipegangnya empuk. Bola bersulam itu! Lin Juxiong mendapatkan bola bersulam itu!

Pemuda tampan dari kelompok pendatang itu menghampiri Juxiong. Sambil menepuk bahu Juxiong dia berkata, “Wah, selamat! Kau rupanya yang menjadi suami Nona Chen. Siapa namamu?”

Juxiong menjawab dengan kikuk. “Lin…,” dia menelan ludah. “Namaku Lin Juxiong.”
Pemuda tampan itu bersorak dan bertepuk tangan. “Jadi, calon suaminya adalah Lin Juxiong!”

Kebahagiaan menguar pada diri Yulan begitu melihat Juxiong menggenggam bola bersulamnya. Saking bahagianya sampai dia hendak menangis. Langit telah mendengar serta mengabulkan doanya.

Tuan Chen juga sudah sampai di tempat Juxiong menangkap bola. “Kau?” dia tercekat. “Kau yang menangkap bola itu?”

”Memangnya kenapa Tuan Chen?” tanya si pemuda tampan. ”Apakah kau keberatan dengannya?”

Tuan Chen tak bisa menjawab. Salah satu dari kerumunan orang berteriak, ”Lin Juxiong itu tetangga keluarga Chen. Rumah mereka bersebelahan.”

”Memangnya kenapa kalau Lin Juxiong adalah tetangga Tuan Chen? Tuan Chen tidak bilang kalau tetangganya tidak boleh mengikuti acara ini,” sahut si pemuda tampan. ”Saudara Lin, berapa usiamu? Apakah kau sudah menikah?”

”Tahun ini usiaku dua puluh satu dan belum menikah.”

”Nah, dia pemuda yang syaratnya sesuai dengan pengumuman Tuan Chen. Apanya lagi yang salah?”

Orang lain di kerumunan itu berteriak lagi, ”Jangan-jangan, ini hanya akal-akalan saja. Mungkin semua sudah diatur Tuan Chen agar yang menikahi putrinya adalah tetangganya sendiri. Ini tidak adil! Bolanya harus dilempar sekali lagi.”

Mendadak seluruh kerumunan berteriak, ”Ya, bolanya harus dilempar sekli lagi! Harus!”

Juxiong mengalah. Dengan sedikit kecewa, dia menyerahkan kembali bola tersebut kepada Tuan Chen. ”Mintalah Yulan untuk melempar bolanya sekali lagi, Tuan. Aku sadar tak pantas bersanding dengannya. Aku hanya pemuda biasa. Untuk mengurus diri dan Ibuku yang telah tua pun masih pas-pasan-mana mungkin aku berpikir macam-macam untuk menikahi putrimu?”

Tuan Chen merasa amat sayang. Dari atas loteng, Yulan menyaksikan semua itu dengan kecewa. ”Aku tak mau melempar lagi!” serunya. ”Aku tak mau melempar lagi sekalipun kalian semua memaksaku!”

Sambil menangis, dia berlari masuk ke dalam rumah.

Kerumunan menjadi geger. Sampai semua menjadi senyap kembali ketika pria yang mengepalai kelompok pendatang itu berseru,

”Saudara-saudara sekalian, harap tenang!”

Hening seketika. Semua orang memandang ke arah pria yang suaranya tegas dan berwibawa itu.

”Aku melihat tak ada yang salah pada Lin Juxiong. Dia pemuda yang memenuhi syarat seperti yang diminta Tuan Chen.”

Pria itu lalau berkata kepada Juxiong, ”Lin Juxiong, dari nada bicaramu kau sepertinya terpelajar. Tidakkah kau ingin mengikuti ujian kerajaan untuk meniti karir di pemerintah?”

Juxiong menjawab, ”Saya pernah mengikuti ujian tingkat kabupaten empat tahun lalu dan lulus. Akan tetapi tidak bisa mengikuti ujian kerajaan di ibukota tahun berikutnya karena Ayah saya meninggal.”

”Rupanya begitu,” gumam pria tersebut. “Tuan Fu,” katanya kepada salah satu pengikutnya. ”Berikan hadiahku kepada Lin Juxiong.”

Seorang pria paruh baya maju. Dari tangannya dia menyerahkan dua tael uang emas. Seluruh penonton di kerumunan langsung berdecak kagum.

“Lin Juxiong,” panggil pria yang bernama Tuan Fu itu. “Ini hadiah dari Tuan kami. Terimalah sebagai mas kawinmu. Kelak setelah menikah tetaplah belajar dengan giat. Setelah itu datanglah ke Beijing musim dingin nanti untuk mengikuti ujian kerajaan.”

Lin Juxiong ragu-ragu menerima pemberian tersebut. ”Aku...”

”Anak muda,” ujar Tuan Fu lagi. ”Tuanku adalah orang penting di Beijing. Dia akan merasa tidak senang jika kebaikan kecilnya ini kau tolak.”

Lin Juxiong berkowtow mengucapkan terima kasih lalau mengambil kedua tael emas itu dari Tuan Fu.

Pria yang disbut ’orang penting’ itu lalu melihat kepada Tuan Chen. ”Tuan Chen, apakah kau mempunyai kuas, tinta dan sebuah kertas panjang?”

Menyadari kalau-kalau para pendatang ini adalah pejabat Manchu yang tengah menyamar, Tuan Chen segera menyahut, ”Ada. Akan segera kuambilkan.”

Tak lama, ketiga barang tersebut pun muncul. Salah seorang pengikut pria penting itu membungkukkan badan. Kertas panjang digelar di atas punggungnya. Pengikut lainnya menahan kertas dan si pria penting mulai menulis empat buah huruf kaligrafi.

’Pernikahan yang direstui Langit’.

Keempat huruf kaligrafi itu begitu elok. Terakhir, si pria penting membubuhkan capnya lalu kertas itu diberikan kepada Tuan Chen.

”Anggap ini hadiah pernikahan dariku.”

Gugup, Tuan Chen menerima kertas itu. Dia berkowtow sambil menghaturkan terima kasih. ”Tuan,” katanya kemudian. ”Bagaimana saya memanggil Anda?”

Pria penting itu tersenyum simpul. ”Aku biasa dipanggil Tuan Ai.”

“Oh, Tuan Ai, kalau begitu mari masuk dan mengikuti upacara pernikahan ini,” ajak Tuan Chen.

Tangan Tuan Ai melambai menandakan penolakan. ”Kau baik sekali, Tuan Chen. Tapi kami hanya mampir dan masih ada urusan lain,” katanya sambil tertawa.

Setelah itu Tuan Ai berkata kepada kelompoknya,”Kita sudah cukup melihat-lihat, mari pergi!”

Semuanya lalu bertukar salam perpisahan dan kelompok Tuan Ai itu pun berlalu.

Kerumunan orang-orang pun tak ada yang berani memprotes lagi. Tuan Chen membimbing Juxiong memasuki rumahnya sambil berkata, ”Mari, menantuku. Upacara pernikahanmu akan segera dimulai.”

Dari atas loteng Yanhong dan beberapa pelayan wanita menyaksikan semuanya. Mereka bersukacita berlari menemui Yulan di kamarnya sambil berseru,

”Nona Anggrek, berhentilah menangis. Langit telah memilihkan calon suami yang tepat bagimu. Dialah Lin Juxiong.”